Pengembangan kurikulum 2013 ditujukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia agar sejajar dengan negara-negara lain, khususnya negara-negara di kawasan Asia. Apalagi hasil PISA (Program for International Student Assessment) mengindikasikan bahwa kiblat dunia pendidikan bukan lagi ke negara-negara di kawasan Eropa tetapi sudah beralih ke negara-negara di kawasan Asia, seperti Cina dan Singapura. Sayangnya, dibalik kemajaun pendidikan di beberapa negara asia tersebut, Indonesia justru mengalami stagnasi, bahkan penurunan kualitas. Hasil studi terbaru PISA menunjukkan bahwa Indonesia hanya mampu menduduki posisi keenam puluh satu dari enam puluh lima Negara peserta PISA untuk kategori matematika.
Berkaca dari hasil PISA tersebut, pemerintah melalui kementerian pendidikan berupaya meningkatkan daya saing pendidikan Indonesia melalui pengembangan kurikulum 2013. Kurikulum 2013 diharapkan mampu menjadi angin segar pembawa perubahan dalam sistem pendidikan yang dinilai masih kaku dan belum mampu meningkatkan kreatifitas peserta didik dalam hal kognitif, psikomotorik, maupun afektif. Kurikulum 2013 di desain agar peserta didik lebih terlibat aktif dalam proses pembelajaran melalui kegiatan aktif menanya, mengamati, mengeksplorasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan hasil pembelajaran. Kurikulum 2013 mengharapkan adanya keseimbangan antara kemampuan kognitif dengan sikap dan keterampilan peserta didik. Muara dari penerapan kurikulum 2013 adalah terbentuknya Sumber Daya Manusia (SDM) yang cerdas dan berakhlak mulia.
Dalam penerapannya, kurikulum 2013 memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk dapat memperkaya pengetahuan dari berbagai sumber, seperti buku, internet, dan lingkungan sosial masyarakat. Peran guru dalam kurikulum 2013 hanya sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran, yang fungsinya mengarahkan peserta didik untuk mencapai target pembelajaran sesuai dengan yang ditetapkan. Hasil akhir yang diharapkan dari model pembelajaran yang aktif, kreatif, dan gembira ini adalah para peserta didik terpacu untuk meningkatkan kemampuannya di bidang sains, matematika, dan membaca yang menjadi kelemahan peserta didik Indonesia menurut penilaian PISA.
Kurikulum 2013 memang manjanjikan untuk kemajuan pendidikan di Indonesia. Pengembangan kurikulum 2013 sangat kontekstual dan dibutuhkan untuk peningkatan kualitas pendidikan, karena peningkatan kualitas pendidikan tentu akan berdampak pada meningkatnya daya saing Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia di mata internasional. Namun, ketika kurikulum 2013 diterapkan di lapangan berbagai hambatan dihadapi, sebagai akibat dari kurangnya persiapan dan keseriusan pemerintah dalam menerapkan kurikulum 2013.
Infrastruktur Menjadi Hambatan Utama Penerapan Kurikulum 2013
Kegalauan penulis dalam artikel sebelumnya yang berjudul “Kurikulum 2013 Perlu Masa Transisi” kini terbukti. Ada pola pikir yang keliru dalam penerapan kurikulum 2013, di mana kurikulum diterapkan terlebih dahulu, baru kemudian guru dipaksa menyesuaikan diri. Seharusnya jika pemerintah serius ingin memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia melalui pengembangan kurikulum 2013 pola pikir tersebut diubah, para guru dipersiapkan terlebih dahulu baru kemudian kurikulum diterapkan, agar tidak terjadi salah kaprah dalam implementasi di lapangan. Pola pikir ini seharusnya menjadi pertimbangan mendasar bagi pemerintah dalam menerapkan kurikulum 2013, terlepas dari ada atau tidaknya target atau kepentingan tertentu di balik penerapan kurikulum 2013 yang terkesan terburu-buru.
Hampir mustahil bagi para guru menerapkan kurikulum 2013 secara utuh tanpa mendapat pembekalan yang memadai dan memeroleh pemahaman yang utuh terkait konsep dan bagaimana menerapkan kurikulum 2013 di lapangan. Cara pemerintah dalam mensosialisasikan kurikulum 2013 yang seadanya, membuat penerapan di lapangan menjadi tidak efektif. Bayangkan saja, untuk mensosialisasikan kurikulum yang isinya mengalami banyak perubahan dari kurikulum sebelumnya (KTSP), para guru hanya diberi pelatihan satu sampai dua hari. Pelatihan pun hanya diberikan kepada para guru yang dianggap kompeten yang diharapkan nantinya dapat meneruskan ke sekolah masing-masing.
