Akibatnya baik dalam pemilihan legislatif, presiden dan juga pilkada di Indonesia, banyak kandidat yang bersaing di dalamnya, seperti berlomba secara membabi buta dalam mengadakan kampanye pencitraan yang mahal dan glamour.
Kebanyakan dari mereka akhirnya memandang pencitraan politik sebagai sesuatu yang paling diperlukan dan melupakan esensi amanah yang sesungguhnya sebagai seorang wakil yang telah dipercaya rakyatnya.
Mereka melupakan esensi yang sebenarnya bahwa sebagai wakil rakyat yang telah dpilih dan dipercaya rakyat, sudah sewajarnya dan seharusnya mengedepankan amanah dan kebutuhan rakyatlah yang menentukan citra baik dan buruk eksistensinya.
Yang lebih mengenaskan, banyak wakil rakyat yang telah terpilih, akhirnya berusaha mati-matian, menghalalkan segala cara untuk mencari dana dari kedudukannya, baik melalui cara-cara korupsi, money politik, manipulasi, dan penyelewengan lainnya, guna mengembalikan dana yang telah mereka keluarkan dalam kampanye pencitraan saat pemilihan.
Akibatnya sedikit wakil rakyat dan pejabat yang benar-benar memegang amanat rakyat dan menjalankan kewajibannya dengan benar. Wakil rakyat dan pejabat yang benar-benar menjalankan amanat rakyat menjelma sebagai sesuatu yang istimewa.
Lihat saja bagaimana khalayak telah memandang begitu istimewa terhadap apa yang telah dilakukan oleh Joko Widodo (Jokowi) dalam menjalankan tugasnya sebagai Walikota Solo. Pun apa yang telah dilakukan Dahlan Iskan yang sekarang menjabat Menteri BUMN. Hanya dengan naik kereta saja, Dahlan Iskan berhasil menjadi wacana istimewa sebagai pejabat yang luar biasa di era sekarang.
Padahal seharusnya memang begitulah wakil rakyat maupun pejabat yang benar. Sudah sewajarnya dan seharusnya seorang wakil rakyat dan pejabat publik itu merakyat. Sebenarnya barulah layak disebut istimewa jika mereka benar-benar menciptakan prestasi membanggakan. Bukan sekedar berperilaku wajar sebagaimana rakyat biasa yang memang sudah seharusnya dilakukan oleh wakil rakyat dan pejabat publik di mana saja.
Di tengah keterpurukan citra dan kelangkaan wakil rakyat serta pejabat publik yang merakyat inilah seandainya aku menjadi anggota DPD, maka yang pertama kali kulakukan adalah mengkampanyekan/mensosialisasikan bahwa sudah seharusnya pejabat publik atau wakil rakyat itu berlaku dan bertingkah merakyat. Saya ingin menjadikan hal yang biasa dan wajar ini kembali menjadi hal yang biasa saja. Bukan hal yang istimewa, tetapi memang merupakan kewajiban yang tak bisa diingkari.
Dengan melakukan hal-hal merakyat yang memang biasa tapi dipandang khalayak sebagai sesuatu yang istimewa inilah saya sebagai anggota DPD secara perlahan ingin mengembalikan fungsi-fungsi lembaga perwakilan rakyat ke jalurnya yang benar.
Dengan berlaku wajar /biasa dalam arti merakyat inilah, saya akan memberikan contoh pada semua anggota DPR, DPD, serta pejabat publik Indonesia bahwa cukup dengan berlaku biasa saja, tanpa perlu money politik, kampanye pencitraan yang mahal, dan hal-hal muluk lainnya, kita pasti dipilih rakyat kembali untuk mewakili mereka.
Apalagi menjadi anggota DPD merupakan posisi istimewa yang strategis dalam kampanye ini, karena untuk menjadi anggota DPD, kita memiliki kebebasan bergerak untuk benar-benar mewakili rakyat dan daerah yang memilih kita tanpa terikat oleh kewajiban dan kesepakatan politis dengan parpol.
Semoga dengan kampanye membudayakan hal biasa yang sekarang dianggap istimewa ini, Indonesia kembali menjadi bangsa yang membanggakan. Semoga.