Â
Bahkan Kartini pun tidak mampu menahan air matanya, taktala ditengah perjuangan untuk memajukan kaumnya, ia tidak mampu menolak takdir ketika harus menikah dan dimadu.
Â
Lihatlah pula kehidupan perempuan keraton  yang disembunyikan di balik-balik tembok megah, bahkan disembunyikan dari dunia. Ia hanya menjadi segelas air yang bening untuk selalu siap diminum dan dibuang ketika tak lagi dibutuhkan.
Â
Perempuan masa kini, di pendopo-pendopo sibuk merangkai bunga dan melanglang buana. Berbicara tentang kemiskinan pada saat mereka sedang berpesta, membantu anak-anak dengan sisa-sisa pakaian mereka, yang mereka sendiri enggan untuk memakainya lagi.
Perempuan-perempuan di panggung politik, menggunakan nama perempuan sebagai alat untuk kepentingan. Kelak pun perempuan hanya menjadi slogan atau bahkan tujuan untuk kesejahteraan bangsa Adam di masa kini. Itulah perempuan-perempuan yang bukan hanya tidak memiliki nama, akan tetapi juga kehilangan identitas oleh kekuasaan dan kemewahan.
Â
Alam ini menjadi panggung air mata, setiap tahunnya ribuan anak perempuan dikorbankan untuk menjadi pelacur-pelacur muda, bahkan dijadikan komoditas seks dunia.
Â
Di sekeliling kita, anak-anak belia menjadi tumbal setan dan terluka oleh hawa nafsu. Bahkan dari orang-orang yang seharusnya menjaga, akan tetapi mereka membiarkan dirinya menjadi alat perekat nama keluarga, dan merelakan dirinya menjadi ibu dari benih yang ditanam bapak kandungnya.