Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Naik Kereta Api Ekonomi, Tak Selamanya Bangsa Indonesia Brengsek

1 Januari 2014   07:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:17 1608 2

Pesan singkat itu datang mendadak. “Adik menikah Minggu, keluarga Bandung diharapkan kehadirannya di Solo”. Keluarga Bandung, begitu adik ipar dan Ibu mertua menyebut keluarga kami; saya,istri, dan ketiga anak kami yang sejak dua tahun terakhir menetap di Bandung, Jawa Barat.

Lantas mata melirik kalender di dinding. Deretan angka masih cukup jauh dari tanggal 25, tanggal yang selalu dinanti. Maklum, di tanggal itulah pabrik tempat saya mencari nafkah menyetor upah bulanan ke rekening saya. Saya memang tidak mau menyebut tanggal tua. Bukankah tanggal tidak seperti kita, manusia yang perlahan tapi pasti beranjak menjadi tua jika tidak segera mati?

Kembali teringat undangan, otak pun diputar dan pilihan jatuh pada Kereta Api (KA) ekonomi. Bukan semata alasan kantong cekak sehingga pilihan moda transportasi satu ini menyeruak dalam pikiran. Namun, sudah sejak lama memendam keinginan naik kuda besi ini gara-gara komentar beberapa teman: “kereta api sekarang berubah lebih baik. Penumpang benar-benar jadi raja, sangat dihargai hak-haknya”. Begitu kira-kira ucapan dengan gaya hiperbolis teman-teman menggambarkan kondisi kereta api saat ini.

Tentu yang dimaksud bukan kereta api commutter Jakarta–Depok-Bogor yang kita semua maklumi bagaimana keadaannya setiap hari. Ini tentang kereta api jarak jauh seperti KA Kahuripan Bandung- Kediri yang saya tumpangi.

Mulai dari pembelian tiket yang bisa dilakukan di stasiun Rancaekek, Bandung, sebuah stasiun kecil yang setiap hari saya lewat saat mengantar anak sekolah. Mudah, murah, dan cepat. Begitu kesan saya saat memesan lima lembar tiket kereta api ekonomi jurusan Kediri. Salah satu syarat adalah menunjukkan fotokopi KTP saya dan istri sebagai dokumen resmi yang bisa membuktikan bahwa yang akan berangkat memang saya dan istri. Kalau anak-anak mah tidak perlu menunjukkan KTP, toh mereka memang belum wajib punya KTP. Syarat lainnya, tentu saja menyerahkan uang sesuai jumlah tiket yang dibeli.

Saat hari keberangkatan saya merasakan suasana sangat berbeda. Dibanding naik pesawat terbang, naik kereta api sekarang jauh lebih ketat lagi. Jika di konter boarding bandara penumpang pesawat kadang diminta menunjukkan KTP alakadarnya, di stasiun Kereta Api nama yg tertera di tiket dicocokkan saksama dengan KTP penumpang pemegang tiket. Hanya penumpang dengan tiket di tangan dengan identitas sesuai KTP yang bisa melewati petugas di pintu peron stasiun. Tanpa tiket jangan harap bisa melewati peron, apalagi naik ke dalam gerbong Kereta Api.

Di atas gerbong keadaan sangat jauh berbeda dengan kondisi KA pada 4 atau 5 tahun lalu (saya tidak tahu persisnya sejak kapan, mau tanya mbah google juga enggan). Tidak ada lagi toilet kotor dan bau. Tidak ada penumpang berdiri karena tidak kebagian tempat duduk. Apalagi penumpang tanpa tiket. Penumpang jenis ini, masuk peron saja diharamkan, apalagi sampai menyelinap naik ke gerbong.

Hal lain yang berbeda di gerbong KA ekonomi sekarang ini adalah adanya pendingin ruangan (AC) yang cukup di setiap gerbong. Sehingga sepanas apa pun cuaca selama perjalanan penumpang tidak akan merasakan kegerahan. Berbeda dengan dulu. Gerbong nyaman ber-AC hanya bisa dinikmati penumpang KA Eksekutif. Dulu gerbong kelas bisnis saja tidak dilengkapi AC, apalagi kelas ekonomi. Pedagang asongan yang selama puluhan tahun  seakan menjadi pemilik sah gerbong KA kali ini lenyap entah ke mana.

“Mereka sekarang dilarang naik ke atas gerbong penumpang,” ujar salah seorang petugas saat ditanya ihwal sepinya gerbong dari teriakan pedagang asongan yang biasa menawarkan barang. Sepanjang perjalanan Bandung-Solo yang kami nikmati hanya kenyamanan setara kelas eksekutif dulu (duh, berlebihan banget ya? Biarin aja, suka-suka saya, namanya juga lagi merasa senang..he..he..).

Pemandangan mencengangkan lainnya adalah sikap penumpang sepanjang perjalanan. Sejak kereta bergerak penumpang tampak begitu menyadari mereka ikut menentukan kenyamanan perjalanan. Alhasil, kantong plastik yang disediakan di setiap tempat duduk benar-benar dimanfaatkan untuk menyimpan sementara sampah sebelum diambil petugas KA di setiap jadwal tertentu. Ini hal yang luar biasa konsumen dan penyedia jasa sama-sama sadar dan berlomba menampilkan sikap terpuji. Penumpang kelas ekonomi yang dulu acap diidentikkan dengan hal-hal negatif seakan ikut ketularan aroma positif PT KA. Mereka kini begitu santun dan peduli terhadap kebersihan dan kenyamanan gerbong KA.

Pengalaman naik kereta api ini menimbulkan harapan baru di dalam dada. Ya, ternyata bangsa Indonesia (yang acap dituding terbiasa hidup seenaknya, suka main serobot, jorok, tidak peduli sesama, egois, suka melanggar peraturan) bisa berubah asal ada niat dan upaya keras  untuk mewujudkannya.

Dulu satpam stasiun KA tidak peduli pedagang asongan berseliweran bahkan sampai naik gerbong menawarkan dagangan. Sekarang mereka tegas melarang pedagang asongan berbuat semaunya. Dulu satpam KA tutup mata bahkan senang disuap penumpang tanpa tiket. Sekarang mata mereka melotot dan berkata tidak saat ada yang coba-coba masuk peron tanpa tiket.

Dulu penumpang gelap menyodorkan uang sogokan ke kondektur yang mukanya sengaja dibuat sangar di atas gerbong hal yang biasa. Sekarang kejadian itu mustahil terjadi sebab tidak ada penumpang tanpa tiket bisa masuk gerbong sejak kereta bergerak dari stasiun pertama. Kondektur pun rerata berwajah segar dan ramah dikawal polisi khusus kereta api yang juga berwajah tegas namun ramah.

Beberapa tahun lalu penumpang jijik jika hendak menggunakan toilet saking bau dan joroknya. Sekarang tempat  sangat penting di muka bumi itu tidak lagi jorok dan bau. Air pun mengalir cukup sepanjang perjalanan.

Mengapa semua itu bisa terjadi? Mengapa Kereta Api yang dulu acakadut sekarang berubah total menjadi sangat tertib dan teratur dengan pelayanan sangat memuaskan? Mengapa kondektur dan satpam yang dulu doyan uang haram penumpang gelap kini berubah menjadi malaikat anti suap?

Karena segenap unsur di PT Kereta Api (PT KA) begitu sungguh-sungguh bertekad menjalankan fungsi dan perannya sebagai penyedia pelayanan transportasi publik yang aman, nyaman, dan profesional..!

Di bawah kepemimpinan Direktur Utama Ignasius Jonan transformasi PT KA bukan sekadar jargon di poster. Transformasi benar-benar terjadi di semua lini tanpa kecuali. Ketegasan manajemen dalam menindak setiap pelanggaran dan ketidakseriusan yang dilakukan awak KA menyebabkan mereka tidak berani bahkan untuk sekadar main-main melalaikan tugas dan tanggung jawabnya.

Pasti ada “punishment” atau hukuman yang tegas bagi setiap pelanggaran yang dilakukan pegawai KA di semua lini. Kendati saya malas bertanya apa hukumannya buat petugas KA yang melanggar. Tentu, selain hukuman ada juga pujian dan penghargaan bagi mereka yang berprestasi. Saya juga tidak sempat mencari tahu apa penghargaan buat mereka yang berprestasi.

Yang jelas, hal ini, “reward and punishment”, hal jamak di dunia usaha. Namun di PT KA di bawah kendali Ignasius Jonan “reward and punishment system” ini benar-benar dijalankan dimulai dari pimpinan tertinggi. Setiap leader di PT KA sekarang benar-benar menjalankan apa yang sudah menjadi komitmen (walk the talk) dan komitmen tersebut tampaknya juga dijalankan hingga ke level paling bawah seperti satpam dan tukang sapu.

Fenomena transformasi PT KA ini menyisakan secuil asa di dalam dada. Begitu terang benderang. Ternyata, bangsa Indonesia bisa berubah, bisa bertransformasi, dari bangsa yang identik dengan sifat negatif  seperti malas, egois, melanggar peraturan, main serobot, jorok, suka menyuap dan disuap, korup, berubah menjadi sosok manusia yang rajin, tidak egois, patuh pada peraturan, tidak berani menyuap dan takut menerima suap, merawat fasilitas umum, dan sederet hal positif lainnya.

Hal ini bisa dicapai pertama dan pertama-tama jika dan jika kita memiliki pemimpin visioner sekelas Ignasius Jonan. Saya kok jadi berharap muncul sosok Ignasius Jonan lain menjadi Ketua RT. Saya pun bermimpi ada fotokopi sosok Ignasius Jonan sebagai Lurah, Camat, Bupati, Walikota, Menteri, Ketua Parpol, Dirut Rumah Sakit, Hakim di Pengadilan, Komandan Polisi, Panglima TNI.

Lamunan saya tambah ngelantur tak terkendali, sebab saya kini juga berani membayangkan Negara ini dipimpin seorang Presiden dengan visi, misi, kerja nyata, dan tekad serta pengaruh sekelas Ignasius Jonan. Maklum saja, Saya penat negeri yang kaya sumberdaya alam ini dipimpin Presiden yang cuma sibuk menata gaya bicara, hanya peduli pada penampilan fisik di depan kamera. Saya lelah negeri ini dikelola Presiden yang masih sempat-sempatnya masuk dapur rekaman bikin album lagu, sementara rakyatnya yang jadi babu disiksa di negeri orang. Bangsa ini bosan terus menerus dilecehkan bahkan oleh negara mini semisal Singapura.

Saya tidak berniat mengultuskan seorang Ignasius Jonan. Mengetahui nama dan fotonya saja belum lama, itu pun cuma lewat koran. Saya hanya ingin menggariswabahi kalau perubahan PT Kereta Api dari sebuah entitas bisnis sektor pelayanan publik yag buruk dan serba semrawut selama puluhan tahun kini berubah menjadi perusahaan yang tertib (well managed), tidak korup, dan lebih baik dalam menjalankan peran pelayanan kepada konsumen.

Hal mana disebabkan kepiawaian Jonan dalam memimpin KA. Kehebatan Jonan dalam menegakkan sistem “reward and punishment” sehingga semua unsur yang ada di dalam PT KA merasa tidak punya alasan untuk tidak mendukung misi dan visi perusahaan tempat mereka bekerja. Kekuatan Jonan yang mampu menggerakkan seluruh bagian (baca sekali lagi: seluruh bagian) di PT Kereta Api ke arah lebih baik.

Kita semua yakin, masih ada cukup banyak orang hebat dengan karakter mirip Jonan di negeri ini. Mereka bisa memimpin RT, Desa, Kecamatan, Kabupaten, Kota, Departemen, Polisi, TNI, BUMN, Partai Politik, DPR, Pengusaha, bahkan menjadi Presiden.

Kereta Api kelas ekonomi merupakan cermin kusam puluhan tahun bangsa ini yang kini berubah menjadi bening karena dibersihkan dengan serius dan penuh komitmen oleh segenap pihak di dalamnya. Cermin yang memantulkan sosok lain wajah bangsa kita. Melalui cermin bening Kereta Api ekonomi kita bisa melihat asa. Ternyata kita bukan bangsa yang brengsek. Jadi, tidak ada alasan untuk pesimistis. Nah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun