Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Tari

25 Desember 2013   12:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:30 30 1

Suara kicau burung terdengar di penghujung sore itu. Suara artifisial yang bersumber dari telepon genggam, kabar dari seorang teman, “Besok sibuk gak?”, sebuah kalimat pembuka yang berlanjut ke sebuah ajakan untuk mengambil gambar sebuah kegiatan. Tentu saja, segera saya iyakan, toh setelah menimbang minggu-minggu belakangan, selalu ada saja kesibukkan. Kalau saja tidak disempat-sempatkan, jadilah saya tidak berakhir pekan.

Ini kali pertama saya dipertemukan kembali dengan kamera, setelah sekian lama tidak terpakai, sebuah kamera digital yang sudah usang, namun masih mumpuni dalam-jika meminjam istilah Roland Barthes-membunuh dan membangkitkan kembali sebuah objek. Ya, sebuah kamera yang sudah ketinggalan jaman, yang pada beberapa bulan belakangan ini lebih sering mengisi sebuah sudut kosong di dalam lemari kamar. Saya bukan seorang tukang foto yang menggantungkan hidup dari interaksi subyek (saya) dan objek yang saya bunuh dan bangkitkan kembali dengan perantara kamera, bukan juga fotografer pro yang kata banyak praktisi seminar-seminar fotografi, mengkonsepkan, menekan shutter, dan mengolah hasil fotonya dengan baik sehingga layak tampil dan jual. Katakan saja saya berada diantara keduanya, baik buruk, bernilai jual atau tidaknya, yang jelas ajakan kawan tadi berjasa dalam mempertemukan kembali saya dengannya (kamera).

Kawan saya seorang penari, salah seorang kawan yang saya ‘curigai’ tindak-tanduknya. Badannya kecil, suaranya lirih seperti berbisik ketika berbicara, kelakuannya jauh dari kesan ‘seradak-seruduk’ walaupun ketika berjalan, ia cukup cepat, dalam kesehariannya ia termasuk jarang menghabiskan waktu bersama layaknya teman-teman lain, tugas kuliahnya pun banyak yang tidak terselesaikan. Rupanya profesi sampingannya sebagai penjelas, terutama dua poin terakhir, Laras, begitu ia dipanggil, menghabiskan waktu sepulang kuliah di sanggar, menjaga mood kuliahnya tetap menyenangkan dengan cara lain, menari. Orang yang bertugas untuk mengambil gambar, sekaligus pimpinan sanggar tempat ia berlatih, sedang melakukan tugas yang tidak kalah pentingnya nun jauh disana, di Amerika, mempertontonkan properti budaya, tari-tarian Indonesia. Sekali lagi, tentu saja dengan senang hati, kuterima ajakannya untuk mendokumentasikan kegiatan pentas kelompoknya di panggung keraton.

Minggu pagi, telepon genggam saya berbunyi, mungkin sudah berkali-kali, benar saja, kawan tadi menghubungi, ia curiga saya tidak bisa bangun pagi. Langsung saya beranjak, cuci muka, gosok gigi, tidak lupa memasukkan alat produksi-kamera-lengkap dengan baterai yang sudah diisi penuh malam tadi. Kami bertemu di sebuah titik yang sudah di sepakati, ‘ngejaman’ begitu tempat ini disebut, salah satu tempat di dalam lingkungan keraton, ada tugu dengan jam berdiri di sana yang juga dapat ditemukan di beberapa tempat di Yogyakarta. Diajaknya saya menuju suatu tempat yang tidak pernah saya masuki sebelumnya, halaman belakang sebuah rumah dengan banyak ruangan dan pintu yang salah satunya mengarah ke panggung di tengah keraton. Tempat berdinding putih, dengan banyak kamar dan ruang luas di tengahnya ini ternyata merupakan backstage, salah satu (mungkin saja masih ada lagi) halaman belakang rumah Sultan.

Suasana sudah riuh pagi itu, dipojok ruangan, dua orang wanita sedang sibuk dengan seperangkat alat rias dan kostum, dipojok lainnya seorang penari laki-laki bersolek di depan cermin, membubuhi bedak di sekujur badannya yang berkulit kecoklatan, “lho bedake ngendi?”, ujar salah satu penari yang menanyakan bedak dalam kemasan yang sudah habis dipakainya. Penari lain sibuk dengan persiapannya masing-masing, penari priapun turun tangan merias teman penari wanitanya, “kurang garisnya, penari cino ki kudune ngene iki lho garis matanya”. Saya lebih banyak takjub mendengar, menyaksikan, sambil mendokumentasikan kesibukkan yang terjadi. Sebuah intersubjektifitas yang tidak kasat mata, entah bagaimana mereka dipertemukan dari banyak latar belakang yang berbeda, mengapa kemudian mereka dapat hadir dalam sebuah ruang dan waktu yang sama untuk sebuah tujuan dan kegiatan yang tidak banyak dipilih oleh anak muda seumuran mereka?

[Warung Kopi di Tengah Kebun, Yogyakarta, Desember Hujan, Malam Natal 2013.]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun