Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Ketenangan yang Menyejukkan

25 Desember 2010   06:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:25 66 0
Rintik hujan yang berirama syahdu dan suara bocah-bocah yang berteriak girang sambil bermain menikmati jatuhnya air, seakan menemaniku dalam kesendirian. Tak lama, hujan pun reda. Aku bisa merasakan kehangatan sang surya yang kembali muncul dari balik awan. Mungkin bocah-bocah itu bisa melihat indahnya pelangi, indahnya aneka warna yang menghiasi samudra angkasa. Seandainya aku bisa melihat kecantikannya, mungkin aku akan ikut merasakan kebahagiaan bersama mereka. Meski kini yang terlihat hanyalah warna hitam yang gelap dan tanpa cahaya apapun.
Peristiwa itu terjadi sekitar sembilan tahun yang lalu. Sepulang sekolah, aku yang masih duduk di bangku sekolah dasar kelas enam merengek ingin pergi ke tempat nenek di Bandung.
“Bu, aku ingin pergi ke rumah nenek!”
“Memangnya kamu mau ngapain di sana?”
“Aku kangen sama nenek Bu…!”
“Iya, iya tapi jangan sekarang ya, ayah kan sedang sibuk…”
“Ya nggak usah sama ayah Bu!”
“Nggak boleh gitu dong…kalo nggak sama ayah nanti kamu capek, kan perjalanannya lumayan jauh”
“Ah..pokoknya aku nggak mau tau! Aku pengen hari ini ke rumah nenek!”
“Ada apa sih ribut-ribut? Malu tu sama tetangga…” ayah yang baru pulang langsung menanyakan apa yang terjadi.
“Biarin…!” aku bicara kesal.
“Eh, nggak boleh gitu sama ayah” ibu menasihati.
“Memangnya ada apa sih, Bu?”
“Ini lho Yah, Dina pengen pergi ke rumah nenek, katanya sih maunya hari ini”
“Memang nggak bisa ditunda? Ayah kan baru pulang, masih capek lagi. Kamu nggak kasihan sama Ayah?”
“Nggak mau tau!” jawabku sebal.
“Kalo besok gimana? Lusa kan libur, jadi kamu nggak perlu bolos” saran ibu.
“Ya udah, tapi janji ya, besok harus dan harus!! Nggak pake tunda-tundaan!”
Setelah itu aku masuk kamar dan membanting pintu “Bree..kk!!”. Aku lalu berganti pakaian lalu terlelap hingga esok.

*    *    *

Kicauan burung yang merdu seakan bernyanyi di telingaku. Sinar mentari pagi dengan berani menyusup masuk ke kamarku yang membuat kehangatan di sekitarku.
Tak terasa hari sudah pagi. Tiba-tiba, suara lembut semakin meyakinkanku untuk bangkit.
“Dina, ayo bangun…kamu kan sekolah, jangan sampai terlambat…”
“Iya”
Lalu aku keluar kamar dan bergegas ke kamar mandi. Setelah selesai mandi, aku pun berdandan dan berganti pakaian.
“Dina, ayo cepat sarapan dulu…” perintah ibu.
“Iya,  sebentar”
“Gimana, nanti jadi nggak” tanya ibuku.
Aku hanya mengangguk pelan.
Ayah dan ibuku terheran-heran melihat tingkahku yang berubah drastis dibanding kemarin. Setelah selesai sarapan, aku berangkat sambil berpamitan kepada kedua orang tuaku.

*    *    *

Di sekolah, aku tidak konsentrasi belajar, rasanya seperti masuk telinga kanan lalu keluar telinga kiri. Aku ingin cepat pulang.
“Teng…teng…teng…!” lonceng berdentang tanda pelajaran usai. Aku bergegas pulang.
Sesampainya di rumah ternyata ayah belum pulang. Aku pun mulai merapikan barang-barang yang akan dibawa. Setelah itu, aku menunggu ayah di teras.
“Ayo makan dulu, nanti perutnya sakit lho!” kata ibu.
“Baiklah”
Setelah itu, aku tetap saja menunggu ayah, tapi ia tak kunjung datang. Hampir lima jam aku menunggu, akhirnya ayah pulang. Tapi, aku sudah terlanjur jengkel padanya.
“Maafin Ayah ya Din, Ayah lupa, soalnya tadi kerjaan Ayah lagi banyak banget”
“Lupa Yah? Gimana sih, kemarin kan dah janji!”
“Iya, iya, sabar ya Din, Ayah siap-siap dulu”
“Iya, kamu sabar dulu, yang penting ayah udah nyampe, bentar lagi kita berangkat kok…” ibu menenangkanku.
Waktu terus berputar, hari pun sudah mulai gelap dan akhirnya kami berangkat dengan mobil yang biasa dikendarai ayah ke kantor.
“Yah, ayo cepet! Aku dah nggak sabar ni!”
“Iya, iya…”
Mobil kami pun melaju kencang dan terkesan terburu-buru. Perjalanan dari Jakarta ke Kota Kembang dimulai. Sepanjang perjalanan aku masih merasa jengkel. Ayah dan ibu terus saja menghiburku tapi, aku tetap saja mengatupkan bibir.
Tiba-tiba aku mendengar teriakan klakson, rem berdecit dan dua benda keras yang saling bertumbukkan juga jeritan orang-orang yang panik yang terasa begitu dekat denganku. Suara yang tidak karuan campur menjadi satu. Setelah itu yang kurasa tubuhku seperti melayang dan suara itu pun lama kelamaan lenyap.
Aku sadar, aku sudah tidur terlalu lama. Lalu aku membuka mata namun, yang kulihat hanyalah kegelapan, tidak ada setitik pun cahaya. Aku mendengar suara yang begitu lembut tapi terasa lelah dan aku mengenal suara itu.
“Kamu sudah sadar?”
“Apakah itu nenek?”
“Ya Cucuku, bagaimana keadaanmu Nak?”
“Aku baik-baik saja Nek. Tapi, mengapa ruangan ini gelap Nek? Apakah lampunya mati?”
“Mmm…”
“Kenapa Nek?”
“A…a…anu…”
“Ayolah Nek, katakan saja”
Namun, nenek terdiam.
“Apa aku boleh bertanya Nek?”
“Oh…ya, mau tanya apa?”
“Apakah lampunya tidak mati? Dan itu berarti sekarang aku buta Nek?”
“Oh…a…a…anu”
Ayolah Nek”
“…i…iya…” suaranya terdengar sangat berat.
Dan aku pun mendengar isak tangisnya.
“Sudahlah Nek, tidak apa-apa. Lho, ayah sama ibu mana Nek? Apa mereka sudah sembuh?”
“I..iya mereka sudah sembuh tapi, mereka sudah pulang terlebih dulu”
“O…o..gitu”

*    *    *

Beberapa hari kemudian aku pulang ke rumah dan ditemani oleh nenek.
“Nek, ayah sama ibu mana sih, Nek?”
“A…a…anu Din, m...m…maafkan Nenek ya. Ayah dan ibumu…sudah pergi sejak kecelakaan itu untuk selama-lamanya” disertai isak tangis.
Aku kaget setengah mati.
“Tidak, ini tidak mungkin…” bisikku lirih.

*    *    *

Sejak peristiwa itu aku hanya bisa menyalahkan diri sendiri. Andai saja aku tidak menjadi seorang pemaksa yang tidak sabar, mungkin sekarang aku masih bisa melihat ketenangan di wajah kedua orang tuaku yang mampu menyejukkan hatiku. Meski begitu, aku tetap bersyukur karena aku masih diberi kesempatan oleh Yang Kuasa untuk memperbaiki semuanya. Dan sekarang aku hanya bisa mendoakan mereka agar tenang di sana. Aku akan memulai hidup baru dengan semangat baru supaya hasilnya bisa kupersembahkan untuk kedua orang tuaku.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun