Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

LHKPN & UU Pencucian Uang. Vonis Hakim: “Patut Diduga”(?), Bukan “Terbukti” atau “Tidak Terbukti”

17 Desember 2014   18:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:07 260 0
Hati-hati. Bagi pejabat birokrat atawa penyelenggara negara yang memberikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang tak sesuai dengan asset/kekayaan yang dipunyai secara nyata, dapat diadili sebagai koruptor dan melakukan pencucian uang.

Di sinilah ngawurnya penerapan hukum di Indonesia. LHKPN yang merupakan ranah hukum administrasi dapat dibolak-balik (sesuai selera aparat hukum) menjadi unsur tipikor. Memprihatinkan memang, jika melihat perkembangan penanganan hukum tindak pidana korupsi, utamanya dikaitkan dengan implementasi pasal-pasal UU Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Betapa tidak. Dalam banyak putusan Pengadilan Tipikor, ternyata seorang pejabat yang mempunyai kekayaan tidak sesuai dengan LHKPN, menjadi salah satu unsur yang diputus oleh hakim pengadilan tipikor sebagai “patut diduga hartanya berasal dari korupsi”. Padahal, sejatinya, hakim (di seluruh dunia) tidak boleh memutus perkara dengan amar: “patut diduga”, yang boleh adalah “terbukti bersalah” atau “tidak terbukti bersalah”. Karena Pengadilan adalah tempat menguji alat bukti. Tapi, begitulah faktanya di Indonesia.

Salah satu penyebabnya adalah, diberlakukannya UU TPPU secara serampangan oleh KPK, yang, sayangnya, diamini saja oleh hakim tipikor. Tentu, artikel ini tidak bermaksud untuk tidak mendukung KPK. Tapi, justru sebaliknya. Kita perlu KPK. Hanya saja, sebagai negara hukum, KPK dalam menjalankan tugasnya haruslah sesuai koridor hukum dan bukan dengan pendekatan kekuasaan. Mengapa?

Tengok saja, ada seorang terdakwa kasus tipikor yang diputus bersalah, meskipun Jaksa Penuntut Umum dari KPK sejatinya tidak mampu membuktikan kekayaannya berasal dari tindak pidana korupsi. Namun, yang dilakukan Penuntut Umum dari KPK itu, bahwa yang merupakan mens rea (niat) pelaku itu dikaitkan dengan frase “yang diketahui atau patut diduganya” itu, adalah adanya perbandingan antara LHKPN dan penghasilan yang diterima terdakwa serta sejumlah kekayaan yang dimilikinya itu. Alhasil, hakim (kebanyakan takut pada KPK) memvonis terdakwa “patut diduga” melakukan korupsi dan pencucian uang.

Bayangkan, jika putusan semacam itu diikuti (menjadi yurisprudensi). Penjara penuh. Karena banyak birokrat, pejabat negara, yang kekayaannya dimiliki sekarang ternyata tidak sesuai LHKPN bisa dinyatakan “patut diduga hasil korupsi”. Hal ini pun dapat saja dimanfaatkan untuk menjatuhkan karir seseorang (unsur politis). Karena ketidaksukaan seseorang terhadap seorang pejabat, dapat melaporkan hal ini sebagai telah memenuhi unsur tindak pidana korupsi dan pencucian uang.

Padahal, profil seseorang yang mampu membeli aset-aset di luar penghasilannya tidak bisa serta merta disebut hasil dari tindak pidana korupsi, tapi harus dibuktikan. Bahwa profil terdakwa (LKHPN) yang tidak sesuai dengan penghasilannya bukan (belum tentu) merupakan hasil tindak pidana dan tidak dapat dijadikan sebagai tindak pidana asal (predicate crime) dari tindak pidana pencucian uang.

Semestinya, para aparat hukum memiliki kesepamaham – sesuai azas kepastian hukum -- bahwa unsur pokok atau prinsip terpenting dari tindak pidana pencucian uang adalah adanya tindak pidana asal (predicate crime) dari Pasal 2 ayat (1) UU No. 8 tahun 2010, dan tindak pidana asal itu harus dibuktikan dengan diuraikan perbuatannya dalam dakwaan.

Dalam tindak pidana pencucian uang dikenal prinsip universal: no money laundering without predicate offence; atau “tidak ada pencucian uang tanpa kejahatan asal”. Oleh karenanya, tindak pidana asal (predicate offence, predicate crime) sebagai salah satu unsur tindak pidana pencucian uang itu harus dibuktikan terlebih dahulu.

Cuma, anehnya, penerapan UU Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia menyimpang dari prinsip universal: no money laundering without predicate crime. Mengapa? Pertama, karena UU Tindak Pidana Pencucian Uang, baik UU No. 8 Tahun 2010 maupun sebelumnya UU No 15 Tahun 2002 jo UU No 25 Tahun 2003 telah salah dibuat karena mengabaikan prinsip universal tindak pidana pencucian uang.

Kedua, karena aparat penegak hukum sengaja memain-mainkan perkara tindak pidana pencucian uang (abuse of power, penyalahgunaan kekuasaan), baik demi pencitraan maupun kepentingan tertentu.

Ketiga, karena adanya desakan asing untuk membuat UU TPPU sedemikian rupa sehingga merugikan orang Indonesia sendiri tetapi menguntungkan orang asing. Tak percaya? Tanya saja kepada anggota DPR yang membuat UU TPPU, bagaimana bisa ada banyak orang asing “berseliweran” (bisa dengan dalih konsultasi atau staff Ahli) yang selalu ikut campur pasal demi pasal dalam menggodok UU TPPU.

Penggunaan UU TPPU yang tidak sesuai dengan azas dan prinsip-prinsip universal yang melandasinya, nantinya dapat digunakan semena-mena dan sesuai selera aparat penegak hukum. Hakim yang semula diharapkan dapat “mengoreksi” atau menjaga maupun meluruskan penerapan yang salah, ternyata tak mampu berbuat banyak. Padahal, bukan tidak mungkin hal ini menjadi preseden. Sehingga, hakim sendiri nantinya dapat dijerat UU TPPU lantaran laporan penghasilannya tidak sesuai dengan asset dan kekayaan nyata yang dimilikinya, cukup berdasarkan putusan hakim sebelumnya yang memvonis: hartanya “Patut Diduga Hasil Korupsi” tanpa pernah dibuktikan dipersidangan. www.wartapena.com

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun