Sekali lagi kami merasa "perlu" untuk memposting "diskusi" ini, sebab hal ini adalah bentuk "keprihatinan" kami tentang apa yang berkembang sekarang dalam ranah studi Islam khususnya kali ini sebagai respon atas seruan "pendekonstrusian" tafsiir.
Diskusi ini awalnya berangkat dari tema yang di posting oleh pak Relly Jehato pada 21 Mei 2010 lalu, yang berjudul Mari Menganut Agama Universal. Yang pada akhirnya muncul pak Elkazhiem yang membawa-bawa tema "dekonstruksi" dan "hermeneutika" dalam ranah tafsiir. Sehingga diskusi pun alur tema-nya menjadi berubah.
Sebelumnya terimakasih banyak pada pak Relly atas kesediaannya menampung komentar-komentar atas artikelnya dan maaf jika diskusinya berubah alur, maka dengan postingan ini harapannya dapat menempatkan pada porsi yang sebenarnya sehingga tidak "mengganggu" alur tema yang pak Relly angkat.
Kepada kompasioner khususnya yang tertarik dengan studi Islam, semoga ini dapat menjadi "konsern" kita bersama.
----------------------------------------------
#Tanggapan Kupret Elkazhiem:
ya semua dalil agama bisa jadi baik, tetapi nalar agama bisa jadi terdistorsi oleh sikap otoritarianisme. Otoritarianisme yang dimaksud di sini adalah seperti yang diutarakan oleh Khaled Abou el-Fadl, yaitu mengkooptasi penafsiran atau mengunci satu teks pada satu pemaknaan tunggal dan menyumbat kemungkinan penafsiran yang lain. Sikap itu sesungguhnya menunjukan bahwa seolah-olah, dengan menetapkan satu pemaknaan pada satu teks, dialah yang tahu hakikat makna yang sesungguhnya. Seoalah seseorang tersebut mengetahui kehendak Tuhan dan lantas penafsirannya menjadi mutlak dan absolut.
Dalam tindakan yang seperti itu, tanpa disadari, sebenarnya telah terjadi perubahan posisi dan peran. Pencarian makna teks yang dilakukan oleh pembaca harus selalu ditempatkan dalam naungan asumsi bahwa usahanya mencari makna adalah usahanya mencari dan mendekati kebenaran. Usaha tersebut bukanlah realitas kebenaran itu sendiri.
Apabila seseorang telah menetapkan satu makna penafsiran atas satu teks, dan hanya satu-satunya yang diyakininya sembari mengingkari alternatif pemaknaan lain, sesungguhnya dengan begitu teks telah larut ke dalam karakter pembaca. Teks telah terperkosa. Pembaca telah berubah posisinya menjadi teks, bahkan bisa jadi sekaligus pengarang (Tuhan). Itulah pola otoriter. Perbuatan itu tanpa disadari telah berujung pada penyekutuan Tuhan, yakni penyekutuan dengan dirinya sendiri. Itulah kenapa dalam ajaran Islam dikatakan orang yang mengkafirkan orang lain karena penafsiran yang berbeda sesungguhnya dirinya telah kafir. Karena secara tidak langsung ia telah mengambil alih posisi pengarang (author) yakni Tuhan. Ia telah menjadi Tuhan.
Kemunduran peradaban Islam, saya kira, salah satunya, berawal dari sikap otoriter ini. Sebagian besar kita sekarang ini mengunci rapat-rapat teks pada satu penafsiran. Seolah penafsiran-penafsiran telah baku. Namun naasnya, di Indonesia banyak orang yang nalarnya adalah nalar otoritarianisme, sehingga tidak bisa mengkompromisasikan yang namanya perbedaan dan pluralitas (kemajemukan). Dampaknya yang lebih parah adalah manusia (dg latar belakang agamanya) tetap terjebak pada perang ideologi dan kepentingan.
# Tanggapan Relly Jehato:
catatan yang menarik dan mencerahkan Pak Kupret..saya setuju pendapatnya…terima kasih…salam….
# Tanggapan Wida Nafis:
Kompasioner budiman,
Pak Elkazhiem menulis :
ya semua dalil agama bisa jadi baik, tetapi nalar agama bisa jadi terdistorsi oleh sikap otoritarianisme. Otoritarianisme yang dimaksud di sini adalah seperti yang diutarakan oleh Khaled Abou el-Fadl, yaitu mengkooptasi penafsiran atau mengunci satu teks pada satu pemaknaan tunggal dan menyumbat kemungkinan penafsiran yang lain.
WN:
Konstruk pemahaman dalam Islam memang tersetting terlahir dengan tradisi “Ke-Otentisan” dan “Ke-otoratifan”. Sehingga muncul istilah Tradisi Sunnah, yang dengannya bangunan pemahaman dalam Islam harus dihadapkan terhadap tolok ukur “Ar-Rasuul wa Sabiilul Mu’miniin”. Ini sesuai dengan pesan Rasul saw “innahu man ya’isy ba’dii fasayara-khtilaafan katsiiran, fa ‘alaykum bi sunnatii wa sunnatil khulafaa’i-r raasyidiinal mahdiyyiina min ba’dii”.
Sehingga tidak ada satupun muslim yang BEBAS mengemas ide2nya tentang Tuhan dan Islam. Kecuali jika yang dimaksud dengan “mengemas” itu adalah urusan-urusan teknis yang tidak punya efek substansial. Ide2 tentang Tuhan dan Islam itu “given”, diserap dari referensi-referensi yang reliabel dalam Islam (Quran, Sunnah,
Ijma’).
Pengemasannya bisa saja menggunakan analisa-analisa keilmuan yang relevan. Tapi Sumber dan Prosesnya harus seirama. Sebab jika tidak, maka Orang Musyrik Jahiliyyahpun juga tidak boleh dilarang ketika mereka mengemas ide ketuhanan mereka dengan menyatakan “maa
na’buduhum illaa liyuqarribuunaa ilallaahi zulfaa”.
Ketika bangunan Ke-otoratifan dan ke-otentisan ini dipaksa dibuang, di-dekonstruksi dengan merelatifkan semua penafsiran…ya sama saja “membumi-hanguskan” Islam sendiri.
Ini juga sama saja “MENUHANKAN” akal dengan faham relatifismenya. Artinya Tuhan harus tunduk persepsi akal yang merelatifikasikan semua penafsiran.
Nah, kenapa bisa demikian? Karena bagi Islam, Allah dalam wahyunya sudah mem posisi Tradisi Sunnah sebagai bentuk parameter paling otoratif dalam menafsirkan pesan Tuhan.
Bagi Islam, wahyu dipandang sebagai “Kebenaran Mutlak” yang berasal dari Tuhan dan sudah diturunkan ke-dunia kedalam bahasa yang dipahami manusia, oleh sebab itu Allah berfirman “Al Haqqu min Robbika” bukan menggunakan kata “Al Haqqu ‘indaka Robbika”. Kata “Min” disini berarti “Dari Sono (Tuhan) dan sudah ada disini, ditengah-tengah kita”.
Seruan untuk merelatifikasikan semua penafsiran adalah seruan yang absurd dan naif. Dan terang-terangan melanggar semua kaidah logika dan proporsionalitas.
Pak Elkazhiem menulis :
Kemunduran peradaban Islam, saya kira, salah satunya, berawal dari sikap otoriter ini. Sebagian besar kita sekarang ini mengunci rapat-rapat teks pada satu penafsiran. Seolah penafsiran-penafsiran telah baku.
WN:
Sekedar lontaran asumtif belaka dan tidak berdasar pada fakta historis, menunjukan “miskin” pemahaman yg komprehensif tentang konstruk peradaban Islam.
Sebab justru peradaban Islam itu berkembang maju pesat semenjak al-Mutawakil mengembalikan “mazhab” peradaban kembali kepada Tradisi Salaf / Sunnah, dan term ini pun jauh hari sejak lama sudah di serukan oleh para Aimmah Mutaqoddimun dikalangan tabi’in seperti Sufyan ats-Tsauri.
Dengan spirit atas Nilai “Kembali pada Tradisi Salaf / Sunnah” membawa para pemikir Muslim pada konflik (al-nafyu wa al-ithbaat) dengan pemikiran Yunani sehingga pemikiran tersebut menjadi ter-Islamisasi-kan
(Seperti yang didedahkan oleh Iqbal dalam The Reconstruction of the religion thought in Islam).
Demikian,
WN.
# Tanggapan Relly Jehato:
ini persoalan hermeneutika islam..saya gak mau ikut campur…hehehe…sebaiknya komentar ini dilampirin ke profil (sapaan) Elkazhiem ya….siapa tau ada feedback…
# Tanggapan Kupret Elkazhiem:
cara-caranya harus begini dan begitu sudah layak dibilang otoriter, apalagi mengangkat hermeneutika sejajar dengan metode tahlili dan maudhu’i, tambah dibilang sesat tuh. Memangnya yang Islami itu seperti apa? apa ketika Einstein menemukan teori tentang bom atom, terus ditambahin embel2 ayat al-Qur’an dan para ulama klasik yang pernah menafsirkan ayat yang nyerempet2 ke bom atom. Tindakan-tindakan mengkooptasi seperti itu sebenarnya yang menghancurkan Islam secara internal, paradigma penafsiran itu sebenarnya ada dua; yaitu teks dan konteks. “Yang tekstual” ini biasanya direpresentasikan oleh nalar2 literalis sedangkan “yang kontekstual” ini luas cakupannya, ada yang direpresentasikan oleh nalar-nalar mistisisme (sufistik) atau dalam bahasa abid al-jabiri yaitu nalar irfani, dan ada pula yang menggunakan nalar burhani alias filsafat. Persoalan metode dan pendekatan yang digunakan dalam paradigma kontekstual juga beragam, ada sosiologis, historis, etnografis, dsb. Berbeda dengan metode pendekatan kalangan yang berparadigma tekstual, alias kaum tekstualis, yang menganggap ayat adalah sesuatu yang harus didekati secara normatif dan tekstual, akhirnya penfsiran yang dihasilkan adalah rigid dan kaku, lalu jika penafsiran itu digunakan dalam metode pencarian hukum yang muncul adalah produk hukum yang juga rigid. Lalu produk rigid itu diaplikasikan dalam ranah praksis, maka yang terjadi adalah tindakan2 otoriter yang mengkooptasi otoritas dan otentisitas, yang menyapu segala bentuk penafsiran-penafsiran yang berbeda
# Tanggapan WN:
Kompasiner yang budiman, khususnya pak Elkazhiem,
KE:
cara-caranya harus begini dan begitu sudah layak dibilang otoriter, apalagi mengangkat hermeneutika sejajar dengan metode tahlili dan maudhu’i, tambah dibilang sesat tuh.
WN:
Lah memang sesat, karena tidak sesuai dengan semangat nilai-nilai dari Tradisi Sunnah yang sudah mapan dan otoratif.
"wa man yusyaaqiqi-r rasuula min ba'di maa tabayyana lahul hudaa wa yattabi' ghaira sabiilil mu'miniina niwallihi maa tawallaa wa nushlihi jahannama wa saa'at mashiiraa"
Sudah jelaskan, bahwa pemahaman Tradisi Sunnah adalah tolak ukurnya, diluar itu..maaf saja bukan Islam.
KE:
Memangnya yang Islami itu seperti apa? apa ketika Einstein menemukan teori tentang bom atom, terus ditambahin embel2 ayat al-Qur’an dan para ulama klasik yang pernah menafsirkan ayat yang nyerempet2 ke bom atom.
WN:
Yang Islami ya sekali lagi yang pemahaman yang dihasilkan tunduk pada parameter "Ar-Rasuul
wa Sabiilul Mu'miniin". Bukan yang lain. Sekali lagi ini masalah otentitas dan keotoratifan.
Sehingga "berteologi" dalam Islam baik yang bermental "tunduk
pada fitrah" maupun yang bermental "tunduk pada absurditas filsafat", semuanya kembali harus dihadapkan terhadap tolok ukur tadi "Fa rudduhu ilalaahi
war-rasuul".
Hasil keputusan finalnya bisa berbeda, tapi yang penting adalah proses penuh kesungguhan untuk menyandarkan Ide Teologi kita pada referensi-referensi itu.
Pada posisi inilah "worldview" memainkan peran yang sangat significan. Yang dimaksud dgn term "worldview" ini adalah paradigma yang menyediakan nilai, standart dan metodologi tertentu yang mengikat kuat kerja-kerja saintifik, yang menjadikannya framework permikiran dan disiplin ilmu pengetahuan (Thomas S Kuhn, Hegel). Ia diposisikan menjadi "filter" dan disinilah kita mengenal proses "al-nafyu wa al-ithbaat"
Nah, persoalan hermeneutis secara historis adalah jelas persoalan yang dihadapi oleh Barat dengan probematika agama dan filsafat-nya, sehingga pembacaan hermeneutika ini sangatlah erat dengan "kacamata" framework problematika dalam "worldview" Barat, sementara problematika ini tidaklah dihadapi oleh Islam.
