[caption id="attachment_71052" align="alignright" width="298" caption="PKS/Admin (Kompas/Yuniadhi Agung)"][/caption] PKS kembali membuat sensasi. Setelah cukup "kekerasan" di Pansus Century, Menkominfo membuat banyak kalangan gemas (dan curiga) dengan RPM konten multimedianya. Sampai-sampai menteri yang cukup energik dan selama masa kampanye kemaren terlihatnya sangat pro-SBY ini disentil presiden di depan media massa. Sementara terkait "centurygate" Hayono Isman sebagai sesepuh Partai Demokrat secara cukup terus terang meminta pihak yang tidak konsisten dengan koalisi agar mundur dari jabatan menteri. Sepertinya arah tusukan ke PKS yang terasa cukup kencang, alih-alih Partai Golkar apalagi yang lain pun PDIP. Jadi ingat vokalitas Ruhut Sitompul yang dalam rapat-rapat Pansus Century pun debat-debat di media terdengar sangat gemas dengan rekan koalisinya dari PKS ini. Ah, saya jadi ingat bagaimana serunya melihat proses pembentukan koalisi SBY kemaren yang akhirnya melibatkan PKS. Sementara menariknya PDS diberitakan sempat pecah suara kemana hendak bergabung kalau begini kenyataannya. PDS, bukan PKS-lah yang secara sejarah lebih dahulu berkawan dan memperjuangkan karir SBY. Emang koalisi yang terlalu gemuk merangkum sabang sampai merauke dari aliran paling kanan sampai ujung kiri merepotkan. Tapi toh untuk Indonesia, sebagaimana kerap dinyatakan berbagai pengamat, persoalan ideologi adalah sesuatu yang cair karena yang dominan adalah partai nasionalis; dan semuanya mengaku nasionalis termasuk yang neoliberalis, hahaha. Akhirnya di sana sini timbul saling curiga nan sewaktu-waktu bisa meledak. Seperti saat ini. Meski sepertinya juga bisa dipandang baru letupan kecil. Ledakan popularitas PKS memang cukup fenomenal dan bisa menciptakan kecurigaan. Bahkan buat sebagian (besar) kalangan yang tak terlalu tahu apalagi paham "soal aliran", partai ini barangkali dianggap teroris atau temen dekatnya teroris. Ya, memang partai ini terafiliasi pada gerakan Ikhwanul Muslimin yang lahir di Mesir. Di Palestina orang bahkan lebih mengenal sayap militernya Hamas, Brigade Al-Qassam. Siapa yang enggak bakal selalu penuh curiga, apalagi di tengah berbagai kepentingan dan target. Di Ika yang Bhineka. Citra PKS yang bersih dan reformis memberi darah segar di tengah kelayuan mainstream ormas Islam Indonesia pasca Orde Baru. Hasilnya, hingga kini mereka memiliki jumlah perolehan kursi yang cukup signifikan dan relevan di Parlemen. Utamanya ini berkat kerja keras kader-kader militannya. Itu artinya sudah menjadi kekuatan politik yang sama sekali tidak enteng di Indonesia. Sebuah "ganjalan" menurut hemat saya terjadi pada pemilu kemaren. Meski tetap dengan jumlah suara yang cukup besar, namun mereka gagal meningkatkannya. Padahal secara perhitungan politis saya juga menilai situasi cukup mendukung untuk pemilu kemaren mereka bisa mendongkrak pemerolehan suara. Terutama dilihat dari upaya lebih "ke tengah" dan lebih inklusifnya. Tokoh-tokoh politisi muda yang low-profile dan bersih dan makin inklusif di PKS bak mutiara di tengah lautan citra buruk politisi dan politik di Indonesia. Kenapa mereka hanya bisa jadi pemain bertahan pada hasil pemilu kemaren? Banyak faktor, diantaranya bisa saja salah satunya kita sebut tentang perang opini masyarakat di media dengan blow-up-nya kasus terorisme (yang bukan tak mungkin ada sponsornya, hehe). Tentu tak mudah bagi anak baru PKS (yang secara ideologi bercap impor dari luar) sebersinar apapun menenggelamkan status quo aliran islam maupun islam-nasionalis mainstream di Indonesia, apalagi bendungan dari "kekuatan-kekuatan lain". Tapi sebetulnya mari kita lihat lebih jauh ke belakang. Sejarah masuknya Islam ke Indonesia adalah proses akulturasi, ataupun dengan istilah asimilasi, yang sangat "soft" oleh para wali; apalagi oleh para pedagang. Pemahaman Islam dari Timur-Tengah walhasil punya bentuk tersendiri disini. Berabad-abad lamanya. Maka ketika ada sekelompok anak muda idealis, entah dari aliran mana, yang tersadar dengan program ke-kafah-an dalam Islam dan mengingatkan Indonesia tentang upaya pemurnian ataupun dibaca pen-timur-tengah-an justru akan menghadirkan apa yang disebut sebagai resistensi kultural. Utamanya di tengah bangsa timur yang sangat massif dan komunal kental. Para walipun ketika mengakulturasi barangkali mengira itu hanya upaya awal yang tak dinyana cukup banyak juga yang tetap bertahan berabad-abad lamanya hingga kini. Tentu, setiap intelektual akan menyadari ini. Bahwa segala sesuatu ada prosesnya dan harus dengan cara. Penambahan kata sejahtera pada perubahan nama PKS menunjukkan juga sebuah upaya mengasimilasi ini. Meskipun keinginan sejahtera adalah sesuatu yang universal, namun kenyataannya ini tentu saja proses yang cukup ampuh untuk dipraktikkan di tingkat lokal. PKS menunjukkannya dengan bukti kepiawaian komunitas mereka dalam berbisnis untuk mengupayakan tujuan sejahtera tersebut. Terlebih tentunya ada acuan teologis mereka kepada riwayat Nabi (tepatnya kemudian "sebagian" sejarah kekuasaan Islam) yang bisa untuk lebih dipublikasi dan dieksploitasi. Namun ternyata tetap tak mudah memang. Mendengar kabar kebocoran APBN yang hingga 40% atau 300 trilyun lebih pada tahun 2008 sepertinya saya sepakat memang duit haram lebih menjanjikan untuk konteks Indonesia. Duit segitu ibarat kata Metro TV bisa dibelikan kerupuk berapa ya? Dibelikan kondom saja hasilnya mungkin akan terbentang dari Aceh sampai Papua, tanpa perlu ditegangkan. Singkat analisis dan cerita aja deh ya udah kepanjangan nih, menurut hemat saya PKS sebagai sebuah kekuatan politik akan sangat naif untuk mendapatkan kekuasaan terbesar dominan di Indonesia. Apalagi kalo targetnya 2014; apalagi cawapres 2010! Juga terlebih jika mereka tetap setia dengan rambu aliran ikhwanul musliminnya di tengah sekian kategorisasi aliran Islam lain yang berebut pasar rakyat Indonesia dalam hal kekuatan politik lalu bisnis. Di Mesir sendiri tempat kelahirannya mereka masih macam ekstrimis bagi pemerintahan nasional, meski ulama-ulama fikih kelas berat ada di Al-Azhar bersarangnya. Di Palestina, medan darah para syuhada yang telah makan garam berabad-abad dengan berbagai aneka macam intrik politik hingga perang paling brutal untuk saling memperebutkan kekuasaan, Ikhwanul Muslimin pun baru hanya mencapai puncak perjuangan ketika berhasil berkuasa secara "de facto" di Gaza. Bahkan barusan kudengar berita bahwa agen Mossad yang membunuh pemimpin Hamas di Dubai kabarnya dibantu oleh orang-orangnya Kolonel Muhammad Dahlan, petinggi Fatah yang berkuasa di Tepi Barat. Apalagi di Arab Saudi dengan Salaf dan Wahabi konservatifnya. Pokoknya singkat cerita menurut hemat saya PKS tidak tepat melakukan akselerasi politiknya. Mungkin ini terpicu "kemenangan" Hamas di Gaza tadi yang kenyataannya juga tak seindah itu hingga kini. Sekali lagi PKS jangan terlalu positif thinking meski Mario Teguh, Dale Carnegie, hingga Kick Andy mengajarkan dan membualkannya. Dalam siasat kita juga harus rasional; terlebih inilah kenyataan pasar politiknya, pasar kulturalnya rakyat Indonesia. Sekali lagi dua: menurut pendapat saya peluang naif untuk dalam waktu dekat ini PKS menjadi kekuatan dominan yang terukur secara kuantitas demokratis di kultur Indonesia. Termasuk perhitungan faktor-faktor kekuatan kontekstual terkini lainnya. Ingat walau minim "swing voter" dibanding parpol lainnya namun suara PKS yang cukup besar di parlemen itu tidaklah seutuhnya dari kader-kader yang punya militansi ke ideologinya. Apalagi dengan adanya embel-embel iklan sejahtera tadi; tambah pula upaya inklusif "ke tengahnya". Jangan sampai darah segar mereka jadinya justru ikut tercemar seperti karmanya setiap posisi mainstream karena secara politik terus "ke tengah-tengah" tadi. Sementara jika tak "ke tengah" harus menghadapi resistensi, setidaknya hingga dasawarsa ini. Ikhwanul Muslimin menurut saya sebaiknya kembali ke peran moral mereka dan di sinilah sebetulnya kekuatan mereka yang tidak se-kaku dan se-ortodoks teman-teman salafnya, hahaha. Dibanding sebagai kekuatan politik, PKS sebagai kekuatan moral akan lebih berterima oleh masyarakat di tengah situasi yang masih "ganas" ini. Terutama dengan dakwahnya yang lembut tapi cukup kontemporer juga. Sekaligus menghindarkan diri dari resistensi kultural dan historik tadi yang ujung-ujungnya malah bisa jadi akan anti-klimaks sebagaimana diisyaratkan oleh ke-mandeg-an target kuantitas politik mereka pemilu terakhir kemaren. Lagian bukankah shalat, zakat, celana gantung, assalamualaikum, wirid, kursi kekuasaan, harta-benda itu hanyalah instrumen untuk membentuk kita menjadi insan yang berakhlak mulia. Karena iman di hati (yang tak terlihat itu) siapa yang tahu, selain nanti di hari penghisaban oleh-Nya....
KEMBALI KE ARTIKEL