[caption id="attachment_153434" align="alignleft" width="300" caption="Motor biang macet, atau...?"][/caption] Wacana penghentian subsidi BBM bagi kendaraan pribadi termasuk sepeda motor terlanjur meresahkan masyarakat luas, khususnya pengguna sepeda motor. Bagaimana tidak, pengguna sepeda motor kebanyakan adalah masyarakat kelas menengah ke bawah. Penghentian subsidi BBM berarti semakin mencekik leher dan menguras kantong yang sudah pas-pasan. Dalam pikiran "jahat" saya, wacana tidak populer ini dirancang oleh elit yang "dendam" dengan kemacetan dan kesemrawutan jalanan Jakarta yang disinyalir disebabkan pula oleh "andil" para sepedamotoers (lebih enak disebut bikers) ini. Bayangkan, di tengah macetnya ibu kota, para oknum bikers terkadang melakukan manuver-manuver berbahaya macam zig-zag, nyelip di antara mobil, naik ke trotoar dan sejenisnya. Tapi, sekali lagi, itu oknum lho, para bikers sopan juga banyak kok. [caption id="attachment_153441" align="alignright" width="300" caption="Bonceng rame-rame demi sekolah"][/caption] Sepertinya wacana pembatasan subsidi BBM ini akan membidik dua sasaran utama, yakni menyelamatkan anggaran subsidi yang banyak terkuras untuk BBM dan mengurangi kemacetan lalu lintas, khususnya di ibu kota negara kita tersayang, Jakarta. Namun, jika kita bicara tentang membenahi kesemrawutan lalu lintas, sangat tidak bijak jika lantas masyarakat kecil yang akhirnya jadi korban (baca: pengguna sepeda motor). Toh, selama ini jika kita lihat sehari-hari di Jakarta, yang menuh-menuhin jalan itu justru mobil-mobil pribadi yang digunakan secara tidak efektif dan efisien. Coba anda luangkan waktu untuk mengamati di jalanan Jakarta pada hari kerja. Masih banyak (sekali) mobil-mobil mewah berbody lebar yang isinya cuma satu atau dua orang saja. Atas nama kenyamanan, gengsi dan kemewahan mereka dengan santai meramaikan kemacetan jalan. Sedangkan di sisi lain banyak motor yang harusnya dinaiki maksimal dua orang malah bisa ngangkut empat orang, ini biasanya dikendarai oleh bapak-bapak yang nganter anak dan istrinya sekaligus ke sekolah dan ke pasar. Lihat pula bis-bis kota macam metromini dan kopaja, setiap pagi penuh penumpang berjubel ria. Sungguh pemandangan tidak imbang dibandingkan saat kita lihat ada pria berdasi atau wanita seksi berkacamata hitam mengendarai mobilnya seorang diri sambil menikmati sejuknya AC. Hmmm... berarti selama ini subsidi BBM-nya memang tidak berkeadilan. Namun, mencabut subsidi BBM bagi sepeda motor bukanlah solusi yang berkeadilan pula. Para perancang kebijakan di Jakarta janganlah pula melihat situasi di sekeliling mereka. Lihatlah derita transportasi di luar Jawa. Sudah BBM sulit didapatkan, alat transportasi juga masih jauh dari memadai. Sepeda motor kerap kali menjadi andalan untuk menaklukkan medan jalanan yang sulit. Bahkan kalau perlu ketika menyeberangi lautan pun sepeda motor ikut naik ke kapal.
KEMBALI KE ARTIKEL