Sehingga bukanlah konsen Islam untuk terlibat jauh dalam permasalahan semantik bahasa secara umum, dimana para filosof bahasa menghadapi masalah dalam menyesuaikan atau menghubungkan bahasa dengan dengan realitas yang sebenarnya secara tepat (SM Naquib al-Attas)
KE:
Tindakan-tindakan mengkooptasi seperti itu sebenarnya yang menghancurkan Islam secara internal, paradigma penafsiran itu sebenarnya ada dua; yaitu teks dan konteks. “Yang tekstual” ini biasanya direpresentasikan oleh nalar2 literalis sedangkan “yang kontekstual” ini luas cakupannya, ada yang direpresentasikan oleh nalar-nalar mistisisme (sufistik) atau dalam bahasa abid al-jabiri yaitu nalar irfani, dan ada pula yang menggunakan nalar burhani alias filsafat
WN:
Justru asumsi-asumsi yang dipakai baik oleh al-Jabiri, Arkoun, Nasr Abu Zyad, dst itu bermasalah secara metodologi dan lemah secara faktual argumentatif. Oleh sebab itu di "medan" ilmiah, klaim-klaim asumtif mereka gugur diterjang badai kritik komparatif yang dilakukan oleh para komentator dan lawan-lawannya. Sehingga wajar saja proyek-proyek mereka dinilai kontradiktif, absurd dan naif.
Kontradiktif misalnya dalam proyek "Naqd al Aql al Arabi"nya al-Jabiri yang membuang "metafisika" dalam pembacaan Nash dan menggantikannya dengan "akal". Ini sama saja mendevaluasi dan "membongkar" paksa istilah-istilah yang sangat fundamental dan mapan seperti surga, neraka, kenabian, wahyu, dst. Ketika kita membuang dan mendekonstruksi term-term tadi ya sama saja "melenyapkan" otentitas Islam sendiri, sehingga tidak ada lagi tersisa....apa layak hasil kajian yg seperti itu disebut Islami?.
Terlebih lagi "Akal" yang dipakai oleh al-Jabiri itu adalah akal positivisnya ala Rasionalisme abad Pencerahan di Barat. Padahal Rasionalisme abad Pencerahan itu sendiri saat ini sedang mendapat kritikan tajam, bukan hanya dari kalangan ilmuwan Muslim tapi juga dari kalangan intelektual Barat sendiri.
Parahnya lagi al-Jabiri mengadopsi dua metodologi yang saling "bertentangan", Ia meminjam konsep episteme Foucault untuk mengembangkan teori episteme Arab yang kemudian dikenal dengan Bayani, ’Irfani, dan Burhani. Disisi lain dia meminjam teori epistemological rupture (keterputusan epistemology) nya Bachelard, sebuah teori yang sebenarnya digunakan untuk membaca sejarah dan filsafat Sains.
Ini sebuah cara "bunuh diri" yang al-Jabiri tidak sadari.
Adalah aneh jika kemudian konsep yang absurd ala al-Jabiri ini kok malah dijadikan contoh dalam "mendekonstruksi" tradisi tafsiir.
KE:
Persoalan metode dan pendekatan yang digunakan dalam paradigma kontekstual juga beragam, ada sosiologis, historis, etnografis, dsb.
WN:
Tak masalah anda mau membawa paradigma apa saja dalam penafsiran atas Nash. terpenting dalam tataran ini adalah "ketajaman analisa" dan "kekuatan argumentasi"-nya. Bukan "gaya" dan "model"-nya.
Metode pembacaan secara "kontekstual" memang berbeda dengan pembacaan secara "tekstual". Akan tetapi titik perbedaannya terletak pada gaya, sistematika, dan alur pandang. Bukan pada hakekat kesimpulan. Jadi mau dibaca dari sisi manapun, substansi, narasi realitas dan historisnya tidak akan berubah.
Yang jadi masalah adalah jika pembacaan dengan metode-metode diatas ternyata terbukti hanya untuk memandu satu "kepentingan", bisa jadi kepentingan itu adalah kepentingan metodologi. Jadi mengkaji Nash bukan dengan semangat menemukan hakikat, realitas dan substansi secara benar namun hanyalah mengkaji untuk metodologi (supaya bisa dipakai).
Ini jelas keluar dari semangat Tradisi Sunnah yang parameternya adalah Ar-Rasuul wa Sabiilul Mu'miniin. Jika ini dipaksakan, maka yang terjadi adalah "pembumi-hangusan" Islam, sebab secara orisinalitas tidak ada lagi yang namanya Islam. Yang ada hanyalah Islam menurut kepentingan metodologi (sosiologis, historis, etnografis). Ini sama saja Pseudo-Islam !
Jadi dunia akan diputar 180 derajat (atau kurang atau lebih). Al-Quran dan penjelasan Nabi dibalik statusnya menjadi 'terdakwa' yang diadili, sedangkan konsep-konsep Barat diberi status sebagai hakim yang mengadili. Sang filsuf menjadi jaksa penuntutnya. Ini pola klasik yang tersubur-lestari sampai zaman sekarang di kalangan para pemikir liberal dan pengkaji sekular yang terkesima oleh filsafat-filsafat diabolik dan teori-teori orientalis.
Sehingga, kini Hadits Nabi saw bahwa Islam awalnya adalah gharib dan akan kembali gharib pun telah terbukti. Kini Muslim berbicara ilmu pengetahuan Islam, sejarah Islam, dan bahkan ajaran Islam dengan pemahaman, nilai, ide, pendekatan, dengan terminologi asing.
KE:
Berbeda dengan metode pendekatan kalangan yang berparadigma tekstual, alias kaum tekstualis, yang menganggap ayat adalah sesuatu yang harus didekati secara normatif dan tekstual, akhirnya penfsiran yang dihasilkan adalah rigid dan kaku, lalu jika penafsiran itu digunakan dalam metode pencarian hukum yang muncul adalah produk hukum yang juga rigid.
WN:
Bisakah anda kasih bukti, contoh mana yang anda klaim penafsiran dan produk hukum yang kaku itu? Seperti apa?
KE:
Lalu produk rigid itu diaplikasikan dalam ranah praksis, maka yang terjadi adalah tindakan2 otoriter yang mengkooptasi otoritas dan otentisitas, yang menyapu segala bentuk penafsiran-penafsiran yang berbeda
WN:
Tidak semua penafsiran bisa diterima, dan tidak semua penafsiran harus ditolak. Penafsiran yang dipandu oleh ideologi tertentu dan interpretasi yang dipaksakan untuk menjustifikasi suatu kepentingan tentu sulit untuk diterima.
Sekali lagi, ide maupun aksi dalam Islam kita tidak boleh bebas, semuanya ada tolok ukurnya. Yakni Tradisi Sunnah tadi. Ini tidak bisa disebut OTOLITER.
Penentuan Aksi itu juga mempertimbangan posisi sosial dan
politik kita. Ketika kita berposisi sebagai "hakim/qadhi" tentu berbeda dengan ketika kita berposisi sebagai masyarakat biasa. Begitu juga antara "Pemerintah" dengan "Rakyat". Semua ini banyak dikaji dalam Ahkam Sulthoniyyah, Siyasah Syar'iyyah, Fiqhul Ifta', dan Fiqhud Da'wah.
Seringnya, seseorang bertindak tanpa mempertimbangkan
posisinya. Di situlah biasanya kerunyaman itu muncul, termasuk tindakan OTOLITER yang anda maksudkan.
Misalnya seorang "da'i" yang berposisi sebagai "qadhi". Ini bahaya. Dan poin inilah yang sangat diperhatikan oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah. Makanya namanya adalah "Ahlus Sunnah wal Jamaa'ah". Ahlus Sunnah berarti "konsisten pada kebenaran", dan Ahlul Jamaa'ah berarti "menjaga keutuhan Umat".
Intinya, sebuah tindakan hanya bisa disebut OTOLITER maupun "kriminil" jika memang
"tidak legal" atau tidak dilakukan oleh "pihak yang berwenang". Dalam konteks diskusi "penafsiran" ini "pihak yang berwenang" itu ya pemahaman yang Otoratif yakni Tradisi Sunnah.
Demikian,
WN.