Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Refrensi Tentang Berfikir yang Sehat - II

13 Juni 2010   14:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:34 222 0
BAGIAN 3
Sebelumnya telah sedikit kita ulas salah satu pelanggaran terbesar aturan nalar “Prinsip Proporsionalitas” di dunia pemikiran, yaitu “menyama-nyamakan hal-hal yang tidak bisa disamakan”. Dan kita sudah melihat bahwa pelanggaran semacam ini dengan mudahnya telah menghasilkan berbagai keyakinan, paham, dan aliran-aliran keagamaan yang sangat melecehkan akal sehat serta bertentangan dengan hati nurani.

Kali ini, kita akan menyoroti pelanggaran kedua terhadap prinsip ini, yaitu “membeda-bedakan atau memisah-misahkan hal-hal yang tidak bisa dibeda-bedakan dan dipisah-pisahkan”. Ketika dua hal atau lebih itu sama, sejenis, senilai, atau saling mengukuhkan, maka hal-hal tersebut tidaklah sah secara rasional untuk dibeda-bedakan status, jenis, nilai, atau bentuk penyikapannya. Pelanggaran terhadap hal ini adalah diskriminasi tanpa alasan (tafrîq bilâ farqin) yang sebetulnya merupakan wujud inkonsistensi dalam berpikir.

Pada puncaknya, inkonsistensi berpikir akan membuahkan anggapan-anggapan takstabil, paham-paham absurd, dan tindakan-tindakan yang plin-plan tak beraturan. Dan ketika pola kesemrawutan semacam ini merasuki konsep-konsep keberagamaan seseorang, yang akan muncul adalah split personality serta ketidakmenentuan dalam mengabdi, bertuhan, dan beribadah—yang tentu saja akan mengantarkan pelakunya pada ketidakseimbangan hidup, kesia-siaan amal, serta kekacauan nasib di Dunia dan Akhirat.

Al-Quran menandaskan: “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah pada satu tepi (saja). Jika ia memperoleh kebaikan, ia tetap nyaman dalam keadaan (beribadah) itu; dan jika ia ditimpa suatu bencana, ia sontak berbalik ke belakang (tidak lagi beribadah). Rugilah ia di Dunia dan Akhirat! Yang demikian itu merupakan kerugian yang nyata.” (QS. Al-Hajj: 11).

Ibadah dan pengabdian kepada Tuhan adalah sesuatu yang utuh, bersifat universal, serta merupakan kesatuan konsep dan tindakan yang terpadu sehingga tidak bisa dicerai-beraikan unsur-unsurnya dan sama sekali tidaklah sah untuk hanya dilakukan dalam momen-momen tertentu saja. Pada saat keutuhan, universalitas, dan kesatu-paduan ibadah ini diterjang, maka kepribadian seseorang akan pecah dan berbagai kerja serta usaha parsialnya itu akan sia-sia tidak berguna.

Konsistensi dalam berpikir—yang kemudian akan menjaga stabilitas dalam bertindak—memang merupakan modal dasar bagi siapa saja yang menginginkan kebenaran secara utuh serta mendambakan kemanfaatan yang lestari. Dan esensi paling mendasar bagi konsistensi berpikir adalah menilai dan memperlakukan obyek, statemen, maupun konsep yang sejenis dan selaras sebagai hal-hal yang memang identik, seragam, atau berstatus sama dan saling mengukuhkan.

Para rasul (utusan Allah), misalnya, adalah figur-figur manusia yang sama-sama mendapatkan wahyu dari Allah sekaligus sama-sama mengemban misi luhur untuk mengantarkan hidayah kepada umat manusia serta mengentaskan mereka dari jurang kesesatan dan kubangan noda kejahatan. Pemikir yang konsisten akan melihat jelas keseragaman identitas, kesamaan status, dan keterpaduan ajaran para rasul ini sehingga ia akan memberikan penilaian dan penyikapan yang senada terhadap mereka semua.

Sebaliknya, pemikir inkonsisten akan kehilangan kesadaran nalarnya dalam menilai dan menyikapi para rasul tersebut sehingga ia nampak mengakui yang ini tetapi menolak yang itu atau menyukai yang ini tetapi membenci yang itu. Dan yang lebih parah dari sikap seperti ini ini adalah orang-orang yang mengaku beriman kepada Allah Tuhan seru sekalian alam tetapi ia justru mengingkari pesan-pesan Allah yang dibawa oleh para rasul utusan-Nya.

Ketidakjelasan pola pikir ini menunjukkan bahwa sebetulnya ia tidaklah memiliki konsep matang dan pijakan kuat dalam bernalar—sehingga hal itu akan berkonsekwensi pada ketiadaan buah pikiran yang hakiki pada alam rasional dan ruang perasannya. Ketika ia mengklaim telah mengakui, menyukai, serta mengimani kerasulan salah satu rasul tetapi tidak memberikan sikap yang sama terhadap rasul yang lain, maka sesungguhnya klaim pengakuan, kesukaan, dan keimanannya itu adalah sesuatu yang nihil serta tidak betul-betul ada secara nyata. Begitu juga ketika ia mengaku beriman kepada Allah tetapi justru menolak pesan-pesan Allah melalui para utusan-Nya.

Al-Quran mendedahkan karakteristik pemikir inkonsisten semacam ini dalam ayatnya: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud membeda-bedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dan juga mengatakan: ‘Kami beriman kepada yang sebagian (rasul) dan kami kafir terhadap sebagian (rasul yang lain)’, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (antara iman dan kekafiran), mereka itulah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan.” (QS. An-Nisâ’: 150-151).

Ketika seseorang mengaku beriman kepada Allah, konsekwensi logisnya ia harus mengimani semua pesan-pesan dan ajaran-ajaran Allah yang disampaikan kepadanya melalui akal fitrah maupun melalui semua rasul yang diutus Allah. Melalui siapapun pesan dan ajaran Allah itu disampaikan, semuanya adalah pesan dan ajaran Allah. Jadi tidaklah sah secara rasional untuk membeda-bedakan sikap terhadap pembawa pesan dengan pembawa pesan yang lainnya, sebagaimana juga tidaklah sah mengaku beriman kepada Allah tetapi menolak semua pesan yang dibawa para utusan-Nya. Oleh karena itulah, keimanan yang dicemari oleh salah satu dari kedua bentuk ketidakrasionalan paham dan inkonsistensi berpikir ini adalah keimanan yang semu, tidak hakiki, dan sia-sia belaka.

Ketidakrasionalan pertama direpresentasikan oleh kalangan Yahudi dan Nasrani yang enggan mengakui kerasulan Muhammad saw. sementara mereka sudah mengakui kerasulan beberapa nabi sebelum beliau. Dan ketidakrasionalan kedua direpresentasikan oleh kalangan penentang rasul yang banyak diceritakan oleh Al-Quran. Di era modern, paham penentangan para rasul itu menitis kembali pada kalangan Deists (penganut paham Deisme) yang mengaku beriman kepada Tuhan tetapi menolak wahyu dan kenabian.

Ada bentuk lain dari paham irasional berjenis inkonsistensi berpikir ini yang sangat populer di zaman sekarang, yaitu Sekularisme. Paham ini menganggit konsep yang secara substansial menyatakan bahwa wilayah kedaulatan agama tidak boleh mencakup wilayah-wilayah kedaulatan negara atau pemerintahan. Aturan Tuhan hanya dibatasi keberlakuannya dalam ruang sempit individu atau komunitas masyarakat yang terbatas. Sebagai gantinya, hukum dan ajaran yang diterapkan pada level publik adalah hukum dan ajaran yang diproduk oleh adat dan budaya setempat (warisan nenek moyang) atau dihasilkan secara kontemporer oleh konvensi para wakil rakyat dan keputusan pada pemegang kendali pemerintahan.

Ini sebetulnya paham klasik yang sudah ditradisikan oleh kalangan Ahlul Kitab ketika mereka menjadikan kalangan cerdik-cendekia dan figur-figur religius mereka sebagai pemegang penuh supremasi leglisatif di level publik. Allah menceritakannya dalam Al-Quran: “Mereka menjadikan orang-orang pandai dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah dan (mereka juga mempertuhankan) Al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At-Taubah: 31). Inkonsistensi sikap sedemikian ini juga rawan terjadi di lingkungan Umat Islam sendiri—akibat ulah kalangan Munafiqun—sebagaimana disindir dalam QS. An-Nisâ': 61-63.

Untuk level yang sempit, mereka mengakui otoritas Allah sebagai Tuhan yang berhak disembah dan ditaati aturan-Nya, tetapi untuk level yang lebih luas mereka menolaknya dan justru menjadikan opini-opini manusia yang rawan salah sebagai pijakan dan panutan: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: 'Ikutilah ajaran yang telah diturunkan oleh Allah!" mereka menjawab: '(Tidak!) Kami justru mengikuti ajaran yang telah kami dapati dari (warisan) nenek moyang kami'. Akan bagaimanakah halnya jika nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun dan tidak berada dalam jalur hidayah?!” (QS. Al-Baqarah: 170).

Inilah sampel-sampel nyata untuk pola inkonsistensi yang terkait dengan pengakuan atas kebenaran dan otoritas Tuhan Yang Maha Sempurna. Akibat penerjangan Prinsip Proporsionalitas dalam bernalar, seseorang kemudian secara semrawut membeda-bedakan situasi sehingga ia hanya beribadah dan menghamba Allah pada momen-momen tertentu saja. Akibat kesalahan yang sama, seseorang kemudian mengaku beriman kepada Allah tetapi mengingkari wahyu-wahyu dan para rasul-Nya; atau mengakui beberapa tetapi menolak yang lainnya; atau mengakui semuanya tetapi membatasi ruang pelaksanaannya hanya pada level-level kehidupan tertentu saja. Semua kesesatan pikiran dan inkonsistensi sikap ini adalah buah dari "pembedaan hal-hal yang identik dan pemisahan hal-hal yang utuh". Semoga Allah menjauhkannya dari kita semua!

BAGIAN 4
Dalam tiga seri sebelumnya, kita sudah membincang sebuah neraca pemikiran dan asas penalaran yang sangat esensial, yaitu Prinsip Proporsionalitas, yang menandaskan bahwa "hal-hal yang sama haruslah disatukan dan hal-hal yang berbeda haruslah dipisahkan". Kita juga sekilas telah menyinggung dua bentuk pelanggaran atas prinsip ini, yaitu "penyamaan hal-hal yang tidak bisa disamakan" dan "pemisahan hal-hal yang tidak bisa dipisahkan". Kedua bentuk pelanggaran ini sama-sama telah melahirkan aneka paham dan keyakinan yang menodai hati nurani serta bertentangan dengan akal sehat.

Kesamaan, keserupaan, atau keselarasan di antara beberapa hal adalah alasan mengapa hal-hal itu dinilai dan disikapi secara sama, serupa, atau senada sesuai konteksnya. Dan perbedaan, perlawanan, atau pertentangan yang terdapat di antara beberapa hal adalah alasan mengapa hal-hal itu dinilai dan disikapi secara berbeda, berlawanan, atau bertentangan sesuai konteksnya. Ini berarti bahwa penilaian dan penyikapan proporsional kita terhadap beberapa hal itu sangat ditentukan oleh pengenalan kita terhadap letak dan tingkat kesamaan serta perbedaan hal-hal tersebut.

Pertanyaan yang otomatis muncul di sini adalah: Bagaimana kita mengenal persamaan atau perbedaan berbagai hal? Bagaimana kita mengetahui bahwa dua buah obyek maupun pernyataan itu sama, serupa, atau selaras? Bagaimana juga kita mengetahui bahwa keduanya itu berbeda, berlawanan, atau bertentangan? Dan bagaimana kita mengidentifikasi tingkat persamaan maupun perbedaan itu? Lantas ketika kedua obyek atau pernyataan itu ternyata punya sisi-sisi persamaan tetapi sekaligus juga punya sisi-sisi perbedaan, bagaimanakah kita mengenali letak dan pengaruh masing-masing persamaan serta perbedaan tersebut?

Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan perkara inti sebelum Prinsip Proporsional bisa diterapkan secara tepat. Ketika dua hal sudah diketahui sama, maka kita tinggal memberikan perlakuan yang sama terhadap keduanya. Dan ketika dua hal sudah diketahui berbeda, maka kita juga tinggal memperlakukan keduanya secara berbeda. Tetapi ketika persamaan atau perbedaan itu belum diketahui, penilaian dan penyikapan yang proporsional tentu juga belum bisa diberikan.

Seperti sudah disinggung dalam seri pertama tulisan ini, manusia normal memiliki tiga potensi besar yang merupakan sarana asasi untuk menyerap pengetahuan dan mengenal kebenaran, yaitu kemampuan untuk: (1) melakukan penginderaan, (2) menerima informasi, dan (3) berpikir secara sehat. Segala pengetahuan yang diserap oleh manusia serta segala kebenaran yang dikenalnya datang dan nampak melalui ketika jalur ini.

Oleh karena itu, secara epistemologis ilmu pengetahuan dan kebenaran itu bisa dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) wawasan empiris, (2) wawasan informatif, dan (3) wawasan rasional. Yang pertama dihasilkan oleh pencerapan inderawi secara langsung; yang kedua dihasilkan oleh menyerapan informasi dari sumber luar; yang ketiga dihasilkan oleh analisa dan penalaran.

Instrumen paling dominan untuk menghasilkan wawasan empiris adalah penglihatan, untuk menghasilkan wawasan informatif adalah pendengaran, dan untuk menghasilkan wawasan rasional adalah akal pikiran. Al-Quran menandaskan, "Allah mengeluarkan kalian dari perut-perut ibu kalian dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa. Dan Allah jadikan untuk kalian pendengaran, penglihatan, dan akal pikiran agar kalian bersyukur" (QS. An-Nahl: 78).

Karena pengetahuan yang diserap dan kebenaran yang diketahui oleh manusia itu berkisar pada ketiga bentuk wawasan ini, maka pengenalan akan kesamaan, keserupaan, keselarasan, perbedaan, perlawanan, maupun pertentangan antara dua hal atau lebih itu juga merupakan salah satu atau gabungan dari ketiga bentuk wawasan ini. Tepat atau tidaknya identifikasi mengenai kesamaan dan perbedaan di antara dua hal atau lebih sangatlah ditentukan oleh tepat atau tidaknya wawasan empiris, informatif, atau rasional yang digunakan sebagai dasar pengenalan akan persamaan dan perbedaan itu. Semakin tepat sebuah wawasan mengenai beberapa hal, semakin tepat pula tingkat pengenalan seseorang terhadap persamaan maupun perbedaan yang ada di antara hal-hal tersebut.

Oleh sebab itu, di sini kita perlu mendalami kapan saja sebuah wawasan empiris, wawasan informatif, dan wawasan rasional itu bisa diterima dan kapan saja ia harus ditolak; kapan saja ia kuat dan kapan saja ia lemah; kapan saja ia bisa dipastikan benar dan kapan saja ia masih meragukan.

Wawasan empiris adalah wawasan yang didapatkan melalui pencerapan inderawi secara langsung. Warna meja, bentuk kursi, dan ukuran lemari, misalnya, bisa kita kenali secara empiris dengan cara melihatnya secara langsung. Begitu juga dengan hal-hal lainnya yang bisa kita kenali secara langsung menggunakan indera kita seperti bunyi suara burung, rasa manis gula, dan bau harum bunga. Karena mengandalkan indera, maka parameter pertama yang menentukan kualitas dan ketetapan wawasan empiris semacam ini adalah "ketajaman indera". Semakin tajam indera penglihatan seseorang, semakin tepat pula identifikasinya terhadap warna dan bentuk sebuah benda yang dilihatnya. Semakin tajam indera pendengaran seseorang, semakin jelas pula pengenalannya akan bunyi dan intonasi dari suara yang didengarnya. Demikian juga untuk indera-indera lainnya. Ketajaman indera ini juga bisa semakin meningkat atau semakin menurun ketika seseorang menggunakan alat bantu atau terhalang oleh sesuatu. Melihat dengan kaca pembesar tentu lebih kuat hasilnya dibandingkan melihat dengan mata telanjang, dan melihat di cuaca yang cerah tentu lebih kuat dibandingkan melihat ketika kabut sedang memenuhi udara.

Ketajaman indera merupakan parameter utama yang menentukan tingkat kekuatan wawasan empiris mengenai sebuah obyek dalam sekali waktu. Tetapi ketika yang diamati adalah kondisi obyek dari waktu ke waktu, atau yang diamati adalah beberapa obyek sekaligus, maka ada perameter lainnya yang sangat menentukan kuat atau tidaknya wawasan empiris ini selain ketajaman indera, yaitu "keluasan observasi". Keluasan observasi ini mencakup "tingkat keseringan" (frekuensi pengamatan), "tingkat keutuhan" (banyaknya perspektif), dan "tingkat kemencakupan" (besarnya sampel yang diamati). Semakin sering pengamatan dilakukan, semakin utuh sudut pandang yang digunakan, dan semakin besar cakupan obyek yang diamati, semakin kuat pula wawasan empiris yang dihasilkan dan semakin kecil pula peluang kesalahan yang ditimbulkan.

Pengamatan terhadap karakteristik air, misalnya; ketika pengamatan ini dilakukan menggunakan indera yang tajam, memakai alat bantu yang canggih, serta dilakukan dalam frekuensi yang besar, dari berbagai perspektif yang banyak, dan dilangsungkan untuk berbagai sampel air di banyak tempat di muka bumi, maka hasil berupa pengetahuan empiris berisi pengenalan akan identitas air dan sifat-sifatnya dalam pengamatan semacam itu akan kuat dan meyakinkan. Wawasan-wawasan mendetail hasil pengamatan tersebut seputar perbandingan antara satu air dengan air lainnya, antara satu waktu dengan waktu lainnya untuk air yang sama, serta antara berbagai macam air dalam berbagai waktu dan kondisi yang berbeda adalah dasar dari penentuan kita terhadap persamaan, keserupaan, perbedaan, maupun kekontrasan obyek-obyek atau karakteristik-karakteristik air tersebut. Dengan adanya wawasan empiris yang matang mengenai beberapa obyek atau mengenai sebuah obyek dalam berbagai kondisi, kita pun dengan mudah bisa menerapkan Prinsip Proporsionalitas untuk menilai atau menyikapi obyek-obyek tersebut sesuai dengan konteksnya.

Ketika, misalnya, kita sudah berhasil mengamati karakteristik sebuah cairan tertentu secara cermat, dan secara meyakinkan kita sudah berhasil mengenali adanya sifat "memabukkan" dalam cairan tersebut pada kondisi yang normal, maka pada saat itu secara otomatis kita sudah bisa menerapkan Prinsip Proporsionalitas untuk menilai dan menyikapinya sebagai cairan yang haram untuk diminum dan berbahaya untuk dikonsumsi karena akan merusak akal pikiran dan mencuatkan permusuhan serta mendatangkan berbagai bencana lainnya. Kita memperlakukan cairan tersebut sebagaimana perlakuan kita terhadap cairan yang sejenis dan sekarakter dengannya, meskipun—misalnya—masyarakat tidak sedang menyebutnya sebagai "khamr", tidak menjulukinya sebagai "minuman keras", dan tidak menyadari bahaya yang terkandung di dalamnya. Sebutan, penjulukan, dan ketidaksadaran subyektif ini sama sekali bukanlah penghalang untuk tetap menilai dan menyikapi obyek tersebut secara proporsional.

Penulis: Nidlol Masyhud, Lc.
Mahasiswa pascasarjana Universitas Al-Azhar Kairo. Aktif di KPS (Kampus Pemikiran SINAI) dan Majelis Litbang SINAI. Juga aktif sebagai Wakil Ketua I Orsat ICMI Kairo dan anggota Majelis Litbang PMIK (Perpustakaan Mahasiswa Indonesia Kairo).

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun