Kami merasa "perlu" untuk mempublish ulang (sambil menunggu klarifikasi dari pak Rifai) diskusi ini sebab "tema" ini sebetulnya bentuk "keprihatinan" kami atas banyaknya publikasi tulisan-tulisan di Kompasiana dan media lain yang mengusung "tema" dekonstruksi, kritik atas kajian Tafsiir dalam ranah studi ke-Islaman.
Harapannya hal ini dapat menjadi "perhatian" bersama khususnya dikalangan Muslim di forum Kompasiana ini, semoga hal ini bisa menjadi refleksi bersama.
__________________________
# Tanggapan Pak Rifai:
marilah kita kaji kazanah islam yang dibangun oleh filosof muslim agar kita tak merugi dan saling mencaci maki.
# Tanggapan Hantu Kampung :
sekedar referensi:
Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam:Muhammad Maghfur, MA.:Al-Izzah.
semoga bermanfaat. 
# Tanggapan Wida Nafis :
Maaf mengklarifikasi apakah yg dimaksud dgn Abid Jabiri itu Abid al-Jabiri yang menulis tentang Kritik Nalar Arab?
# Tanggapan pak Rifai:
yup betul.
# Tanggapan pak Rifai:
wah anda ternyata di indonesia yang krisis referensi. punya muhammad maghfur kok dijadikan andalan, saya kira ibn rosyd adalah puncak filsafat islam. cobalah pahami karya-karyanya kalau anda ingin mengetahui kesalahan para mutakallimin yang cenderung terjerumus menjadi neo platonis, sekaligus kalau anda ingin tahu betapa dahsyatnya beliau hingga beliau lebih dulu terkenal di eropa ketimbang di ranah islam sendiri setelah beliau dikafirkan.
# Tanggapan Wida Nafis:
Pak Rifa’I,
Sedikit catatan tentang “Naqd al-‘Aql al-‘Arabi” nya M. ‘Abid al-Jabiri. Catatan ini kami ambil dari desertasinya Pak Nirwan Syarif “A Critique of Reason in Contemporary Arab Philosophical Discourse with Special Reference to Muhammad ‘Abid al-Jabiri”.
1. Inti dari kajian al-Jabiri, dia mengecam metode Bayani yang dikembangkan oleh para Fuqaha’ dan ’ulama Ushul Fiqh karena dianggap lebih mengedepankan teks dari pada substansi teks. Dalam konteks ini, Jabiri seperti Arkoun, Abu Zayd, dan Adonis, ”menyerang” Imam Syafi’i, kerena dianggap orang bertanggung jawab meletakkan dasar berpikir tersebut melalui karya monumentalnya, al-Risalah.
Sayangnya, menurut Pak Nirwan Syarif, Jabiri gagal memahami faktor teologis dan sosiologis yang mendorong umat Islam bersikap seperti ini. Dia seolah-olah sengaja melupakan posisi sentral dan kesucian al-Qur’an dalam sistem ‘aqidah Islam. Sebagaimana yang kita maklum, bahwa kaum Muslimin yakin bahwa al-Qur’an adalah Kalam Allah yang diturunkan secara verbatim kepada Rasulullah dan diyakini sebagai manifestasi dari “keinginan” (iradah) Allah pada makhluqnya. Maka wajar jika umat Islam selalu merujuk pada Kitab Suci ini ketika mereka berhadapan dengan masalah apa saja. Karena ia diyakini sebagai petunjuk yang dapat membimbing kehidupan mereka.
Para kaum liberal seperti Jabiri ini mungkin sebenarnya sadar akan posisi teologis al-Qur’an ini. Maka langkah yang pertama dan utama sekali yang mereka lakukan dalam usaha mereka untuk mendekonstruksi ajaran-ajaran dan hukum-hukum yang terkandung didalamnya adalah dengan meruntuhkan status teologis al-Qur’an itu, yaitu dengan memberikan keraguan tentang keaslian (otentisitas) al-Qur’an.
Sayangnya yang dirujuk kebanyakan untuk mendekonstruksi otentitas al-Qur’an ini adalah “mengekor” pada “kacamata” problematika Kitab Suci (Bible) di Barat. Asumsi-asumsi yang dipakainya pun sama. Ini satu kesalahan fatal.
2. Dalam karyanya ini, Jabiri juga mengkritisi metode Irfani yang dia asosiasikan dengan Syi’ah dan kaum Sufi. Disini, dia mengkritisi habis-habisan Ibn Sina dan al-Ghazali, dua tokoh yang selama ini dianggap antagonis. Menurutnya kedua pemikir inilah yang bertanggung jawab memasukkan sistem berpikir irfani ini kedalam ranah pemikiran Islam yang sekaligus menjadikan akal Arab-Islam itu mandek. Dia mengkritisi metode ‘Irfani, karena menurutnya metode ini lebih menggunakan naluri/hads ketimbang akal dalam usahanya untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dan metode ini menurutnya lagi terpengaruh filsafat Hermetisisme yang berkembang pasca Aristotle. Sementara bagi Jabiri akal dan panca indera manusialah satu-satunya jalan yang dianggap layak untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Pandangan Jabiri dalam hal ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pandangan kebanyakan orientalis yang melihat Sufisme hasil adonan dari budaya dan agama di luar Islam, bukan produk asli peradaban Islam.
Menurut Jabiri, kedua sistem ini (bayani dan irfani) hanya berkembang di belahan Timur dunia Islam. Di Barat, yakni di kawasan Maghribi dan Andalusia, kedua sistem ini tidak dianut oleh para intelektualnya. Disini, sistem berpikir yang berkembang adalah metode Burhani, yang puncak keberhasilannya dipersonifikasikan oleh Ibn Rusyd. Di sinilah Jabiri kemudian menyatakan bahwa pemikiran Islam yang berkembang di Barat bukan lanjutan dari yang apa yang berkembang di Timur. Terjadi epistemological rupture diantara keduanya. Jadi Ibn Rusyd bukan kelanjutan dari al-Farabi dan Ibn Sina, apalagi al-Ghazali. Demikian juga, al-Syatibi bukan pelanjut apa yang pernah dikembangkan oleh al-Syafi’i dan lainnya.
Memang tidak sulit untuk melihat nuansa ideologis Jabiri dalam hal ini. Meski dia sendiri menegasikan hal tersebut. Bagi Jabiri, dan juga banyak pemikir lain, Ibn Rusyd dianggap sebagai model pemikir yang harus dicontoh dan dijadikan model jika bangsa Arab dan Islam ingin memajukan peradabannya.
Dalam hal inilah, menurut Pak Nirwan, Jabiri keliru. Dan kekeliruan ini pun dilakukan oleh banyak intelektual di berbagai dunia Islam, termasuk di Indonesia.
Jabiri lupa, bahwa revolusi sains (sceintific revolution) terjadi di Barat karena orang-orang seperti Bacon, Descartes, dan Newton melakukan terhadap teori-teori fisika Aristotle. Artinya Barat maju bukan karena mereka mengadopsi padangan-pandangan Ibn Rusyd yang Aristotelian, tapi sebaliknya, sains mereka berkembang justru karena mereka meninggalkan teori-teori fisika Aristotle.
3. Dengan mengagungkan Ibn Rusyd, sebenarnya Jabiri ingin mengatakan bahwa kemajuan itu hanya bisa ditempuh dengan rasionalisme. Baginya, akallah yang bisa mengantar peradaban manusia ke puncak kegemilangannya. Sayangnya, tegas Pak Nirwan, ”akal” yang disebut Jabiri itu adalah akal yang dikonsepsikan oleh Barat, yaitu akal positivis yang hanya berpaut pada data-data eksperimental. Disamping itu Jabiri sepertinya sengaja melupakan bahwa rasionalisme abad Pencerahan itu sendiri saat ini sedang mendapat kritikan tajam, bukan hanya dari kalangan ilmuwan Muslim tapi juga dari kalangan intelektual Barat sendiri.
Tentang Ibn Rushd
1. Maaf pak Rifa’I kalau boleh tau siapa yang mengkafirkan Ibn Rushd? Perlu diingat dalam konstruk keilmuan Islam, mengkafirkan “Ide” itu berbeda dengan pengkafiran pada “Personal”.
2. Penolakan para Aimmah terhadap konsep “aristotelian” ala Ibn Rushd ini bukan masalah sekedar Klaim semata. Sebab jelas-jelas konsep ini masih banyak masalahnya dibanding manfaatnya.
Demikian,
# Tanggapan Pak Rifai:
ternyata dahsyat sekali bu/bak wida. oya saya bukan bapak-bapak, saya masih muda jadi tidak pantas saya dipanggil bapak, apalagi belom punya istri dan anak hehehe 
saya bangga dengan abid jabiri, karena beliau mengajak umat islam untuk kembali kepada filsafat, pendekatan yang rasional dengan memanfaatkan fungsi akal (bayani), bukan seperti arkoun melalui fenomenologis dan nasr abu zayd hermeunitis.
terus terang saya sedikit tersenyum melihat p. nirwan mengkritik abid jabiri. karena memang sebenarnya sudah jelas filsafat islam maghrib sangtlah mapan dalam 2 aspek, ketuhanan (dalam permbahasan metafisika zat tuhan kaitannya dengan keyakinan akan zat tuhan dan bersyari’at) dan manusia (pembahasan materi, astronomi, dan fisika, psikologi, serta tatanan sosial)
oleh karenanya apa yang mbak katakan “Sayangnya yang dirujuk kebanyakan untuk mendekonstruksi otentitas al-Qur’an ini adalah “mengekor” pada “kacamata” problematika Kitab Suci (Bible) di Barat. Asumsi-asumsi yang dipakainya pun sama. Ini satu kesalahan fatal.” dan kalimat lainnya yang cenderung menganggap kita mengekor barat untuk mematahkan pandangan abid jabiri inkoherensi atau tidak nyambung.
padahal sebenarnya tidak mengekor, orang barat untuk berani berbuat seperti itu bahkan dalam meruntuhkan kediktatoran gereja roma hingga terjadinya renaissance/pencerahan eropa yang berpusat di prancis banyak belajar kepada ibn rusyd dan ibn bajjah. jadi salah kalau bilang kita mengekor orang barat kalo kita kembalikan kepada filsafat, malah mereka yang dibilang mengekor.
saya rasa p. nirwan tidak memahami peta filsafat islam dengan baik sehingga bilang seperti itu. kalau seandainya pak nirwan tau, bagaimana ibn bajjah yang disebut oleh orang barat avempace bisa bersanding dengan galileo, coba cari aja buku “avempace and Galileo” yang banyak dikaji oleh dunia barat. nah disitulah letak kemapanan yang saya maksud dengan filsafat islam dalam aspek kemanusiaan (fisika).
sedangkan aspek ketuhanan, orang barat belajar kepada ibn rusyd (averrose) murid dari ibn tufail sekaligus ibn bajjah, dalam memahami aspek ketuhanannya (metafisika) filsafat aristoteles sebab hanya ibn rosyd yang memahami itu. sehingga orang barat berani melawan pemahaman ortodok rohaniawan gereja roma yang saat itu agama banyak diselewengkan secara semena-mena bahkan seakan-akan agama dibuat tidak selaras dengan sains (sebagaimana di dalam islam juga). makanya ibn rosyd dikafirkan dan diasingkan oleh kholifah Amir Abu Ya‘la Yusuf Ya’qub al-Mansur sebab pemikirannya membahayakan pemerintah yang ketika itu dipegang otoritas agama rohaniawan kalau di islam kholifah.
Nah dalam pengasingan buah pemikiran ibn rosyd terutama masalah aspek ketuhanan (menyelaraskan agama dan saince) banyak dicerna oleh kaum barat, dan sekarang kita sudah dirasakan betapa majunya barat setelah lepas dari kungkungan gereja, sedangkan dalam islam yang mengasingkan dan mengkafirkan ibn rosyd terpuruk disegala bidang.
Oya mbak, ya jelas ga nyambung bila pak nirwan menghakimi filsafat fisika aristoteles untuk mengebiri pandangan filsafatnya ibn rosyd, sebab ibn rosyd memahami ketinggian filsafat metafisikanya aristoteles yang melebihi gurunya yakni plato. kalo pembahasannya fisika coba cek aja filsafatnya ibn bajjah (avempace) yang selalu disandingkan denga galileo oleh orang barat.
saya rasa, kalau tidak membaca buku asli karya-karya para filosof kita tidak bisa memahami dan memetakan konstribusi mereka untuk memajukan peradaban. apalagi yang dibaca cuma abid jabiri dan itupun cuma naqd al-arobinya, sudah berani mengkritisi filosof muslim terkemuka.
# Tanggapan Wida Nafis:
Pak Rifa’I,
1. Terimakasih atas tanggapan baliknya. Saya pikir tanggapan yang diberikan akan sangat komprehensif disertai tinjuan turots2 atas point-point dalam “desertasi” Ust. Nirwan Syarif, Ph.D (direktur eksekutif Insists, http://www.insistnet.com) mengenai konsep “Burhani”nya al-Jabiri.
Tapi ternyata tanggapan yang pak Rifa’I berikan hanyalah lontaran klaim asumtif yang tidak menyentuh masalah dan hanya “menyerang” pribadi Ust. Nirwan, tanpa memperhatikan kualifikasi dan background beliau.
2. Baiklah supaya diskusi ini berjalan dengan amanah ilmiah yang baik. Sebagai tanggung jawab atas klaim-klaim anda tentang “Ibn Rusyd” (saya fokuskan ke beliau, karena al-Jabiri juga banyak “terinspirasi” pemikirannya).
Mohon pak Rifa’I paparkan dalam satu atau dua paragraf saja, tentang poin-poin utama pemikiran “Ibn Rusyd” dalam karya-karyanya seperti Tahafut at-Tahafut, Fashlul Maqal maupun Talkhis Ma Ba’da Ath-Thabi’ah-nya..
Ini penting, karena di-awal Pak Rifa’I sangat “menyanjung-nyanjung” Ibn Rusyd. Tentunya sudah sangat familiar dengan pokok pemikiran utamanya. Sebab adalah aneh kan bila mengaku sangat “apresiatif” dengan pemikiran satu sosok tapi gak tau poin utama permasalahannya.
Supaya ringkas, saya minta cukup 2 poin saja review atas turots2 ibn Rusyd diatas :
1. Bagaimana pandangan Ibn Rusyd mengenai konsep metafisis dan Kausalita.
2. Bagaimana pandangan Ibn Rusyd tentang Akal, dalam hal ini posisinya dalam memahami Nash.
Itu saja dulu pak,
Demikian,
# Tanggapan Pak Rifai:
pantas ibu bisa berkata seperti itu ternyata dapat dari insist hehehe  saya masih sama-sama mendalami seperti ibu. tapi sebagai pengetahuan awal masalah filosof yang sangat di gandrungi oleh abid jabiri silahkan lihat disini : http://en.wikipedia.org/wiki/Ibn_Rushd bagaimana orang barat mengagumi ibn rosyd sampai sedemikian detailnya dalam wikipedia itu, bahkan dalam perannya pelopor sekulerisme barat.
abid jabiri memang sangat menggemari ibn rosyd bahkan buku-buku ibn rosyd di tahqiq (cetak ulang) olehnya, dalam pengantarnya abid jabiri menggambarkan dirinya sangat menguasai betul akan peta filsafat islam. di fashl maqol nya ibn rosyd, abid jabiri mengungkap sejarah filsafat dalam islam dan kenapa bisa terjadi tragedi pengkafiran oleh imam ghozali menggunakan nalar teologi asy’ariyahnya dan kaum sufi, hingga akhirnya fashl maqol di tulis ulang untuk mendamaikan kembali hubungan agama dan filsafat yang sudah di blacklist umat islam gara-gara imam ghozali, dan meluruskan pandangan filsafat islam masriq yang cenderung terjerumus neo platonis. bahkan tahafut tahatut (kerancuan-kerancuan) bukunya ibn rosyd yang mengkritisi kesalahan imam ghozali dalam bukunya tahafut al-falasifah, di tahqiq oleh jabiri. kasyful adillahnya ibn rosyd sampai sekarang saya masih memburu buku itu.
tapi dari atif iroqi saya mendapatkan bukunya yang merangkum bagaimana metode kritik filsafat ibn rosyd terhadap teologi as’ariyah-nya imam gozali, sekali gus kritik terhadap nalar filsafatnya filosof islam masriq (timur) termasuk ibn sina dan al-farobi, bahkan menurutnya ketika ibn rosyd mengkritisi nalar filsafatnya ibn sina, ibn rosyd sekaligus mengkritik kesalahan imam gozali. sebab gozali menyalahkan filsafat bukan dari kacamata filsafat melainkan dari nalar asy’ariyah dan sufi. disinilah kita akan mengetahui betapa tinggi pencapaian filsafatnya ibn rosyd yang banyak dikagumi oleh barat.
oya ba’ sori kelewatan, masalah pandangan Ibn Rusyd mengenai konsep metafisis dan Kausalita dan tentang Akal dalam memahami Nash. saya tidak bisa mengutarakan sekarang, sebab sekarang disini masih ada ujian di kuliah sampai akhir bulan nanti. untuk menjawab itu perlu membuka buku metode kritik ibn rosyd milik atif iroqi dan buku abid jabiri yang kemaren saya lihat ada di maktabah masalah nalar pemahaman alqur’an supaya semuanya jelas dan terperinci.
#Tanggapan Wida Nafis:
Pak Rifa’I dan pembaca budiman,
Kami tunggu klarifikasi tentang 2 point yang kami ajukan itu, bisa kapan-kapan kalau pak Rifa’I memang sdh ada waktu. Yang jelas, kami minta pak Rifa’I mendedahnya dari point of view-nya Ibn Rusyd sendiri dalam karya-karyanya.
Selanjutnya, ada beberapa hal yang perlu diklarifikasikan jg dr statmen pak Rifa’I yang lain.
R:
sedangkan aspek ketuhanan, orang barat belajar kepada ibn rusyd (averrose) murid dari ibn tufail sekaligus ibn bajjah, dalam memahami aspek ketuhanannya (metafisika) filsafat aristoteles sebab hanya ibn rosyd yang memahami itu. sehingga orang barat berani melawan pemahaman ortodok rohaniawan gereja roma yang saat itu agama banyak diselewengkan secara semena-mena bahkan seakan-akan agama dibuat tidak selaras dengan sains (sebagaimana di dalam islam juga).
WN:
Kata siapa dalam histori-nya Islam pernah ada pertentangan antara Agama vs Sains seperti di Barat?. Wah..ni mah lontaran asumtif lagi pak.
Lagian antara perkembangan Sains dengan konsep “spekulatif” Filsafat adalah satu bahasan yang lain. Dan pemikiran Ibn Rushd itu juga bukan muncul karena ada-nya pertentangan Agama dan Sains.
R:
makanya ibn rosyd dikafirkan dan diasingkan oleh kholifah Amir Abu Ya‘la Yusuf Ya’qub al-Mansur sebab pemikirannya membahayakan pemerintah yang ketika itu dipegang otoritas agama rohaniawan kalau di islam kholifah.
WN:
Emangnya pernah ada Khalifah yang namanya Amir Ya’la Yusuf Ya’qub al-Mansur? Setau kami Yusuf Ya’qub al-Mansur itu salah satu penguasa daerah (Amir) bukan Khalifah.
R:
Oya mbak, ya jelas ga nyambung bila pak nirwan menghakimi filsafat fisika aristoteles untuk mengebiri pandangan filsafatnya ibn rosyd, sebab ibn rosyd memahami ketinggian filsafat metafisikanya aristoteles yang melebihi gurunya yakni plato. kalo pembahasannya fisika coba cek aja filsafatnya ibn bajjah (avempace) yang selalu disandingkan denga galileo oleh orang barat.
WN:
Ketinggian Filsafat Metafisika-nya Aristotle yang melebihi gurunya Plato? Wah…anda ini gimana toh, la wong baik Aristotles dan Plato konsepnya sama-sama absurd dan berantakan kok mau dijadikan “framework” dalam memahami Aqidah Islamiyah?.
Konsep Aqidah menurut Sunnah jelas lebih rasional dari pada konsep the First-nya Aristotles yang tidak mengetahui apa-apa selain dirinya sendiri, alias hanya sebagai “penyebab mula” saja. Yang kemudian oleh Ibn Sina, konsep ini di-adopsi dan diterjemahkan bahwa Tuhan hanya mengetahui hal-hal yang umum (kulliyat), dan tidak mengetahui hal-hal yang parsial (juz’iyyat).
Lebih parah lagi kausalita ala emanasinya Plotinus yang menganggap alam ini azali (tak berawal). Tepatnya, yang kekal dari alam ini baginya adalah 5 hal: 10 akal (intellects), 9 jiwa (soils), dan 9 bola langit (falak), huyuli (matter), dan gambar (form).
Yang kemudian dikembangkan oleh Ibn Sina yang menyatakan, alam ini azali in the sense of time. Sedangkan in the sense of causality, ia tetap “kontingen” (didahului oleh Kausa).
Inilah sebenarnya letak INTI PERMASALAHANNYA.
Asumsi-asumsi Absurd di-atas di “berantakan” oleh kritik al-Ghazali dengan konsep mazhab “asy’ariyyah-nya” yang juga ternyata absurd, Lalu datang Ibnu Rusyd memberantakkan konsep absurd tandingan yang disajikan oleh al-Ghozali tersebut.
Tapi ternyata, apa yang dilakukan oleh Ibn Rusyd juga absurd, sebab Ibn Rusyd yang sangat fanatik dengan “Filsafat paripatetik” tsbt, hanyalah memberikan justifikasi yang apologetis. Menyangkal ini, melupakan itu, dan mengatakan yang lain lagi tentang “Filsafat” atas tuduhan al-Ghazali. (secara umum beliau hanya muter-muter membantah dan menyatakan perbedaan, tanpa memberi argumen yang memuaskan rasio).
Ujungnya beliau, ibn Rusyd “hanyalah” ingin “mengembalikan” posisi Filsafat (dalam hal ini filsafat paripatetik ala Aristotelian yang absurd itu) sebagai satu-satunya ta’wil yang otoratif atas nash.
Anda dapat lihat itu dalam statmen beliau, Talkhis Ma Ba’da Ath-Thabi’ah, Maqalah ke-4, yang diringkas Ibnu Rusyd dari Metafisika Aristoteles (tahqiq Dr. Utsman Amin, cet. th. 1958, hal. 148 dst.) Ibnu Rusyd merepresentasikan Aristoteles menulis:
“fa yajibu `an haadza dlaruuratan an yakuuna-l waahid haadza ghaira
munqasamin fii maa yaf`alu min dzaatihi. Fa lidzaalika, laa ya`qilu
illaa waahidan basiithan, wa huwa dzaatuhu, wa laa yumkinu fiihi an
ya`qila katsratan maa: laa fii dzaatihi wa laa khaarija `an dzaatihi.”
Bagaimana mungkin keyakinan-keyakinan absurd filsafat seperti ini bisa dianggap selaras dengan Islam dan Al-Quran?. Bahkan bagaimana mungkin doktrin-doktrin irasional ini bisa dianggap sebagai hasil pemikiran logis dan wawasan ontologis mendalam?. Maka pantas saja jika konsep ini ditolak oleh para Aimmah.
Sedikit tambahan pak Rifai, “kembali” pada tema awal tentang al-Jabiri yang “menggandrungi” Ibn Rusyd.
Perlu diketahui bahwa tema “Filsafat” yang ingin dibawakan oleh al-Jabiri adalah “Filsafat” dalam term “pengalaman Barat”, yang (berusaha) Terpisah dengan tema “metafisika”. Jadi ia ingin menghilangkan “metafisika” dalam filsafat sehingga yang ada hanyalah sains murni (ini jugalah yang dilakukan Kant, Hegel, dst).
Nah, al-Jabiri menggunakan Ibn Rusyd untuk “menjustifikasi” apa yang ia lakukan. Karena menurut al-Jabiri, Ibn Rusyd dalam tahafut at-tahafut-nya mengenai kritiknya tentang “Pengetahuan Tuhan”nya Ibn Sina dan al-Ghozali, dengan menyatakan bahwa “Pengetahuan Tuhan tidak bisa dinalar dengan nalar manusia”, telah memberikan jalan bagi “akal” untuk memisahkan antara filsafat (sains) dan metafisika. (Tahafut al-Tahafut: Intisharan li al-ruh al-’Ilmiyyah wa Ta’sisan li al-Akhlaqiyyat al-Hiwar: Taqdim wa Syarh Muhammad ‘Abid al-Jabiry, Markaz Dirasat al-Wihdah al-’Arabiyyah, halaman 451).
Setelah membawa “ibn Rusyd” untuk menjustifikasikan asumsinya, lalu al-Jabiri pun “menawarkan” idenya untuk “membaca” semua yang berbau “metafisis” itu murni dengan Filsafat (sebab term “metafisika” itu sudah dibuang, sudah usang dan tidak sesuai dengan semangat Filsafat Barat yg anti metafisika).
Sebagai gantinya, al-Jabiri menggunakan perangkat teori yang berkembang pada disiplin Ilmu Humaniora dan Filsafat di Barat saat ini. Dia misalnya menggunakan teori yang dikembangkan oleh Michel Foucault, Jacques Derrida, Karl Marx, Anthony Gramsci, Gaston Bachelard, dan beberapa ahli filsafat Barat lain. Dari Foucault dia meminjam konsep episteme Foucault untuk mengembangkan teori episteme Arab yang kemudian dikenal dengan Bayani, ’Irfani, dan Burhani. Bachelard dia meminjam teori epistemological rupture (keterputusan epistemology), sebuah teori yang sebenarnya digunakan untuk membaca sejarah dan filsafat Sains.
Sehingga, apa yang dilakukan al-Jabiri ini, (meminjam statmen ust. Nidlol Masyhud, Lc, “rektor” Kajian Pemikiran Sinai) hanyalah bentuk ” Keterkesimaan terhadap filsafat peripatetik, yang biasanya akan membuat seseorang menganggap bahwa doktrin-doktrin di dalamnya adalah doktrin-doktrin yang sophisticated, serba mantap, dan kemudian menjadikannya sebagai neraca penerimaan terhadap teks-teks Syariat.
Jadi dunia akan diputar 180 derajat (atau kurang atau lebih). Al-Quran dan penjelasan Nabi dibalik statusnya menjadi ‘terdakwa’ yang diadili, sedangkan doktrin-doktrin Barat diberi status sebagai hakim yang mengadili. Sang filsuf menjadi jaksa penuntutnya. Ini pola klasik yang tersubur-lestari sampai zaman sekarang di kalangan para pemikir liberal dan pengkaji sekular yang terkesima oleh filsafat-filsafat diabolik dan teori-teori orientalis.”
Demikian,
- Menunggu klarifikasi lebih lanjut dari pak Rifai -