Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Ketika Kualitas Seseorang Masih Harus Dibuktikan Dengan Selembar Kertas

3 September 2013   13:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:26 309 0

Jika kita membicarakan tentang kualitas, pikiran kita akan terarah kepada tingkat baik buruknya atau taraf atau derajat sesuatu. Kualitas menurut arti katanya adalah

1.Tingkat baik buruknya sesuatu; kadar.

2.Derajat atau taraf (kepandaian, kecakapan, dsb); mutu.

Seseorang dikatakan berkualitas jika memiliki sebuah keahlian atau kepandaian tertentu pada bidang tertentu pula, itu bisa kita lihat dari keterampilannya melakukan sesuatu atau ketajaman analisisnya dalam mengemukakan pendapat dalam suatu permasalahan.

Sebagian besar waktu kita habiskan di lingkungan masyarakat, kita belajar banyak hal dari apa yang kita lihat di lingkungan sekitar selama kita hidup dan mulai mengerti benar dan salah dalam kehidupan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa melakukan penilaian terhadap seseorang , rekan kerja atau tetangga perihal kualitas yang mereka miliki, selama kita duduk dibangku sekolah pun kita bisa menilai kecakapan dan kepandaian teman-teman sekelas maupun lain kelas di satu sekolah.

Sewaktu saya duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) beberapa tahun silam, saya memiliki seorang teman laki-laki bernama Muji (bukan nama sebenarnya). Dia berpenampilan sederhana, berkarakter sopan, murah senyum, ramah dan baik hati, sekilas lalu dia tidak seperti anak yang pandai, sesuai dengan ungkapan yang sering kita  dengar di Masyarakat bahwa “jangan menilai orang dari penampilannya”.

Awal masuk sekolah tentunnya belum banyak yang kita ketahui tentang karakter teman-teman di Sekolah. Seiring berlalunya waktu kita bisa mengenal lebih dalam tentang karakter masing-masing dari mereka. Setelah waktu berjalan saya pun telah mengenal teman-teman lebih dalam dan mulai cocok  berteman dengan temen-teman yang “pas” atau membuat saya merasa nyaman dalam melakukan komunikasi dengan mereka termasuk salah satunya adalah dengan Muji, Saya dan Muji pada waktu kelas 1 SMA tidak berada di satu kelas, Saya di kelas A dan Muji di kelas B, karena berbeda kelas tentunya tidak banyak hal yang saya ketahui tentang bagaimana pemahaman dia tentang berbagai mata pelajaran di Sekolah, hanya sepintas jika sedang duduk-duduk di bangku luar kelas sewaktu istirahat  salah satu teman satu kelasnya bercerita tentang kepandaiannya dalam menguasai beberapa materi pembelajaran. Saya pun mulai tertarik untuk lebih mengenal dia, karena di sekolah kami tidak banyak siswa laki-laki yang serius memahami pelajaran di sekolah, mungkin karena faktor pergaulan  sehari-hari yang terbiasa keluar malam, nongkrong-nongkrong beramai-ramai di pinggir jalan, sehingga waktu belajar malam pun terbuang sia-sia.

Proses pembelajaran di Sekolah pun berlalu selama 6 bulan ( 1 semester) dan tibalah pada saat penerimaan Laporan Hasil Belajar Siswa (Rapor) , di Sekolah kami sebelum dibagikan Rapor biasanya semua siswa dikumpulkan dan baris berdasarkan kelas masing-masing di Lapangan Upacara Sekolah, diberikan sedikit pengarahan dan di umumkan juara kelas dari 1 sampai 3 di setiap kelas, dan yang mendapatkan ranking di persilakan maju kedepan. Pengumuman ranking di mulai dari kelas ku yaitu kelas  1 A  kemudian disusul dengan kelas 1 B  dan seterusnya sampai kelas 3,  akupun menanti siapa yang menjadi tiga besar dikelas 1 B tersebut, penantian ku hanya berlangsung selama beberapa menit, nama Muji pun dipanggil ke depan dan menduduki salah satu peringkat 3 besar dikelasnya.

Begitu juga di Semester kedua, dan tibalah saat kenaikan kelas dan ternyata kebijakan sekolah mengalami sedikit perubahan, setiap siswa yang memiliki peringkat 1 sampai 10 di kelas 1 akan di gabungkan dalam satu kelas di kelas 2 sehingga terkumpullah 1 kelas yang yang didalamnya terdapat siswa-siswa berprestasi di kelas sebelumnya, dan dikelas ini lah aku dan muji berada di kelas yang sama dan duduk dalam 1 bangku yang sama. Interaksi pun terjadi diantara kami dalam proses-proses pembelajaran di Kelas, aku kagum dengan sosok Muji, apalagi jika dalam hal pelajaran Fisika, Matematika dan Kimia, Dia selalu punya cara cepat dalam menyelesaikan soal-soal, dan tak jarang dia mengomentari cara guru menjelaskan yang menurutnya terlalu berbelit-belit meskipun komentarnya hanya pelan dan hanya aku yang bisa mendengarkannya. Duduk sebangku dengannya menambah wawasan dan cara pemahaman yang cepat dalam menghitung soal-soal hitungan yang ada di dalam buku pelajaran, pernah aku bertanya padanya, bagaimana caranya belajar dirumah dan memahami cara perhitungan dengan begitu cepat itu, namun dia hanya menjawab singkat “ya baca buku lah” , aku pun semakin penasaran, dengan rasa penasaran tersebut akupun mencoba mangunjunginya dirumah sepulang sekolah, ternyata rumahnya jauh dari sekolah dan di sekitar rumahnya belum mendapat aliran listrik dari pemerintah, akupun semakin kagum, bagaimana dengan fasilitas yang serba kekurangan dia bisa belajar dengan baik. Pada saat malam tiba dia membaca buku dengan diterangi sebuah pelita kecil berbahan dasar minyak tanah namun kenyatanya dia bisa lebih tekun belajar dibandingkan dengan teman-teman lain yang memiliki fasilitas lengkap dirumah mereka, sungguh luar biasa dan banyak pelajaran yang ku ambil dari Dia dan keluarganya pada saat itu.

Kenaikan kelas berikutnya pun berlalu, aku dan Muji ternyata masih berada pada kelas yang sama pada jurusan Ilmu Pengetahuan Alam dan kami berada pada penghujung kelas sebelum kelulusan, tidak jarang aku mengajaknya tidur dirumahku untuk belajar bersama, banyak ilmu yang aku serap darinya dan kami pun sering bertukar pikiran tetang pelajaran dan berbagai hal dalam kehidupan. Saat kelulusan pun tiba, kami lulus dengan nilai yang cukup memuaskan, aku beranjak pergi untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi lagi di kota kelahiranku Yogyakarta, dan pada saat itulah aku dan teman-teman berpisah tanpa tau kabar satu sama lain, maklum di Tahun  2004 alat komunikasi belum terlalu lancar seperti sekarang ini.

Setelah beberapa tahun berlalu barulah kabar dari teman-teman berdatangan satu per satu seiring mudahnya akses informasi yang berkembang pesat . Aku hanya bisa mendapatkan kabar dari mereka lewat jejaring sosial dan handphone karena  aku tidak pulang ke rumah orang tua selama aku masih belum lulus kuliah, sesuai dengan tekadku lulus dulu baru pulang ke rumah orang tua ku, termasuklah kabar dari Muji,  ternyata Muji bekerja menjadi Operator ( bahasa lainnya Buruh) disalah satu perusahaan Asing yang bergerak di bidang elektronik, yang bekerja dari pagi sampai malam , Dia bekerja merakit salah satu peranti keras (hardware) pada Mainboard salah satu merk ternama dunia, Ternyata perakitan peranti tersebut berada di daerah Tempat tinggal orang tuaku yang kemudian dibawa kembali ke luar negeri untuk dipasarkan kembali ke Indonesia dan Negara- Negara lain.

Komunikasi dengan Muji pun terjadi dan dia bercerita  bahwa sebenarnya dia mau melanjutkan Kuliah namun Orang tuanya tidak cukup mampu untuk membiayai dan memfasilitasi, sangat disayangkan namun aku tidak bisa berbuat banyak selain mengucapkan kata “sabar” kepadanya.

Tahun demi tahun berlalu, tidak banyak lagi ku dengar kabar darinya sampai aku lulus kuliah dan pulang kerumah orang tuaku. Tanpa sengaja dijalan aku bertemu Muji, dengan suka cita aku menyalami tangannya dan memulai komunikas panjang dengannya, Ternyata setelah sekian tahun tidak ada kabar, banyak hal yang telah dia lewati , dia berpindah kerja kesana kemari untuk mencari uang, dan dia mengatakan  :  “ setiap mau ngelamar kerja pasti ditanya ijazah nya mana? Tamatan apa? sehingga banyak pekerjaan layak yang tidak bisa aku dapatkan, karena yang meraka mau adalah bukan ijazah SMA, padahal sebenarnya aku bisa mengerjakan pekerjaan itu , Andai saja lowongan kerja di Indonesia tidak menomoer satukan selembar kertas (ijazah) dan lebih mementingkan kompetensi  atau keahlian seseorang, pasti tidak banyak penganguran. Karena banyak yang aku lihat sarjana tapi tidak berkualitas dalam bekerja , Coba lihat lowongan kerja di Koran atau internet pasti ada syaratnya minimal S1, S2 dll untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, yaa begitulah kenyataannya“. Aku pun tertawa dan meng “iyakan” opininya, karena aku tahu dia anak yang sangat cerdas dalam berfikir namun dia tidak punya selembar ijazah sarjana untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Seiring kekecewaannya dia tetap bekerja di salah satu penyuplai alat elektronik di salah satu kota di sekitar tempat tinggal orang tuaku, dan itu dijadikan semangat untuk meneruskan kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta , dia berkuliah malam hari dari pukul 07.00 sampai 22.00 WIB hanya untuk mendapatkan selembar kertas (Ijazah) dan dia tetap bekerja dari pagi hingga sore hari.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun