Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Jalan Revolusi Ala Filsuf Diogenes dan Jokowi

28 April 2014   10:26 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:07 225 1


Oleh: Marlin Bato,
Jakarta, 28/04/2014


Langgam Revolusi Ala Filsuf Diogenes Laertius

Adalah seorang filsuf dari Sinope bernama Diogenes Laertius, hidup pada abad ke-4 SM, yaitu sekitar tahun 412-323 SM di masa pemerintahan Alexander Agung. Ia adalah seorang filsuf beraliran mazhab sinis yang merupakan suatu aliran yang berakar dari ajaran Socrates. Aliran ini mengajarkan tentang hakikat kebaikan. Karena itu Diogenes berpendapat bahwa kebaikan hanya dimiliki oleh manusia yang merasa puas yang menanggalkan kesenangan duniawi. Kendati demikian karakter Socrates sangat berbeda jauh dengan Diogenes yang pemarah. Diogenes menyebut dirinya antithenes sebagai, "Terompet yang berbunyi bagi dirinya sendiri". Karenanya, Ia memilih hidup sederhana untuk menunjukkan konsistensinya pada apa yang ia ajarkan. Diogenes mengajarkan tentang keadaan manusia yang alamiah, juga tentang inti pengendalian diri. Ia ingin revolusi karakter dan mental masyarakat yang cenderung memuja hal-hal yang salah, sehingga tidak berani menentang kediktatoran. Diogenes sangat marah pada sikap hidup yang demikian. Karena sikap pemarah dan konsistensinya inilah, Plato menjulukinya sebagai "Socrates yang pemarah".

Alkisah, diceritakan Diogenes pernah membawa pelita yang menyala di tengah-tengah pasar pada siang hari untuk mencari adakah manusia yang jujur. Hal itu dilakukannya untuk memberi kritik terhadap masyarakat yang tidak lagi hidup secara alamiah. Dengan demikian, apa yang dimaksudkannya dengan keadaan manusia yang alamiah adalah bagaimana manusia hidup dengan standar minimal untuk hidup.

Pada suatu ketika Alexander Agung menemui Diogenes. Pada zamannya, Diogenes dikenal sebagai filsuf yang gemar mencomooh. Tata krama dan tata hidup masyarakat yang telah dianggap baku ia goncang dengan cemooh cemoohan. Ia hidup dalam peti jenasah, tak pernah mandi, berpakaian compang camping, makan dari tempat sampah. Ia dikenal hidup seperti anjing. Maka orang orang menjulukinya “sinis”. Kata “sinis” berasal dari bahasa Yunani: kynikos. Artinya: seperti seekor anjing.

Alexander Agung, sang kaisar yang hampir menyatukan seluruh dunia itu memang bersahabat dengan Diogenes. Dia mendatangi si filsuf di lubangnya yang kumuh. Di depan pintu masuk Alexander bertanya: “Ada yang bisa aku bantu?” Diogenes menjawab: “Ya, ada. Tolong bung kaisar menyingkirlah agar tak menghalangi cahaya masuk.”

Bagaimana mungkin seorang Diogenes mengusir begitu saja kaisar yang ditakuti dan dikagumi dunia itu? Hanya filsuf yang sinis semacam Diogeneslah yang bisa melakukannya. Sekarang ini orang Indonesia gemar menjauhi pandangan sinisme ala Diogenes. Orang Indonesia lebih suka berbasa basi, mencari pembenaran diri, juga kerap memuja sosok-sosok kontroversional. Akibatnya, daya kritis menjadi tumbul. Akal waras pun dipuja (artinya memberhalakan sesuatu yang mapan dan menjadi konvensi, dan suara umum). Orang Indonesia malu menjadi gila (artinya berbeda dengan pendapat umum). Hal ini sangat kontras dengan ritme politik tanah air akhir-akhir ini. Karenanya, negeri ini butuh proses revolusi yang panjang yaitu revolusi mental.

************* Riak Dinamika Revolusi Indonesia *************

Kekinian, revolusi sejatinya tidak selalu berhubungan dengan peristiwa berdarah, akan tetapi ada pun revolusi yang bersifat subjektif perubahan dini di berbagai aspek hidup dengan maksud dan tujuan tertentu misalnya, revolusi moral [mental], revolusi hijau [gerakan penghijauan] dan lain sebagainya yang berkaitan dengan program-program pemerintah.

Tahun 1948 lalu, tiga tahun setelah medeka, rakyat Indonesia di Jakarta dan beberapa daerah bangkit berevolusi melawan penjajah. Kala itu revolusi Indonesia meletus bukan saja karena kecerdasan seorang pemimpin seperti Tan Malaka yang menggerakan massa aksinya, tetapi juga memang sudah diharuskan meletus karena keadaan nasional dan internasional pada waktu itu telah menentukan tingkatan pertentangan dalam masyarakat kita antara kelas menindas dan kelas tertindas, antara penjajah dan terjajah yang telah memuncak dan harus menimbulkan PERLAWANAN dengan SENJATA!!

Kaum borjuis pada waktu itu kerap dihantui kebimbangan karena mereka tidak sanggup menanggung konsekuensinya. Maka mereka pun mulai menggalang kekuatan membantu upaya kontra revolusi agar menenangkan rakyat yang sedang bergelora agar memadamkan revolusinya. Oleh sebab itu mereka mencetuskan semboyan yang berbunyi; "Hentikanlah Pertempuran".

Ada pun dinamika revolusi yang kita lihat belakangan ini diblantika politik hanyalah merupakan sebuah mukadimah dari revolusi Indonesia. Proses yang sama pun pasti terjadi di belahan dunia lain, meskipun dengan ritme yang berbeda, seiring dengan internasionalisasi dialektika politik. Dalam dialektika politik, tentunya tidak terelakan proses pasang surut silih berganti baik dengan kekalahan tragis maupun kemenangan agungnya, dapat juga berupa kekecewaan maupun kesuksesan pada sisi yang lain. Masyarakat Indonesia harus mempersiapkan diri untuk semua itu dikemudian hari. Satu hal yang pasti adalah telah lahir pelopor revolusi di negeri ini yaitu Jokowi. Ia akan memberikan akselerasi yang lebih besar terhadap perjuangan perubahan dengan visi revolusi mental, sebuah visi yang baru dicetuskan beberapa hari kemarin.

Visi yang hebat ini lahir dari tukang mebel untuk melakukan perubahan mental. Apakah itu revolusi mental?? Revolusi mental merupakan pola sikap dan laku masyarakat yang harus diubah secepat dini. Namun revolusi mental tidak akan pernah bertepi, sebab kehidupan sosial masyarakat Indonesia senantiasa menggelinding deras seiring perkembangan perilaku. Masyarakat harus tahu masa depan Indonesia ini kelak agar tidak terstagnasi di simpang jalan. Gerakan masing-masing relawan yang menggemparkan akhir-akhir turut memberi pengaruh sebagai suatu awalan karena perkembangan revolusi mental yang akan terus berproses tanpa batas waktu. Tiada pula ruang dalam suatu negara yang sanggup menampik hukum obyektif tersebut, Revolusi mental adalah manifestasi dari krisis sosial dalam skala global dan menjadi refleksi bangsa mengubah menta-mental buruk.

Baik Diogenes, maupun Jokowi adalah sosok yang berbeda. Hidup di zaman yang berbeda dengan segala laju modernitasnya. Namun keduanya mempunyai harapan yang sama, juga impian yang sama yaitu mengubah secepat dini pola pikir masyarakat yang hedonis. Masyarakat Indonesia, kekinian selalu akan belajar dari pengalaman bahwa permasalahan utama yang dihadapi bangsa saat ini adalah ketimpangan kelas sosial sehingga selalu dibayangi rasa trauma. Sifat traumatik ini memang sudah melekat melewati beberapa fase yaitu fase penjajahan kolonial, fase revolusi ala Bung Karno, juga fase revolusi G 30 S/ PKI ala Soeharto. Fase-fase ini turut mempengaruhi pola pikir masyarakat Indonesia sehingga terkooptasi dalam sikap-sikap egocentis yang memunculkan ketimpangan sosial tersebut.

************
Langgam Revolusi Ala Jokowi ************

Pertama kali mendengar visi Jokowi tersebut, rasanya agak aneh dengan visi tersebut. Pasalnya dari semua capres yang ada cenderung mempropagandakan visi yang tidak asing di dengar, bahkan cenderung bersifat nomenklatur, namun pula lemah dalam pengejawantahan. Nyatanya, hingga saat ini Indonesia masih saja mengalami degradasi di segala aspek kehidupan. Ketika memahami secara mendalam visi 'revolusi mental', ala Jokowi ini, penulis mulai meresapi  bahwa revolusi mental yang dimaksud Jokowi tersebut lebih mengedepankan "character building" seperti gagasan Bung Karno. Ia mengibaratkan revolusi mental layaknya piranti lunak yang menjadi otak [brain power] untuk menggerakan piranti keras lainnya. Ia tidak ingin masyarakat Indonesia terjebak [trapped] pada visi pembangunan fisik dan ekonomi semata, namun pola pikir masyarakat pulalah yang harus diubah untuk menggambarkan perubahan fundamental karakter positif masyarakat agar terinclude menjadi satu pemahaman skala nasional.

Jokowi hadir menjadi pionir bersamaan dengan animo kuat masyarakat yang ingin mempresidenkan dirinya. Karenanya, ia membawah visi besar dengan segerbong gagasan-gagasan hebat. Namun tantangan-tantangan telah menantinya dipersimpangan jika tidak ditopang dengan dukungan yang kuat dari 250 juta masyarakat Indonesia. Mindset masyarakat harus dapat ia ubah secepat dini agar tidak sekedar menjadi follower, juga tidak menjadi arena dominasi kaum borjuis. Jokowi ingin berkiblat pada Jepang yang telah melakukan 'restorasi meiji', yang kini terbukti mengalami kemajuan pesat. Ia ingin merepresentasikan gagasan-gagasan Bung Karno yang belum usai. Kiblatnya pada sosok Bung Karno begitu kuat, kendatipun karakternya berbeda, namun jiwa bung Karno tetap ada pada diri Jokowi.

Mengamati sosok Jokowi ini, penulis teringat pada orang-orang besar yang lahir dari orang-orang termarjinal, yang telah mengubah sejarah-sejarah bangsa. Sepanjang peradaban manusa, setiap zaman selalu melahirkan orang-orang besar yang akan menentukan jalannya sejarah di negeri atau tempat ia dilahirkan. Peristiwa-peristiwa besar seperti revolusi, peperangan, penemuan baru dibidang ilmu pengetahuan, atau penemuan benua baru, tidak lepas dari peranan orang-orang besar yang mendorong atau menggerakan terjadinya peristiwa itu. Nama-nama seperti Socrates, Columbus, Albert Einstein, Abraham Lincoln dibelahan dunia barat, atau Mahatma Gandhi, Kemal Pasha, Sun Yat Sen, Soekarno di dunia timur, tidak dapat dipisahkan dari jalannya sejarah. Begitu pula hal ini tersirat dalam sosok Jokowi yang gemar menjamah kaum papa, membantu yang miskin dan mendorong perbaikan hidup bagi orang-orang lemah. Ia ingin menyerupai orang-orang besar yang telah mengubah jalannya sejarah dengan caranya sendiri. Oleh sebab itu, ia harus di dukung oleh pendamping [cawapres] yang tepat untuk mensukseskan visi besar tersebut. Tentu juga atas dukungan 250 juta rakyat Indonesia demi menempu; "Jalan Revolusi" yang dimaknai sebagai Jokowi - Riamizard, ataukah Jokowi - Jusuf Kala..??

**************** Terimakasih - Sukses ****************

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun