Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Port Nangor (Pangkalan Damri Jatinagor)

22 Maret 2012   13:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:37 74 0
Di suatu sore di persimpangan jalan pelabuhan Port Nangor. Aku berjalan sendiri memegang sebotol anggur yang baru saja kubeli dari sebuah kedai di persimpangan jalan. Kepalaku tertunduk, berjalan begitu lesu-aku tak memperhatikan keadaan sekitarku sedikitpun, hatiku kosong, hancur, kepalaku penat, doa yang ku tujukan kepada langit di sebuah gereja diatas bukit tak terjawab.

aku melihat seorang putri :

berjalan begitu anggunnya dibawah terik matahari tengah hari

yang semakin indah dipandang saat ia melangkah dibawah bias cahaya kanopi biru

yang tidak sibuk mencari secarik tissue dari sakunya untuk menghapus peluh di wajahnya

yang menetapkan atapnya jauh dari tempat yang bernama kampus pembebasan

yang tetap berteriak melatih barisan-prajurit malam inisiasi meski hujan deras membasahi sekujur tubuhnya.

Aku baru saja dari kediamannya sebelumnya aku memang sudah pergi ke gereja diatas bukit berlutut dan memohon sebuah kekuatan dan keberanian untuk bertemu sang putri. Aku kemudian melangkahkan kakiku ke istana sang putri. Setibanya di depan kamarnya tak seorangpun yang membuka pintu. Istananya gelap gulita, tirainya tertutup rapat. Dikacanya terpampang kertas yang bertuliskan untuk jangan memakan bubuk tulang harimau serta gambar seorang wanita dengan tatapan kosong dengan sudut ambil gambar dari samping, aku tertawa rupanya putri lebih sayang terhadap harimau yang buas.

Seorang wanita dari atas balkon istana memperhatikanku yang sedang berwajah kesal bercampur gugup, raut wajahnya terlihat penasaran terhadap ku, sepertinya dia ingin tahu apa urusanku datang ke tempat sang putri. Masa bodo amat, ini cintaku bukan cintanya susah senang aku yang tanggung bukan dia.Kemudian dari sampingku datang seorang wanita. Mukanya berparas asia, sepertinya ia juga tinggal bersama sang puteri mungkin dia pendatang dari daratan cina yang biasanya tinggal selama empat tahun, kemudian kembali lagi ke tempat asalnya, aku bertanya keberadaan sang puteri dia menjawab sang puteri tidak ada. Aku menitipkan pesan kepadanya bahwa aku datang untuk menjumpai sang putri.

Aku berjalan begitu pelan meninggalkan kediaman sang puteri sambil tertunduk lesu. Padahal aku hanya ingin melihat wajahnya yang begitu surgawi, tidak untuk berbicara lama-lama. Aku kacau, tidak fokus, mulai kepalaku berbicara, sang putri sepertinya sudah menetapkan sang pangerannya, aku bukan kelasnya aku hanya tukang jagal, pria berwajah murahan, tidak aristokrat, tidak monumental.

Aku ingin berteriak, tetapi tidak mungkin, bisa-bisa orang pikir aku gila, aku berjalan menuju persimpangan pelabuhan, matahari hampir tenggelam memantulkan cahaya kuning kemerah-merahan, sepi, tenang, dan, sunyi. Aku melihat sebuah kedai anggur. Anggur murahan yang biasa diminum oleh anak buah kapal selepas berlayar dari lautan lepas. Pikirku solusi ada di kedai itu. Aku beli, harganya tiga belas kepeng. Penjualnya hitam, gemuk, dan buncit, tidak ada keramahan di wajahnya, kelihatan bahwa ia orang pelabuhan yang dibesarkan dengan kehidupan yang keras, dalam hatiku “kau bisa dibesarkan oleh kehidupan yang keras aku hidup di dunia yang perlu perjuangan cinta yang begitu keras, dan aku selalu kalah . lebih keras daripada memperjuangkan sesuap nasi. Buru-buru aku berikan uang tiga belas kepeng kepadanya dan kemudian pergi meninggalkan kedai itu.

Daun-daun berguguran, Angin bertiup agak kencang menghembuskan aroma laut yang bau amisnya begitu menyengat Aku kembali berjalan menuju persimpangan pelabuhan dan kebetulan ada kapal yang baru bersandar namun tak kuperhatikan kapal itu. Aku berjalan meninggalkan persimpangan untuk menikmati anggur itu sendirian di dekat taman. Banyak orang orang berlalu lalang, semuanya sibuk. Kulihat didepanku sekelompok anak-anak saling mengejar satu sama lain begitu lepasnya mereka tertawa, bermain di bawah matahari sore yang cahaya peraknya mengintip malu-malu dari rerimbunan daun pohon asam di tepi laut. Semua orang terlihat senang bahkan gembel pun kulihat tertawa lepas.

Kemudian aku berjalan ke sebuah kursi taman dan duduk disitu dan membuka anggur seharga tiga belas kepeng dan aku membayangkan kalau aku sedang meminum anggur Bordeaux tahun 1930-an yang biasa di minum oleh para nahkoda kapal, tapi tidak ada temanku untuk bersulang. Mau tidak mau aku bersulang dengan tanah perantauanku, kutumpahkan sedikit anggur di tanah pelabuhan sambil berkata “untuk Ibu Pertiwi”. Aku tidak sendirian, tanah yang kupijak ikut juga merasakan manisnya anggur khas pelabuhan. Aku kembali berjalan meninggalkan tempat duduku berjalan kesebuah taman yang banyak lampu-lampunya, anggur ditangan kanan, dan rokok ditangan kiri. Tiba tiba aku melihat putri berada di depan mataku sedang berjalan dengan kepala perpustakaan kerajaan. Aku terkejut, Ah!!! Mimpi apa aku semalam kok bisa bertemu sang puteri justru di pelabuhan. Anggun sekali sang puteri sore itu lebih cantik dari yang sebelumnya aku lihat, senyumnya tulus, surgawi, damai, betul-betul bahwa dia adalah seorang Putri.

“Samuel darimana?”sapanya ramah dan lembut. Aku tak berani bilang kalau aku baru saja dari tempatnya. Aku katakan bahwa aku baru saja membeli minuman dari simpang jalan untuk persiapan nanti malam.

“Putri darimana”?kataku terbata-bata, karena begitu gugupnya aku melihatnya apalagi tangan kananku memegang sebotol anggur.Baru dari kota, katanya.

Kemudian putri berpamitan kepadaku bahwa ia harus cepat-cepat pulang karena cuaca diluar begitu dingin dan angin pun begitu kencang. Singkat sekali pertemuan sore itu.

Aku gembira bukan main jarang sekali bisa melihat putri dan aku yakin itu sebuah anugerah. Aku pulang ke barak dan aku lebih suka menyebutnya sel atau tahanan karena begitu sempitnya ruang kamarku. Aku rebahkan tubuhku dalam keadaan setengah mabuk. Dan akhirnya aku bisa tertawa, Sambil memikirkan bagaimana cara mendekati sang putri. Namun aku begitu merasa pesimis aku hanyalah seorang perantau serta seniman kacangan di desa ini urusan apa aku mendekati sang puteri. Aku bukanlah seorang yang mapan layaknya saudagar-saudagar yang biasa berlabuh di pelabuhan dengan segudang pengalaman dan pengetahuan tentang dunia yang ada di bawah pijakanku.

Aku tak tahan lagi aku ingin sekali mengenal sang putri, di otak ku hanyalah sang putri, pokoknya sang putri. Kemudian aku ikat sebuah pesan kecil pada kaki merpati pos ku, aku terbangkan pesan itu kepada putri. Beberapa saat kemudian merpati ku datang dan hinggap di jendela kamarku. Ku lihat kaki kanannya, pesanku sudah tidak ada yang tersisa hanyalah pita pengikatnya dan puteri tidak membalas pesanku tapi pastilah dia membacanya. Akhirnya kuterbangkan pesan terakhir kepada sang puteri begini bunyinya :

Selamat malam putri, Kenapa kau tidak pernah menjawab pesanku Melihat tulisan dan kata-katamu saja aku sudah senang bukan main Putri apakah kau takut kepadaku seorang seniman Yang biasanya tidak mempunyai hati Yang biasanya tidaklah tidak romantis. Putri janganlah kiranya engkau takut Sungguh aku ini bukan orang jahat.

Merpati posku kembali. Kertas yang berisi pesan itu masih terikat rapih di kakinya. sang putri tidak membacanya. Aku tahu itu adalah haknya aku tidak berhak menuntutnya. Aku tahu kalau aku ini adalah seorang yang egois dan pamrih, mengharap mencintai sang putri dan berharap balik dicintai. Aku memang tidak seromantis para pujangga serta para penyair, kata-kata dalam suratku saja sama sekali tidak anggun, murahan.

Apakah putri tidak menaruh simpati kepada seniman seperti saya yang hanya bisa bermain piano dan memetik gitar. Apakah sang putri hanya kagum dengan kaum-kaum bangsawan yang adalah pemikir-pemikir muda dengan segudang kata-kata manis dan romantis namun hanya di bibir tidak dari dalam hati.

Hatiku sudah sekarat untuk sang putri sekarang tinggal menunggu kematiannya dan aku akan memakamkan hati ku di tempat peristirahatan terakhir diatas bukit yang tenang, sunyi, dan sepi, dengan sebuah batu nisan berwarna hitam bermotif. Aku sendiri yang akan menghadiri pemakamannya dan aku akan bersulang segelas anggur pelabuhan yang manisnya murni sambil melihat kearah lembah yang penuh dengan kerlipan cahaya lampu-lampu kota. Dan disitulah hatiku akan beristirahat dengan tenang dan damai sambil menunggu datangnya sang putri datang mencium batu nisanku untuk membangunkan hatiku dari peristirahatannya atau sekedar menabur bunga diatasnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun