NERACA PEMIKIRAN
Oleh. Nidlol Masyhud, Lc*
BAGIAN 1
Manusia lahir membawa tiga potensi besar yang merupakan sarana asasi untuk menyerap ilmu pengetahuan dan mengenal kebenaran. Ketiga potensi yang tentunya merupakan nikmat agung ini adalah kemampuan untuk melakukan penginderaan secara langsung, menerima informasi dari luar, dan berpikir secara sehat. Dalam Al-Quran ditegaskan bahwa, “Allah mengeluarkan kalian dari perut-perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa. Dan Allah jadikan untuk kalian pendengaran, penglihatan, dan akal pikiran, agar kalian bersyukur”(QS. An-Nahl: 78).
Semakin optimal seorang manusia mendayagunakan indera, memori, dan rasionya secara tepat, semakin besar pula ilmu dan kebenaran yang diserap dan dikenalnya. Hal ini pada gilirannya akan menancapkan keyakinan-keyakinan yang lurus dan melahirkan tindakan-tindakan yang positif.
Sebaliknya, bila tiga potensi dasar ini diabaikan, atau digunakan tidak semestinya, maka yang lahir adalah kekeliruan berpikir. Kekeliruan berpikir—terutama dalam hal-hal yang krusial—adalah awal segala bencana. Kekeliruan berpikir itulah yang dalam sejarah alam raya merupakan cikal bakal munculnya keyakinan-keyakinan sesat dan perbuatan-perbuatan jahat. Allah Swt. menegaskan, “Dan telah Kami sediakan banyak jin dan manusia untuk (menjadi penghuni) Neraka Jahannam. Mereka punya hati tetapi tidak mereka gunakan untuk berpikir; mereka punya mata tetapi tidak mereka gunakan untuk melihat; mereka punya telinga tetapi tidak mereka gunakan untuk mendengar. Mereka itu layaknya binatang ternak, dan bahkan mereka lebih sesat. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. Al-A’raf: 179).
Dosa Iblis yang mendurhakai perintah Allah Swt. untuk bersujud di hadapan Adam a.s. adalah dosa yang berakar pada kekeliruan berpikir. Ia membantah perintah tegas dari Allah itu dengan mengatakan, “Aku lebih baik darinya (Adam). Engkau menciptakan aku dari api, dan Engkau menciptakannya dari tanah!” (QS. Al-A’raf: 12).
Kemudian Iblis juga menggoda dan menjerumuskan manusia melalui kekeliruan dalam berpikir. Ia membisikkan godaannya pada Adam dan Hawa dengan mengatakan, “Tidaklah Tuhan kalian melarang kalian untuk (memakan buah) pohon ini melainkan supaya kalian tidak menjadi malaikat dan supaya kalian tidak menjadi orang-orang yang kekal (tidak mati)!” (QS. A’raf: 20-21).
Iblis menolak bersujud dengan anggapan bahwa api lebih mulia daripada tanah sehingga ia layak untuk mendurhakai perintah Sang Pencipta. Ia juga merusak pikiran manusia dengan membisikkan anggapan bahwa melanggar larangan Tuhan akan menghasilkan manfaat yang besar.
Jadi karena adanya kekeliruan berpikir dalam diri Iblis dan manusia, muncullah keyakinan sesat bahwa Allah Swt. bisa saja memerintahkan hal-hal yang tidak semestinya dilakukan maupun melarang hal-hal yang justru sebaiknya dikerjakan. Lantas karena keyakinan sesat ini tidak segera diperbaiki, lahirlah tindakan-tindakan jahat berupa pelanggaran perintah mulia dari Yang Maha Kuasa dan penerjangan batas-batas larangan positif-Nya. Oleh karena itulah, Allah berkali-kali menegaskan sebuah peringatan penting kepada umat manusia—khususnya orang-orang yang beriman—dalam Al-Quran, “Dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah Syetan! Sesunggunya ia merupakan musuh yang nyata bagi kalian.” (QS. Al-Baqarah: 168, 208; Al-An’am: 142).
Karena keyakinan sesat itu berakar pada pemikiran yang tidak tepat, maka cara untuk menghindari dan memperbaikinya adalah dengan mengenal dan mengikuti pemikiran-pemikiran yang sehat. Pemikiran yang sehat adalah pemikiran yang memenuhi prinsip-prinsip rasional secara stabil dan efektif. Dan prinsip-prinsip itulah yang merupakan neraca untuk menimbang benar tidaknya sebuah produk pemikiran.
Dalam tulisan berseri ini, insyaallah kita akan coba mengupas satu demi satu prinsip-prinsip rasional beserta gambaran aplikasi dan bahaya-bahaya yang timbul akibat hal-hal fundamental ini dilanggar. Kesehatan berpikir adalah kunci kebahagiaan dan kemuliaan setiap makhluk hidup. Dan sebaliknya, “Seburuk-buruk makhluk melata di sisi Allah adalah orang tuli yang bisu lagi buta serta tidak berakal” (QS. Al-Anfal: 22).
Ia tuli sehingga tidak mau menerima informasi positif; bisu sehingga enggan menyampaikan kebenaran, buta sehingga tidak bisa melihat kenyataan, dan bebal tidak berakal sehingga menganut keyakinan yang sesat dan membolehkan perbuatan-perbuatan jahat.
Salah satu prinsip rasional yang paling mendasar dan merupakan neraca utama atas lurus-tidaknya sebuah keyakinan adalah prinsip “menyatukan hal-hal yang sama dan memisahkan hal-hal yang berbeda.” Ini merupakan prinsip dasar yang melandasi segala aktivitas akal dalam berpikir dan menjaga proporsionalitas gerak badan dalam melakukan perbuatan.
Menyatukan hal-hal yang sama berarti memberikan penilaian dan perlakuan yang sama untuk obyek-obyek yang memang sama serta memberikan penilaian dan perlakuan yang serupa untuk obyek-obyek yang serupa. Dan memisahkan hal-hal yang berbeda berarti memberikan penilaian dan perlakuan yang berbeda untuk obyek-obyek yang memang berbeda serta memberikan penilaian dan perlakuan yang berlawanan atau bertentangan untuk obyek-obyek yang berlawanan atau bertentangan. Inilah Prinsip Proporsionalitas. Ketika prinsip ini dipenuhi, maka keyakinan dan perbuatan seseorang akan sehat. Tetapi ketika prinsip ini dilanggar, maka ia akan terjerat oleh keyakinan yang sesat dan terjerumus melakukan perbuatan jahat.
Dalam Al-Quran, Allah Swt kerap mencela orang-orang yang menyalahi prinsip ini, baik dalam menilai diri sendiri maupun menilai orang lain. Antara lain Allah Swt. Berfirman, “Apakah orang-orang yang melakukan tindakan-tindakan buruk itu mengira bahwa Kami akan jadikan mereka seperti orang-orang yang beriman dan beramal shalih, baik yang hidup maupun yang mati? Alangkah buruk penilaian mereka!” (QS. Al-Jâtsiyah: 21).
Allah juga berfirman: “Apakah Kami akan jadikan orang-orang yang muslim (memasrahkan diri kepada Allah) itu seperti orang-orang yang berlaku dosa? Alangkah buruk penilaian kalian!” (QS. Al-Qalam: 35). Anggapan keliru orang-orang kafir itu merupakan penilaian yang sangat buruk karena berakar pada kekeliruan berpikir yang menganggap bahwa pelaku kejahatan itu sama—dan akan diperlakukan sama—dengan pelaku kebaikan, pahadal kedua obyek tersebut sangat berbeda dan bahkan saling bertentangan. Ini merupakan pelanggaran atas Prinsip Proporsionalitas karena menyamakan dua obyek yang berbeda.
Dalam bentang ontologis, perbedaan yang paling besar antara dua entitas adalah perbedaan antara Khalik (Sang Pencipta) dengan makhluk (ciptaan-Nya). Sang Pencipta tentu saja Mahakuasa dan Mahaperkasa, sedangkan karakter dasar dari setiap makhluk adalah serba lemah dan tidak berdaya. Secara rasional, segala kekuatan dan kemanfaatan yang ada atau sampai ke setiap makhluk tentu berasal dari Sang Pencipta. Oleh kerena itu, menyama-nyamakan sesuatu makhluk dengan Sang Khalik merupakan sebuah kekeliruan berpikir yang sangat parah serta akan melahirkan keyakinan sesat yang sangat tercela.
Al-Quran menyinggung hal ini antara lain dalam ayat pertama Surat Al-An’am, “Kemudian orang-orang kafir itu menyama-nyamakan (makhluk yang mereka sembah) dengan Tuhan mereka.” Keyakinan dan tindakan sesat inilah yang dikenal sebagai syirik dan tidak aneh jika merupakan dosa yang paling besar. Para pelaku syirik itu akan mengakuinya sendiri di Akhirat nanti, “Demi Allah, kami dulunya betul-betul berada dalam kesesatan yang nyata! (Yaitu) ketika kami menyamakan kalian (yang kami sembah) itu dengan Tuhan seru sekalian alam!” (QS. Asy-Syu’ara': 98). Akibat menyamakan makhluk dengan Khaliknya, mereka pun menyembahnya sebagaimana menyembah Khalik, padahal makhluk sangat berbeda dengan Khalik. Pemikiran yang keliru memang melahirkan keyakinan sesat dan memunculkan tindakan-tindakan jahat.
BAGIAN 2
Di tulisan pertama, telah sedikit kita ulas sebuah prinsip mendasar yang merupakan neraca penting di dunia pemikiran, yaitu Prinsip Proporsionalitas. Prinsip ini menandaskan bahwa “hal-hal yang sama atau serupa haruslah dinilai dan diperlakukan secara sama atau serupa, dan hal-hal yang berbeda atau bertentangan haruslah dinilai dan diperlakuan secara berbeda atau bertentangan”. Pelanggaran terhadap prinsip ini bisa berbentuk pembedaan atas hal-hal yang tidak semestinya dibedakan (tafrîq bilâ fâriq) serta bisa juga berbentuk penyamaan atas hal-hal yang tidak semestinya disamakan (qiyâs ma‘â fâriq).
Pelanggaran kedua sangat banyak disinggung oleh Al-Quran. Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran yang mengecam orang-orang yang menyama-nyamakan dua hal yang berbeda dan bertentangan, seperti menyama-nyamakan Islam dengan kekafiran, pelaku kebaikan dengan para kriminal, jual beli dengan praktek riba, serta menyama-nyamakan makhluk dengan sang Khalik sehingga lahirlah tindakan-tindakan syirik. Ini semua merupakan bentuk kezaliman dalam berpikir dan bertindak karena jelas telah melanggar Prinsip Proporsionalitas dengan menyama-nyamakan dua hal yang tidak bisa disamakan atau memperlakukan sesuatu obyek sebagaimana memperlakukan obyek lain yang berlawanan statusnya. Allah Swt. mengabadikan perkataan Luqman Al-Hakim dalam Al-Quran: “Sesungguhnya syirik itu betul-betul merupakan kezaliman yang besar” (QS. Luqmân: 13).
Pelanggaran jenis pertama atas Prinsip Proporsionalitas ini secara otomatis akan bermuara pada sebuah “kontradiksi”. Ketika kita menyama-nyamakan dua hal yang bertentangan, pada dasarnya kita sedang melakukan kontradiksi karena dalam satu kesatuan aspek kita mempertemukan dua proposisi yang saling menafikan. Jadi pelanggaran jenis pertama atas Prinsip Proporsionalitas ini sebetulnya adalah pelanggaran terhadap apa yang dalam Ilmu Logika dikenal sebagai Hukum Non-Kontradiksi (Law of Non-Contradiction/Qânûn `Adamit-Tanâqudh). Hukum ini menegaskan, bahwa dalam satu kesatuan aspek, sesuatu tidak bisa sekaligus memiliki dua nilai yang saling bertentangan: benar sekaligus tidak benar; ada sekaligus tidak ada; baik sekaligus tidak baik; dan seterusnya. Saking parahnya pelanggaran terhadap hukum ini, Ibnu Sina mengatakan, “Siapa pun yang menyangkal hukum non-kontradiksi harus dipukuli dan dibakar sehingga ia mengakui bahwa dipukuli tidaklah sama dengan tidak dipukuli dan dibakar tidaklah sama dengan tidak dibakar!”
Ketika kita sorotkan neraca rasional ini ke dalam aneka wacana dan tren pemikiran, ternyata kita temukan banyak sekali paham dan butir pemikiran yang melanggarnya. Pluralisme Agama barangkali merupakan sampel paling mencolok untuk sebuah paham sistematik modern yang bukan hanya memuat ajaran-ajaran yang melanggar prinsip fundamental ini tetapi bahkan dibangun di atas penerjangan terhadapnya. Dalam berbagai variannya, Pluralisme Agama secara mendasar menganggit doktrin bahwa kebenaran itu ganda, tersebar, atau terbagi-bagi dalam banyak agama—meskipun secara mendasar agama-agama itu saling bertentangan. Sebagaimana diserukan para penganjurnya, paham ini menghendaki peleburan atau keterjalinan agama-agama dalam suatu wadah atau pola pandang pluralisme. Ini terutama didasari oleh anggapan bahwa semua agama itu sejajar di mata Kebenaran Yang Tunggal serta sama-sama merupakan jalan menuju keselamatan—seperti disuarakan oleh John Harwood Hick—dengan menutup mata bahwa secara formal maupun esensial agama-agama tersebut mengandung ajaran-ajaran yang saling bertabrakan dan bertentangan satu sama lain dalam hal-hal yang sangat fundamental.
Di masa klasik, paham-paham yang menerjang aturan akal sehat ini sudah banyak bermunculan. Di dunia umat Islam, misalnya, sudah banyak dikenal aliran yang berpangkal pada penyatuan hal-hal yang saling bertentangan dan penyamaan obyek-obyek yang statusnya saling berlawanan. Yang paling ekstrim adalah aliran Wahdatul Wujûd yang menganggap bahwa segala entitas maupun agama di alam raya ini adalah entitas maupun agama yang satu serta bahkan tidak lagi ada perbedaan antara makhluk dengan Khalik. Propagandis populer aliran ini, penulis Fushûshul Hikam, menyatakan bahwa “Semua itu bersumber dari hal yang satu. O, tidak! Bahkan itu adalah hal yang satu sekaligus hal-hal yang banyak!” Lantas ketika mengomentari kisah mimpinya Nabi Ibrahim a.s. menyembelih putranya Ismail a.s., ia mengatakan, “Sang ayah adalah sang anak itu sendiri. Jadi ia tidak bermimpi menyembelih siapapun selain dirinya sendiri!” Kemudian mengenai pernikahan Adam a.s. dengan Ibunda Hawa, ia menyatakan, “Maka tidaklah ia menikahi selain dirinya sendiri!” Dan mengenai agama serta peribadatan, ia berkata, “Maka tidaklah disembah selain Allah dalam setiap sesembahan apapun.” Jadi bagi paham paling parah sepanjang sejarah umat manusia ini, segala agama itu sah karena hakekatnya tidak berbeda; semua manusia itu sama; semua nilai itu selaras; dan bahkan semua obyek dan entitas adalah satu hal.
Inilah bentuk nyata pelangaran hukum akal sehat. Dua hal yang secara inheren saling berbeda, saling bertabrakan, atau berujung maupun berpangkal pada titik yang saling bertentangan, secara rasional tidaklah sah untuk dihimpun, diselaraskan, maupun apalagi dipandang sebagai satu kesatuan. Dan pertentangan itu adalah pertentangan yang paten, tidak tergantung pada siapa subyek yang memandangnya. Ketika seseorang memandang pertentangan nyata sebagai kesatuan padu yang selaras, maka berarti nalar pemikiran dan hati nuraninya telah mati. Adalah bencana besar bagi seorang manusia ketika ia tidak lagi bisa memilah antara baju dengan kaus kaki, antara roti dengan pisau, antara menikah dengan berzina, antara halal dengan haram, antara iman dengan kekafiran, dan antara hamba dengan Tuhan. Karena itulah, dalam Al-Quran Allah Swt. menegaskan, “Katakanlah: ‘Tidak sama antara yang buruk dengan yang baik, meskipun maraknya keburukan itu membuatmu kagum! Maka bertaqwalah kepada Allah, wahai orang-orang yang berakal, agar kalian mendapat keberuntungan'” (QS. Al-Mâidah:100).
Ketika Islam sudah terbukti dan diterima sebagai sebuah kebenaran, maka segala agama, paham, dan aliran filsafat yang bertentangan dengannya pastilah salah—sebanyak apapun jumlahnya. Ketika Islam sudah terbukti dan diterima sebagai sebuah kebaikan, maka segala agama, paham, dan sistem nilai yang bertentangan dengannya pastilah buruk—sesemarak apapun penyebarannya. Dan pelanggaran atas nalar rasional ini pada hakikatnya adalah pelecehan terhadap akal sehat serta penerjangan terhadap hati nurani. Ketika akal sehat sudah diabaikan dan hati nurani sudah dikesampingkan, maka yang akan datang adalah kecelakaan, cepat ataupun lambat. Ayat di atas memperingatkan: “Maka bertaqwalah kepada Allah, wahai orang-orang yang berakal, agar kalian mendapat keberuntungan.” Ketegasan memilah dan memposisikan dua hal yang bertentangan sesuai dengan proporsinya masing-masing memang seiring dengan tingkat kematangan akal pikiran seseorang.
Sebagai sebuah kitab suci yang sangat intens memelihara akal pikiran dan hati nurani pembacanya, Al-Quran memberikan penekanan yang sangat tinggi terhadap poin penting pemikiran ini. Dalam banyak ayatnya, Al-Quran menegaskan perbedaan antara iman dengan kekafiran, tauhid dengan syirik, kepasrahan dengan kedurhakaan, kebaikan dengan keburukan, para pelaku amal shalih dengan para pembuat kerusakan, tentara Allah dengan pengikut Syetan, penduduk Surga dengan penghuni Neraka, dan seterusnya. Bahkan Al-Quran juga memilah antara orang-orang yang masih mau menerima kebenaran dan menjalankan kebaikan dengan orang-orang yang menentang ajaran-ajaran ketuhanan meskipun sama-sama berasal dari kalangan Ahlul Kitab (QS. Âli `Imrân: 113). Al-Quran juga memilah antara para pejuang yang turun langsung ke medan perang dengan mereka yang diam di rumah meskipun sama-sama beriman (QS. An-Nisâ':95). Tidak heran jika kemudian Al-Quran disebut sebagai “Al-Furqân” yang berarti “Pembeda dan Pemilah”.
Nah, selain menekankan pentingnya nalar pembedaan dan pemilahan, Al-Quran juga menandaskan bahwa sesuai dengan kelemahan yang dibawanya semenjak lahir, segala produk opini manusia yang tidak disandarkan pada petunjuk dari Yang Maha Adil Bijaksana pastilah akan memuat poin-poin pemikiran dan ajaran yang saling kontradiksi, baik secara langsung maupun tidak. Firman Allah: “Maka tidakkah mereka merenungi Al-Quran? Andaikata ia berasal dari selain Allah, maka pasti mereka akan menemukan banyak pertentangan di dalamnya”. Ini informasi penting, dari Yang Mahatahu, bahwa meskipun dibekali akal sehat dan hati nurani, manusia ternyata punya kecenderungan untuk menerjang prinsip-prinsip mendasarnya, sehingga berujung pada kontradiksi yang sudah pasti salah dan tidak mungkin bisa diterima.