"Aduuh, bagaimana nih? Masih kurang satu lagi!" tanyanya pada Putra teman sebangkunya,
"Ditunda saja sampai besok," Putra menenangkan.
Bagus jadi geregetan. "Disuruh ngumpul raport saja susah! Perlu waktu berhari-hari. Sampai setiap hari harus diingatkan. Dan kini sudah seminggu masih saja kurang," gumam Bagus kesal. Diletakkannya tumpukan raport itu di atas meja guru.
"Hai teman-teman! Tolong dengar ya!" tiba-tiba Bagus berdiri di depan kelas.
"Yang belum mengumpulkan raport hanya tinggal satu orang lagi! Aku tunggu sampai besok. Kalau besok raportnya belum dibawa juga, serahkan saja sendiri pada Bu Dayu! Biar Bu Dayu tahu siapa yang paling malas di kelas ini!" wajah Bagus memerah tanda-tanda sedang marah.
Teman-temannya saling berpandangan. Heran melihat Bagus yang tiba-tiba marah.
"Nita, sudah ngumpul raport?" tanyanya pada Nita yang duduk di bangku belakang.
"Sudah! Tapi jangan mendelik gitu dong!" jawab Nita ketus.
"Aku juga sudah!" kata Ari cepat begitu pandangan Bagus tertuju padanya.
Bagus kembali ke tempat duduknya dengan muka cemberut.
& Â Â Â Â & Â Â Â Â &
Seperti biasa malam harinya Bagus selalu belajar untuk persiapan keesokan harinya. Selesai mengerjakan PR Matematika, ia ingat besok ulangan Bahasa Indonesia. Segera diambilnya buku pelajaran Bahasa Indonesia dari laci meja belajarnya. Tapi kok tebal sekali? Begitu dibuka alangkah terkejutnya Bagus.
"Astaga!" pekiknya.
Tentu saja Bagus sangat kaget. Ternyata buku raport miliknya yang disangka sudah dikumpul ternyata tak sengaja terselip di sana. Bagus merasa sangat malu. Dia mengira teman-temannya yang malas padahal dia sendiri yang ceroboh. Yang dihitung hanya jumlah raport tapi tidak mengecek nama-nama pemiliknya. Bagus menyesal karena tidak teliti tapi malah langsung marah-marah. Kalau saja teman-temannya tahu, satu-satunya siswa yang belum mengumpulkan raport adalah dirinya, pastilah dia ditertawakan seisi kelas. Sungguh kecerobohan yang memalukan!
& Â Â Â Â & Â Â Â Â &
Sampai di sekolah Bagus segera mencari Putra dan menarik tangannya ke tempat yang sepi.
"Ada apa Gus?" Putra keheranan.
Bagus menceritakan semuanya. Walaupun dia tahu Putra pasti menertawakannya. Benar saja, Putra sampai terbahak-bahak.
"Sstt! Jangan keras-keras!" Bagus mencegahnya.
"Jangan bilang siapa-siapa, ya?" pintanya lagi.
"Ya, ya...." Putra masih tertawa tertahan. "Makanya kalau jadi ketua kelas itu harus sabar!"
"Ya, ya...., maaf!" Bagus menekuk mukanya, tapi kemudian ikut tertawa.