Kampung yang sejuk hijau sangat cocok untuk melepas penat dari kesibukan kantor. Daerah pegunungan berbukit yang telah menyediakan punuknya untuk kehidupan petani dan keluarganya. Ya, aku adalah keluarga petani itu. Berhenti di bukit tertinggi setelah kusetandarkan kuda Jepang, ku buka helm dan mataku. "Nah, itu kampung kelahiranku indah kan? Yang di sebelah sana bukan kolam tapi Situ (danau alam) Sanghiang yang terkenal." Istriku hanya mengiyakan dengan lirikan matanya. ***
Acara sepitan adalah nama lain untuk acara potong ujung kulit kelamin anak laki-laki atau sunatan. Kegiatan ini dilakukan pada pagi hari, dalam suasana dingin hawa pegunungan. "Pada jaman dulu, sebelum di sunat anak harus mandi dan berendam dulu di dingin air pagi agar tidak terasa sakit." itu kata bapakku. Dan sakitnya karena disunat bisa berminggu-minggu, lama sembuhnya. Sekarang tidak lagi, karena dokter sudah menggunakan suntikan penghilang rasa sakit dan antibiotik. Dan karena dunia telah berubah, tidak sedikit melakukan sunatan di rumah sakit atau di puskesmas kecamatan untuk kepraktisan. Hari ini di sunat hari itu juga bisa langsung main-main dengan temannya.
Ada serangkaian acara yang dilakukan sebelum acara sunatan yaitu marhabaan dan ngagesrek (menggosokan uang logam ke gigi anak sunat). Akulturasi dan pencampuran kegiatan budaya sangat kental di inti prosesi ini. Ada kegiatan budaya Islam melalui proses marhabaan, pembacaan ayat suci Al-Qur'an dan puji-pujian. Ada kegiatan ritual "kepercayaan" melalui doa-doa untuk leluhur dengan sajian pedupaan dan kemenyan. Ada yang lebih menarik pada proses ngagesrek, perlu uang ringgit sebagai syarat terlaksanya kegiatan ini. Tidak ada uang ringgit, tidak syah prosesinya.
Ritual ngagesrek dilakukan di akhir acara. Seorang lebe komat-kamit mengucapkan doa-doa di atas kepala anak sunat sembari tangan kanannya masuk ke baskom kecil menggenggam uang ringgit. Tangan itu, diangkat dan menempelkan sesaat uang ringgit berurutan di empat titik. Satu titik di pusar (perut) kemudian di jidat (kepala) dan di dada (jantung/hati) dan terakhir digesekan ke gigi anak sunat. Ada maksud dan tujuan yang tak terucap dan tak terdengar namun terus dilakukan sebagai bentuk kesetiaan terhadap adat istiadat leluhur atau karuhun. Itulah salah satu kearifan budaya di desaku, kesetiaan.
Istilah uang ringgit sebagai syarat ngagesrek telah terdengar 30 tahunan yang lalu. Dan uang itulah satu-satunya yang digunakan dan wajib ada. Keramat kedengarannya, sesuatu yang telah digunakan oleh ratusan atau ribuan anak-anak di desaku selama puluhan tahun. Anda tahu uang ringgit itu? Ternyata uang ringgit itu adalah uang logam besar dengan nominal 2,5 gulden. Mata uang negara Belanda yang berangka tahun 1872...! Dianggap sebagai simbol kesetiaan pada negara kolonial atau dominasi penjajahan yang masih melekat karena lama dijajah, walahu alam. Yang jelas prosesi sunat atau sepitan di desaku perlu 2,5 gulden!
Bandung, 17 Februari 2013