Dalam hal ini, kita baru berbicara mengenai kondisi yang terjadi di tingkat kabupaten kota yang kualitas pendidikannya tidak terlalu jauh berbeda dari sekolah-sekolah yang berada di Pulau Jawa, kita belum berbicara mengenai sekolah-sekolah yang berada di pelosok negeri dengan keterbatasan infrastruktur dan kondisi geografis yang jauh lebih sulit dan kompleks. Perlu diingat bahwa berbicara Indonesia bukan hanya Pulau Jawa ataupun Sumatera, tetapi harus dilihat juga daerah-daerah terpencil lainnya dengan berbagai permasalahan masing-masing, khususnya dalam mengakses informasi. Bagaimana mau menerapkan, kalau informasi yang diterima tentang kurikulum 2013 saja masih sangat minim?
Sampai saat ini, pemerintah belum juga mampu memenuhi janjinya terkait pengadaan buku dan infrastruktur penunjang lainnya untuk mendukung penerapan kurikulum 2013. Pemerintah menjanjikan bahwa buku kurikulum 2013 akan disediakan oleh pemerintah dan akan dibagikan secara gratis bagi sekolah-sekolah penerima BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Kenyataan yang terjadi di lapangan, pemerintah kewalahan memenuhi targetnya sendiri. Buku tak kunjung datang, sementara kegiatan belajar mengajar harus segera dilaksanakan, pada akhirnya sekolah-sekolah terpaksa bekerjasama dengan penerbit di daerahnya masing-masing untuk pengadaan buku kurikulum 2013. Orangtua peserta didik kembali dibebani dengan biaya pengadaan buku kurikulum 2013 yang dijanjikan gratis oleh pemerintah.
Persoalan tidak selesai sampai di situ, untuk buku-buku tertentu pihak penerbit belum menyediakan untuk versi kurikulum 2013, sehingga guru-guru harus berpikir kreatif dengan mencari atau mengunduh sendiri buku pelajaran dari internet. Pertanyaannya, lalu bagaimana dengan sekolah-sekolah yang berada di daerah-daerah terpencil, seperti Kalimantan atau Papua, jangankan internet listrik pun tak punya? Mungkinkah kurikulum 2013 diterapkan secara merata di seluruh penjuru Indonesia, jika gambaran situasi yang terjadi seperti ini?
Inilah yang penulis maksudkan bahwa kurikulum 2013 kontekstual dalam pengembangan, namun tidak dalam terapan. Dunia pendidikan Indonesia memang membutuhkan terobosan-terobosan baru, seperti yang tercetus dalam kurikulum 2013 untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar peserta didik. Dunia pendidikan internasional pun terus mengalami perkembangan sesuai dengan kemajuan IPTEK dan kebutuhan dunia kerja. Dalam hal ini, Indonesia harus terus berbenah demi meningkatkan daya saing pendidikan Indonesia dengan negara-negara lain, khususnya negara-negara di Kawasan Asia. Namun, untuk dapat menerapkan kurikulum 2013 secara utuh dan hasilnya sesuai dengan ekspektasi, proses sosialisasi dan pemenuhan fasilitas pembelajaran harus dilakukan di seluruh Indonesia, mulai dari ibu kota sampai ke pelosok-pelosok negeri, jika tidak kurikulum 2013 hanya bisa diberlakukan di Pulau Jawa, namun tidak di daerah-daerah terpencil yang fasilitasnya belum memadai.
Antara Kompetensi Inti, Kompetensi Dasar, dan Pendekatan Saintifik
Dalam rumusan kurikulum sebelumnya (KTSP) terjalin integrasi yang kuat antara standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator. Kompetensi dasar dan indikator dalam rumusan KTSP merupakan spesifikasi dari standar kompetensi, artinya kompetensi dasar dan indikator merupakan prasyarat yang harus dikuasai oleh peserta didik untuk dapat mencapai standar kompetensi yang diharapkan dari setiap mata pelajaran.
Pada kurikulum 2013 standar kompetensi berubah menjadi kompetensi inti. Setiap mata pelajaran hanya memiliki empat kompetensi inti yang meliputi aspek religiusitas, sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Ketika kurikulum 2013 diterapkan, banyak guru masih memfokus kegiatan pembelajaran pada aspek pengetahuan (KI-3) dan keterampilan (KI-4), sementara aspek religiusitas (KI-1) dan sikap (KI-2) masih kurang mendapatkan perhatian. Hal ini terjadi dalam penyusunan perangkat administratif pembelajaran dan implementasi di kelas. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apa bedanya kurikulum 2013 dengan kurikulum sebelumnya (KTSP), apabila aspek yang ditekankan hanya pada pengetahuan dan keterampilan? Bukankah pada kurikulum sebelumnya hal tersebut sudah dilakukan?
Hal lain yang juga masih mengusik sebagian guru terkait penerapan kurikulum 2013 adalah masalah penilaian. Dalam aktivitas pembelajaran di kelas hanya tiga aspek yang dinilai, yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Hal ini tentu membingungkan, karena pada rumusan kompetensi inti ada empat kompetensi inti yang harus dicapai dan dievaluasi. Namun, dalam penilaian mengerucut menjadi tiga aspek, di mana penilaian aspek religiusitas ditumpangtindihkan dengan penilaian sikap. Padahal antara religiusitas dan perilaku merupakan dua hal yang berbeda. Gambaran sederhananya adalah “seseorang yang terlihat memiliki iman baik belum tentu perilakunya juga baik, begitu pula sebaliknya, seseorang yang terlihat memiliki perilaku baik, belum tentu memiliki iman yang baik pula,” sehingga penilaian kedua aspek tersebut tidak bisa ditumpangtindihkan. Ingat, dalam penilaian di kelas para guru hanya mungkin menilai hal-hal yang ditampilkan siswa secara ekplisit, sedangkan untuk hal-hal yang bersifat implisit hampir tidak mungkin dapat dievaluasi.
Entah mengapa kompetensi inti untuk aspek religiusitas seperti dipaksakan harus ada, padahal sangat sulit untuk menilai tingkat keimanan seseorang. Bagaimana merumuskan indikator untuk aspek religiusitas? Instrumen apa yang harus digunakan untuk menilai tingkat keimanan siswa? Hal-hal seperti ini, mestinya mendapat penjelasan lebih lanjut dari pemerintah, khususnya kementerian pendidikan agar tidak terjadi kesalahan dalam aplikasi di lapangan. Belum ada standar yang jelas terkait implementasi kurikulum 2013 semakin menyulitkan para guru. Sejauh ini, kurikulum 2013 dilaksanakan menurut pemahaman dan persepsi dari masing-masing guru mata pelajaran.
Dari sisi pendekatan, penerapan kurikulum 2013 menggunakan pendekatan ilmiah yang disebut dengan pendekatan saintifik. Pendekatan saintifik pun tak sepenuhnya dipahami oleh sebagian guru sebagai pelaksana kebijakan di lapangan. Model pembelajaran dengan pendekatan saintifik mengarahkan peserta didik untuk aktif mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, menegosiasi, mengomunikasikan, dan mencipta. Apakah kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru dalam implementasi kurikulum 2013 sudah sesuai dengan konstruksi tersebut? Jawabannya tentu tidak. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa para guru masih sulit meninggalkan gaya lama, yaitu model pembelajaran teacher center. Para guru masih mendominasi kegiatan pembelajaran di kelas, padahal kurikulum 2013 mengharapkan peserta didiklah yang diaktifkan dalam kegiatan pembelajaran, sementara guru hanya bertindak sebagai fasilitator, yang tugas pokoknya mendapingi dan mengarahkan siswa pada tujuan pembelajaran.
Butuh Waktu Mengubah Mindset Guru
Persoalan infrastruktur dan konten kurikulum menjadi persoalan mendasar yang menjadi hambatan penerapan kurikulum 2013 di lapangan. Sekarang mari kita berbiacara masalah yang lebih urgen, yaitu bagaimana sulitnya mengubah mindset guru yang sudah terbiasa mengajar dengan gaya tradisional, di mana guru lebih mengedepankan model pembelajaran teacher center. Guru-guru yang sudah terbiasa dengan model pembelajaran teacher center, kenyataannya masih sulit meninggalkan gaya lama tersebut. Bahkan dalam penerapan kurikulum KTSP, ketika guru mulai dituntut untuk lebih variatif dalam menerapkan metode dan teknik pembelajaran, model pembelajaran teacher center masih menjadi primadona.
Pola pikir yang salah dengan menerapkan kurikulum terlebih dahulu baru kemudian guru menyesuaikan, tentu akan menjadi kendala utama bagi guru dalam menerapkan kurikulum 2013. Belum selesai dengan kurikulum KTSP, para guru sudah harus dihadapkan pada kurikulum yang baru, kurikulum 2013 yang kontennya masih dipahami secara samar-samar oleh para guru.
Para guru memang wajib bisa melaksanakan pembelajaran berdasarkan kurikulum 2013 kapan pun kurikulum tersebut diterapkan, persoalan yang kemudian perlu mendapat perhatian adalah mungkinkah kurikulum 2013 dilaksanakan sampai ke pelosok negeri, apabila proses sosialisasi masih kurang dan infrastruktur penunjang belum memadai, ataukah kurikulum 2013 hanya cocok dilaksanakan di Pulau Jawa dan tidak untuk daerah-daerah terpencil? Menarik menantikan evaluasi dari kementerian pendidikan terkait implementasi kurikulum 2013 nantinya.
Oleh,
WELLY HADI NUGROHO SERAN, S. Pd.