Diserang penasaran tingkat tinggi begini akhirnya kucobalah untuk lakukan verifikasi atas temuan awal ini kepada narasumber-narasumber yang tanganku sanggup untuk jangkau. Di kedai servis hape salah satu teman SD singgahlah aq purak-purak kebetulan nangkring sebentar sambil menghabisi sebatang rokok jisamsu gratis yang ia sodorkan. Setelah ngobrol ngalor ngidul muter-muter sebentar untuk mengaburkan jejak dan motif kedatangan akhirnya pada momen yang tepat aq pun dengan liciknya membelokkan conversation kami ke perkara bangunan kolam-kolam di tangah sawah-sawah tadi. Ajaibnya ternyata temanku ini juga ndak tahu persisbahwa tempat ini dibangunkan kolam-kolam. Memang dia bukan asli orang sini--ibu bapak asal daerah padang panjang kota serambi makkah-tetapi bisa dibilang di antara kawan-kawan segenerasiku di masa kecil di tempat ini, kedainya inilah yang jadi port-hub antar faksi berbagai geng dan massa karena semuanya kesini supaya bisa ngisi pulsa secara utangan. Jadi dia diharapkan jadi toke atau bandar bagi berbagai gossip atau cerita. Terlebih sebagai orang luar ia tentu netral tidak terikat untuk merahasiakan salah satu aib pihak-pihak yang berperkara antar kami.
Tapi akhirnya dari teman ini aq dapatkan lagi salah satu cerita pilu tentang sangketa tanah pusako/pusaka/adat. Tanah sawah yang disulap jadi bangunan kolam ini ternyata semula milik keluarga salah satu teman saya yang lain. Suatu waktu suatu massa kemenakan/keponakan dari ibunya mencari modal buat ke Hongkong dengan menggadaikan tanah mereka ke toko emas. Nah karena tak dibayar utangnya, toko emas kemudian menggadaikan tanah ini ke sebuah bank. Nah karena mungkin sengaja ndak dibayar maka kemudian pihak bank berhak merampasnya lalu asset pun tentu dilelang ke pihak selanjutnya; karena bank tentu dilarang berbisnis langsung menjalankan usaha lainnya.