Rational Choice Theory
Dalam menganalisa kasus ini paling cocok jika menggunakan teori Rational Choice, karena pada teori Rational Choice di paparkan tentang perhitungan untung dan rugi yang diterima oleh masing-masing pihak. Baik pihak pemilik tanah maupun pihak perusahaan tentunya selalu mempertimbangkan untung rugi dalam jual beli tanah. Pihak perusahaan tidak ingin jika tanah yang mereka beli ternyata bermasalah, maka dari itu dalam prosesnya mereka selalu melibatkan BPN (Badan Pertanahan Nasional) dan Notaris untu menyelesaikan urusan tanah dan pembayarannya. Sementara pihak pemilik tidak ingin dirugikan dengan harga yang ditawarkan oleh pihak perusahaan, mereka selalu meminta harga tinggi kepada perusahaan sawit agar bisa mendapatkan uang yang banyak. Namun belakangan ini para pemilik tanah mulai sadar bahwa dengan mereka menjual tanah, mereka hanya akan memberikan keuntungan kepada pihak perusahaan. Hal itu dikarenakan, uang yang mereka dapatkan dari hasil penjualan tanah tidak seberapa jika dibandingkan dengan hasil yang diperoleh perusahaan sawit dari panen kelapa sawit setiap tahunnya. Maka dari itu beberapa pemilik tanah mulai memikirkan matang-matang jika ada yang ingin menjual tanahnya, bahkan ada yang sampai mengurungkan niatnya untuk menjual tanah dikarenakan pertimbangan untung rugi dimasa depan.
Resolusi Penyelesaian Konflik
Para pemilik tanah yang mulanya selalu menjual tanahnya kepada perusahaan, mulai berpikir bagaimana caranya agar tanah dikalimantan tetap menjadi milik pribumi bukan milik pihak asing. Karena pada dasarnya pemilik perusahaan sawit yang ada di daerah tersebut adalah pengusaha-pengusaha dari luar negeri seperti Singapura, Malaysia, Sri Lanka, India. Setelah melalui negosiasi antara warga sekitar dengan pihak perusahaan maka mereka sepakat untuk membuat kesepakatan baru yang bisa memberikan keuntungan bagi perusahaan dan bisa memberi keuntungan juga untuk warga sekitar. Kesepakatan tersebut diberi nama ‘Plasma’, maksud dari kesepakatan itu adalah : tanah yang dimiliki oleh warga tetap menjadi milik warga akan tetapi perusahaan sawit dibolehkan untuk menanami sawit diatas tanah tersebut, dan nantinya warga akan mendapatkan konpensasi dari perusahaan sawit senilai Rp.10.000.000/bulan dan konpensasi tersebut akan terus dibayarkan setiap bulannya selama tanaman sawit masih tertanam diatas tanah tersebut. Uang yang dipakai untuk membayarkan konpensasi adalah uang hasil panen dari sawit tersebut, yang menurut hitung-hitungan hasil panennya dibagi dua antara pihak perusahaan dan warga sekitar. Konpensasi tersebut akan didapat warga setiap bulannya selama seumur hidup apabila tanaman sawit masih ada. Tidak semua warga bisa mendapatkan konpensasi ini, hanya ada beberapa warga yang mendapatkan konpensasi. Mayoritas yang mendapatkan konpensasi adalah mereka yang pernah ikut mencari tanah tak berpemilik dipedalaman hutan, lalu oleh mereka dibagikan kepada keluarga-keluarganya. Sebelumnyatanah yang tak berpemilik tersebut mereka ajukan ke BPN untuk mendapatkan SKT (Surat Keterangan Tanah) agar memiliki legalitas hukum. Bermodal SKT inilah mereka bisa mencapai kesepakatan ‘Plasma’ dengan pihak perusahaan. Kesepakatan ini telah disetujui oleh kedua belah pihak dan diharapkan bisa menjadi solusi terbaik dalam sengketa lahan sawit, sehingga warga sekitar juga bisa merasakan hasil dari tanaman sawit ini