Orang-orang mudah melupakan sebuah nama, tetapi terlalu pandai mengingat hal-hal yang tidak semestinya diperdebatkan. Bagiku, bepergian ke sudut Kota Carden seperti tamasya ke surga. Tidak ada gedung-gedung tinggi, deru kendaraan, atau pengemis-pengemis kurang ajar yang mulutnya minta dijejali sepatu. Tempat itu seperti kebenaran dari kehidupan. Di mana manusia bisa memperlihatkan warnanya tanpa perlu merasa berdosa.
Hak sepatuku menimbulkan bunyi ketukan ketika melangkah memasuki gang yang jalannya bertabur kerikil. Anak-anak berlarian di sekitar, kucing-kucing hitam berkeliaran seperti utusan penyihir, wanita-wanita bicara dengan suara paling keras yang mereka punya, jemuran--dari seprai sampai pakaian dalam--membentang dari rumah susun satu ke rumah susun lain beberapa meter di atas kepalaku. Langit mendung mengantarkan lebih banyak nyamuk. Kubayangkan nyamuk-nyamuk itu sedang mencari harta karun atau mantra pematah kutukan sehingga senantiasa bertanya kepada setiap orang yang mereka temui, tetapi mereka tidak pernah berhasil karena manusia lebih suka menyingkirkan hal-hal yang sulit dimengerti.
Kedai takoyaki mulai terlihat, bangunannya kecil seakan-akan pemiliknya begitu miskin, terlebih cat merah tuanya yang sudah mengelupas dimakan cuaca membuatnya seperti tidak terurus. Hal lain yang menyenangkan dari kedai tersebut adalah mereka tidak menyediakan takoyaki isi mozarella. Demi apa pun, manusia yang meletakkan mozzarella di setiap makanan lebih aneh dari alien yang dipuja bangsa Mesopotamia kuno.
Kupesan dua porsi takoyaki isi ikan sebelum menuju meja paling ujung--yang sudah aku anggap milikku sejak kunjungan pertama ke kedai itu.
Saat itulah aku melihat kau, lelaki dengan rambut model jamur aneh dan kacamata tebal seperti orang yang sudah minus sejak lahir. Anehnya, alih-alih terlihat cupu atau canggung, gerak-gerikmu begitu percaya diri, penampilanmu juga terlihat cukup manis. Kejutan lain, kau membaca buku karya Kawabata ditemani secangkir kopi hitam serta sepenggal roti yang aku tahu betul tidak pernah tertera dalam menu.
"Itu mejaku."
Kau menoleh, alismu berkerut, mungkin merasa aneh karena tiba-tiba ada perempuan datang, lalu mengakui meja umum di sebuah kedai sebagai miliknya, tetapi aku tidak peduli. Aku tidak merasa harus menyapa siapa pun yang mencuri milikku.
"Aku tidak tahu," jawabmu. Entah sengaja mengalah atau memang merasa bersalah. Kemudian, kau mengulurkan tangan. "Namamu? Aku--"
"Aku tidak mau tahu. Lagi pula apalah arti sebuah nama," jawabku cepat sebelum kau sempat menyelesaikan kalimat.
Itu benar. Buat apa susah payah mengingat nama orang yang mungkin tidak akan kautemui lagi sepanjang sisa hidupmu?
"Syair Shakespeare, ya."
Kau terkekeh-kekeh, sementara aku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersinggung.
"Baiklah, Nona. Kita bisa berbagi meja, kan?"
Sungguh, kau mahir sekali membuat orang lain kesal, bahkan hanya dengan nada bicaramu.
"Berhenti. Itu menggelikan."
Aku menggeser kursi, duduk di hadapanmu dan secara sengaja meletakkan ponselku yang bergetar tiap dua menit sekali di dekat cangkir kopi milikmu.
Dan entah bagaimana awalnya, kita berbicara santai seperti kawan lama, bahkan tanpa saling mengetahui nama masing-masing. Aku bercerita tentang anak bebek yang berubah menjadi bayi kura-kura di kolam belakang rumahku. Kau memperkenalkanku kepada arwah ikan-ikanmu yang mati setelah akuarium tempat mereka tinggal ditelan seekor tokek. Aku katakan cita-citaku mengoleksi berbagai jenis kupu-kupu yang diawetkan dan disimpan dalam kotak kaca. Kau berniat memelihara gagak seperti wanita tua di sebelah rumahmu.
Percakapan mengalir tanpa tujuan sampai tahu-tahu, dua porsi takoyaki sudah habis kumakan. Aku kehabisan waktu. Kutepuk pundakmu dua kali sebagai penghargaan sebelum beranjak pergi dari kedai itu.
Kau berlari cepat mengejarku. Di depan kedai, kau berteriak, "Tunggu! Boleh aku tahu namamu?"
Langkahku tidak melambat, sementara kau memutuskan untuk paham dan tidak mengejarku lebih jauh. Kau tidak perlu tahu namaku, seperti aku tidak perlu tahu namamu. Sesuatu menjadi manis jika kau hanya mencicipinya sekali.
Aku harus pulang sebelum pintu neraka ditutup, sebelum lelaki yang menelponku berkali-kali memutuskan gantung diri hanya karena menduga aku tidak mengingat namanya lagi.[]