Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), limbah plastik dan material dari APK seperti banner dan baliho menyumbang polusi tambahan pasca pemilu. Pakar lingkungan, Dr. Jatnika Nagara dari Universitas Indonesia, menyebut bahwa "material seperti vinil atau plastik yang digunakan untuk baliho tidak mudah terurai dan berpotensi menjadi ancaman lingkungan jangka panjang." Ia menambahkan bahwa penggunaan APK ini bertolak belakang dengan semangat pembangunan berkelanjutan yang sering dikampanyekan para kandidat.
---
Sudut Pandang Lintas Generasi
1. Generasi Z dan Milenial:
Generasi muda sangat kritis terhadap keberadaan baliho, melihatnya sebagai alat kampanye yang tidak hanya usang tetapi juga mencemari lingkungan. Alih-alih baliho, mereka lebih tertarik dengan kampanye berbasis digital melalui media sosial seperti TikTok, Instagram, atau diskusi langsung dalam komunitas.
2. Generasi X:
Generasi ini mulai mempertanyakan relevansi baliho, meskipun beberapa masih menerima kehadirannya sebagai alat pengenalan kandidat. Mereka lebih menghargai kampanye yang menawarkan interaksi personal.
3. Baby Boomers:
Kelompok ini cenderung mempertahankan nostalgia terhadap baliho sebagai simbol eksistensi politik. Namun, kesadaran akan dampak negatif, terutama dari perspektif lingkungan, mulai meningkat di beberapa kalangan.
---
Kritik Tajam terhadap Baliho
Sebagai generasi milenial, saya merasa jengah dengan praktik pemasangan baliho yang tidak bertanggung jawab. Tidak jarang, baliho dipasang sembarangan di pagar rumah warga atau lahan kosong tanpa izin, mencerminkan rendahnya penghormatan terhadap ruang publik. Pengalaman pribadi sering kali membawa saya harus berkonfrontasi dengan tim sukses, yang sayangnya jarang mengindahkan keluhan. Pada akhirnya, saya harus membongkar baliho tersebut sendiri, mencerminkan kegagalan fundamental dalam etika kampanye.
Opini pengamat politik dan lingkungan mendukung sentimen ini. Arga Pribadi Imawan dari Universitas Gadjah Mada menegaskan bahwa baliho cenderung bersifat simbolis tanpa nilai informatif bagi pemilih. Sementara itu, pakar lingkungan seperti Dr. Jatnika menekankan dampak ekologis yang merugikan. "Penggunaan baliho hanya menunjukkan simbolisasi ego kandidat, tanpa memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat," katanya.
---
Solusi: Kampanye Modern dan Berkelanjutan
1. Digitalisasi Kampanye:
Media sosial seperti YouTube dan Instagram tidak hanya lebih ramah lingkungan tetapi juga efektif menjangkau kelompok pemilih muda.
2. Kampanye Berbasis Aksi Nyata:
Kandidat dapat memperkenalkan program mereka melalui aksi langsung seperti penghijauan, pembersihan lingkungan, atau pelatihan keterampilan.
3. Regulasi yang Lebih Tegas:
KPU perlu menetapkan aturan ketat yang melarang pemasangan baliho secara nasional dan mendorong kampanye berbasis digital atau kegiatan langsung.
---
Sudut Pandang Penulis
Sebagai seorang pemilih milenial, saya percaya bahwa masa depan politik Indonesia harus mengedepankan nilai-nilai keberlanjutan dan inovasi. Praktik pemasangan baliho mencerminkan politik masa lalu yang tidak relevan dan merugikan masyarakat serta lingkungan. Sudah waktunya bagi kita untuk mendukung kandidat yang tidak hanya berkomitmen pada program nyata, tetapi juga peduli pada ruang publik dan dampak ekologis. Bersama-sama, kita dapat mendorong politik Indonesia ke arah yang lebih modern dan bertanggung jawab.
Sumber:
1. Sindonews: Apakah Baliho Masih Relevan sebagai Strategi Kampanye?
2. Seremonia: Kontroversi Pemasangan Baliho Politik di Ruang Publik.
3. Wawancara dengan Dr. Jatnika Nagara, pakar lingkungan Universitas Indonesia (melalui Kompas).