Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Gayus: Ibuku Bernama...

12 April 2010   08:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:50 104 0
Markus, Gayus, dan segala macam isu yang berkaitan dengannya menjadi menu utama berbagai headline media baik cetak maupun elektronik. Juga menjadi buah bibir masyarakat yang 'sadar berita'. Berbagai macam opini serta wacana bermunculan, baik dari pakar di bidangnya masing-masing, maupun suara-suara dari citizen jurnalism. Dari semua yang kubaca, kulihat, kudengar (sejauh ini), semuanya serempak, sepakat, membentuk jama'ah untuk menghakimi 'nista' aktor dibalik kasus-kasus tersebut. Pembelaan dalam bentuk apapun akan segera ditanggapi dengan picingan mata apatis.  Tindakan tersebut sah-sah saja. Sejauh masih dalam 'jalur wajar' kebebasan bersuara dan berpendapat yang bertanggung jawab, akan sangat membantu membentuk atmosfer jurnalisme yang sehat. Hilang dan ketiadaan kritik, akan melahirkan kepongahan yang dapat menzlimi baik diri sendiri, maupun sekitar. Apa yang dilakukan gayus dan para konconya tersebut, jika 'hanya' dilihat dari satu sudut pandang, dan memakai kacamata 'PKn' semata, lahirlah suara publik yang semerta-merta menyerang mereka. Memang, (dengan melihat semua bukti dan kesaksian yang ada), tak ada alasan apapun yang dapat melegalkan tindakan mereka. Sayangnya, 'menyerang' orang, maupun tindakan mereka, bisa dikatakan seperti tindakan 'memotong rumput'. Karena, tanpa membunuh sampai akarnya, tindakan tersebut yang hanya akan melahirkan 'kegiatan rutinan' yang, seperti sifat kegiatan rutinan lain, rawan akan sifat 'lalai'. Lalu apa akarnya? Stigma, Mainstream. Stigma seperti apa? Mainstream seperti apa? Pola pikir kapitalis serta pola hidup hedonis. ***

"Belajar yang rajin ya nak? Sekolah yang tinggi, biar jadi orang sukses."
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun