Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Sepenggal Rindu untuk Ayah

21 Juni 2024   21:05 Diperbarui: 21 Juni 2024   21:51 83 6
Malam itu, angin berhembus lembut membawa aroma tanah basah setelah hujan. Di dalam kamar kecilku, aku duduk di dekat jendela, menatap bulan yang menggantung di langit. Ada rasa rindu yang menggumpal di dada, rindu yang tak pernah bisa kusampaikan. Ayah, sosok yang selalu kurindukan, telah lama pergi meninggalkan dunia ini. Namun, kenangan tentangnya tetap hidup dalam setiap langkahku.

Ayah adalah sosok yang tegas namun penuh kasih. Aku masih ingat betul bagaimana dia mengajariku banyak hal: dari mengikat tali sepatu hingga menghadapi dunia yang keras. Setiap petuahnya selalu mengandung kebijaksanaan yang kini kurasakan semakin mendalam seiring berjalannya waktu. Salah satu kenangan yang paling membekas adalah saat kami duduk bersama di beranda rumah, menikmati secangkir teh di sore hari.

"Ayah, mengapa bintang di langit begitu banyak?" tanyaku polos suatu sore.

Ayah tersenyum, mengacak rambutku. "Karena bintang-bintang itu seperti harapan dan mimpi kita, Nak. Mereka banyak dan bercahaya, mengingatkan kita bahwa selalu ada harapan di setiap kegelapan."

Kini, bertahun-tahun setelah kepergiannya, kata-kata ayah masih terngiang di telingaku. Setiap kali aku merasa putus asa atau kehilangan arah, aku akan mengingat senyum dan petuahnya. Namun, rasa rindu itu tak pernah hilang. Rindu yang mendalam dan terus-menerus, seolah ada bagian dari diriku yang hilang bersamanya.

Di meja belajarku, terdapat sebuah kotak kayu kecil yang usang. Kotak itu adalah peninggalan ayah yang paling berharga. Di dalamnya terdapat berbagai benda kenangan: jam saku antik, foto-foto lama, dan surat-surat yang pernah ditulis ayah untukku. Malam itu, aku memutuskan untuk membuka kotak itu lagi, mencari penghiburan dalam kenangan yang tertinggal.

Aku meraih salah satu surat yang tampak paling tua. Surat itu ditulis dengan tulisan tangan ayah yang rapi, namun penuh dengan goresan emosi. Aku mulai membacanya, dan seketika rasa rindu itu semakin menguat.

"Untuk anakku tercinta,

Jika kau membaca surat ini, mungkin aku sudah tidak ada lagi di sisimu. Namun, ketahuilah bahwa aku selalu mencintaimu dan bangga padamu. Hidup tidak selalu mudah, dan akan ada banyak tantangan yang harus kau hadapi. Tapi ingatlah, Nak, bahwa kau tidak pernah sendiri. Aku selalu ada dalam hatimu, membimbing dan menyemangatimu.

Tetaplah berani bermimpi dan jangan pernah menyerah. Ingatlah bahwa bintang-bintang di langit itu adalah cerminan harapanmu. Jaga dirimu baik-baik, dan jadilah pribadi yang kuat dan penuh kasih.

Dengan cinta yang tak terhingga,
Ayah"

Air mata mulai mengalir di pipiku saat membaca surat itu. Aku merasakan kehadiran ayah begitu dekat, seolah dia berada di sampingku, membisikkan kata-kata itu langsung ke telingaku. Rasa rindu itu seketika berubah menjadi kehangatan yang menenangkan. Meskipun ayah sudah tiada, cinta dan pesannya tetap hidup dalam hatiku.

Aku menutup surat itu dengan hati yang lebih ringan. Rindu yang kurasakan ternyata bukanlah beban, melainkan pengingat akan cinta yang abadi. Ayah mungkin sudah tidak ada di dunia ini, tapi dia selalu ada di dalam hatiku, menjadi bagian dari diriku yang tak tergantikan.

Malam itu, di bawah sinar bulan yang tenang, aku merasakan kedamaian yang sudah lama tak kurasakan. Rasa rindu itu kini menjadi semangat untuk terus menjalani hidup dengan penuh cinta dan keberanian, seperti yang selalu diinginkan ayah. Aku menatap bintang-bintang di langit, mengingat kembali kata-kata ayah tentang harapan dan mimpi. Setiap bintang yang bersinar seolah mengingatkan bahwa ayah selalu ada di sana, menemani langkahku dari kejauhan.

Dengan hati yang dipenuhi rasa cinta dan kenangan indah, aku berjanji pada diriku sendiri untuk menjaga pesan ayah tetap hidup. Aku akan terus bermimpi, berharap, dan menghadapi setiap tantangan dengan kepala tegak, seperti yang selalu dia ajarkan. Sepenggal rindu untuk ayah kini menjadi kekuatan baru bagiku, mengingatkan bahwa cinta sejati tak pernah benar-benar pergi, melainkan hidup selamanya dalam setiap langkah dan keputusan yang kita ambil.

Malam itu, di tengah keheningan yang damai, aku menyadari bahwa ayah tidak pernah benar-benar meninggalkanku. Dia selalu ada, di setiap bintang yang bersinar, di setiap hembusan angin yang lembut, dan terutama, di dalam hatiku yang selalu merindukannya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun