Begitu mudah kita melihat orang yang dengan bijaksana memberikan saran dan kritik pada orang lain. Namun tanpa dia sadari, di dalam dirinya pun sedang terjadi masalah yang jauh lebih rumit. Menertawakan kebodohan orang lain kadang terasa lebih mudah. Berbeda jika kita diminta untuk menertawakan kebodohan yang ada pada diri kita sendiri. Memberikan nasihat pada orang lain, begitu enteng, tapi untuk diri sendiri terasa sangat sukar. Kondisi seperti ini tentu sangat pas dengan peribahasa semut dan gajah. Gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di sebarang lautan tampak.
Di Kanada pada tahun 2011, seorang peneliti muda bernama Igor Grossman baru saja membuktikan peribahasa semut dan gajah itu. Secara psikologis, kebijaksanaan kita terbukti jauh lebih tinggi ketika kita diminta merespon masalah orang lain. Sedangkan saat menghadapi masalah pribadi, kita cenderung kalah dengan emosi. Cara bernalar dan pengambilan keputusan sering kali terganggu dengan ketidakmampuan kita mengendalikan kondisi dalam diri. Hingga pada akhirnya, Igor menyarankan kita agar melakukan distance. Istilah distance bermakna pengambilan jarak dengan diri kita sendiri.
Memposisikan diri seolah masalah yang kita hadapi adalah masalah orang lain.
Mungkin kita akan kesulitan untuk melakukan saran Igor. Sebab, kita terbiasa dengan sibuk mengurusi masalah orang lain dan melupakan masalah kita sendiri. Hasilnya, kita berubah menjadi manusia yang begitu ahli dalam memberikan saran atau kritik. Kita berlomba menjadi manusia yang memiliki banyak hal yang siap dibagi kapan dan di mana saja. Meski belum tentu, semua yang kita miliki dapat dipertanggungjawabkan dengan baik.
Di lingkungan kita pun, ada banyak ceramah yang menuntut untuk didengarkan. Di sekolah atau di kampus, guru dan dosen terkadang begitu senang berceramah. Mereka menjadi manusia serba tahu yang terkadang geram jikalau isi kepalanya.diragukan atau dibantah. Di rumah atau di lingkungan keluarga, ada banyak nasihat atau ceramah yang tentu saja terkadang menjadi beban. Sudah begitu banyak orang yang pandai memberi nasihat, berbicara dengan sok bijak. Namun dalam kehidupan sehari - hari, mereka gagal melaksanakan apa yang mereka katakan.
Menyadari keterbatasan adalah kemampuan yang istimewa saat ini. Berlaku jujur pada diri sendiri, dan berani menemukan makna dalam masalah yang kita hadapi menjadi serangkain modal kehidupan. Selama kita merasa kesulitan untuk menjalankan apa yang kita ucapkan, sebaiknya kita berhenti banyak bicara, banyak berceramah, banyak memberi nasihat. Namun, bukan berarti kita diam. Sudah saatnya perilaku yang berbicara tanpa harus membicarakan perilaku sebaiknya seperti apa. Masalah ini pula yang menjadi akar masalah di Indonesia.
Misalnya saja, pemerintah yang dulu menjadi oposisi di periode sebelumnya memiliki berbagai kritik atas kebijakan yang ada. Namun, ketika tiba masanya, tak ada jaminan jika dia mampu lebih baik dari apa yang pernah dia kritik. Bahkan, lebih parah lagi ketika apa yang dulu dia kritik kini menjadi jalan baru yang mereka tempuh dan nikmati. Mereka sungguh tak punya malu. Jika kondisi seperti ini terus terjadi atau berulang, tak ada salahnya kita belajar dari pesan P. G. Wodehouse. Dia adalah seorang pelawak yang juga pernah menulis novel, drama, lirik lagu, hingga puisi. P. G. Wodehouse pernah berpesan bahwa “saya menasihati orang - orang agar tidak pernah memberi nasihat”.
Sepertinya, P. G. Wodehouse sadar jikalau masa ketika kita saling berlomba menjadi orang yang bijaksana akan menjadi petaka. Sekiranya, kita mulai belajar mendengar diri sendiri, menegur diri sendiri. Mengingat bahwa kita dipenuhi dengan keterbatasan dan kekurangan. Maka, sebaik - baik pengingat adalah yang berasal dari dalam diri sendiri. Dan tulisan ini adalah cermin bagi penulisnya. Pun jika anda ingin menjadikannya cermin juga, silakan.
*Tulisan ini adalah bagian dari skripsi yang saya selesaikan kemarin. Terima kasih untuk doa dan dukungannya selama ini. Dimuat di Literasi Tempo Makassar, 6 April 2015.