(Sebuah Refleksi dalam Rangka Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei)
Kepada Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Bapak Nadiem Makarim.
-------
Saya begitu prihatin dengan keadaan anak-anak di daerah asal saya, Pulau Nias. Pemberlakuan kebijakan #Stayathome, tidak memberikan pilihan yang berpihak pada mereka. Mau tidak mau, siap tidak siap, kebijakan tersebut harus mereka ikuti. Bagaimana murid-murid di pelosok Nias akan belajar?
Harus diakui, sudah banyak solusi yang diberikan berbagai instansi pemerintahan, tapi hasilnya tidak efektif karena tidak didukung sumber daya dan fasilitas memadai.
Sebagai contoh, dari tempat kost di Medan saya mendapat kabar, di salah satu Kabupaten di daerah saya Siswa/siswi dibiarkan belajar sendiri melalui tugas-tugas yang diberikan tenaga pengajar, tanpa bimbingan. Para siswa dan murid juga melaksanakan ujian tanpa bimbingan dari para gurunya.
Mengetahui kondisi ini, saya bertanya, apakah di keluarga tidak ada yang bisa mengajari? Hanya sedikit keluarga yang di rumahnya ada orang dewasa yang bisa membimbing para murid dan siswa untuk belajar di rumah.
Bagaimana tidak? Orang dewasa yang melek sekolah di daerah-daerah pelosok itu sangat sedikit. Penyebabnya, masih ada anggapan, bersekolah itu kegiatan tabu.
Belajar online? Yakin? Untuk bersekolah saja mereka bahkan tidak menggunakan alas kaki. Buku tulis satu semester satu buah dan alat tulis yang di dapat di jalan. Apalagi untuk mengadakan smartphone untuk belajar online. Pasti sangat sulit untuk memikirkannya.
Belajar di TV, TVRI? Yakin? Arus listrik saja tidak ada apalagi TV. Menonton TV itu hanya pada malam hari di rumah tetangga yang mempunyai genset itu pun kalau ada bahan bakarnya, kalau tidak mereka hanya bisa menonton indahnya langit ciptaan Tuhan.
Semisalnya dua solusi di atas sudah tersedia, siapakah yang membimbing mereka? Abang? Kakak? Orangtua? Hmmm, mungkin saja. Tapi kembali lagi, sekolah masih dianggap tabu di pelosok-pelosok Nias.
Awalnya saya menduga kendala seperti ini hanya terjadi di pelosok-pelosok Nias. Ternyata juga terjadi di kota besar, seperti di Medan.
Itu terbukti ketika saya berbincang-bincang dengan seorang pedagang kelontong di sekitar gang kost saya, Medan. Dia mengeluh dan berkata, Â "Saya jadi malu sama anak saya yang masih SD, Dek".
"Kenapa Bu?" tanya saya penasaran.
"Ya bagaimanalah, Dek. Ibu tidak terlalu paham betul pelajaran sekolah sekarang, tetapi guru-gurunya menyuruh anak didik mereka untuk belajar di TV, mengerjakan soal latihan yang ada di TVRI dan menyerahkannya saat sekolah seperti biasa," jawabnya.
"Mau tidak mau saya harus bisa membantu anak walaupun ada beberapa soal yang kami lewatkan karena tidak mengerti sama sekali. Dan pelajaran zaman dahulu dengan sekarang berbeda, saya juga lupa," tambahnya lagi.
Saya jadi ke pikiran, ini semester genap penentuan kenaikan kelas. Apakah di daerah asal saya akan banyak pelajar yang tidak naik kelas? Atau mungkin mereka akan lulus jalur Corona seperti Ujian Nasional tahun ini? Atau mungkin para tenaga pengajar harus mengikuti seperti kisah guru Avan yang viral itu dari Kabupaten Sumenep, mengajar muridnya dari pintu ke pintu karena mereka tidak mempunyai TV. Bisa saja, tetapi mungkin hal tersebut sangat susah untuk digerakkan dan berisiko.
Semoga Pak Menteri dan jajarannya mempertimbangkan solusi terbaik. Semoga anak-anak di pelosok Nias dan pelosok negeri lainnya dapat merasakan pendidikan yang sepatutnya.