Agak siang saya baru berangkat ke Tongging. Dari Berastagi saya menumpang mobil SAMPRI yang menuju arah Kabupaten Dairi. Kemudian saya turun di Merek, pertigaan terakhir. Dari sana perjalanan saya lanjutkan dengan ojek. Sebenarnya saya bisa berjalan kaki, tetapi saya memilih naik ojek, karena satu alasan. Saya belum tahu lokasinya secara pasti. Informasi yang saya peroleh dari kawan di Berastagi hanya mencakup pos-pos perhentian angkutan umum.
Ojek menghantar saya ke pintu gerbang wisata Tongging. Ada dua tempat wisata yang menarik yaitu air terjun Sipiso-Piso dan kawasan Tongging sendiri. Sebenarnya hati saya agak terbelah antara keinginan untuk berjalan menuju tepian Danau Toba langsung atau menikmati dulu panorama air terjun. Akhirnya saya memutuskan untuk menikmati panorama air terjun duluan. Soal Danau Toba saya letakkan kemudian, karena toh saya masih memiliki waktu beberapa hari di depan.
Setelah hujan benar-benar reda, saya keluar dan mencoba mengarahkan kaki ke arah Desa Tongging. Oh iya, Desa Tongging ini adalah tepian Danau Toba di sisi utara yang berbatasan dengan Kabupaten Karo. Sekadar catatan kecil, Danau Toba ini berbatasan dengan 7 kabupaten yang berbeda. Dan setiap tepiannya memiliki keindahan tersendiri. Kalau kalau ingin mengeksplorasi Danau Toba degan menyusuri tepian-tepiannya, rasanya tidak cukup kalau hanya memiliki waktu dua sampai 4 hari saja. Saya membuktikan hal itu.
Saya tidak melangkah terlalu jauh, karena terbersit pikiran bagaimana kalau hujan lagi. Inilah cerita orang berpetulang tetapi takut basah. Kalian boleh tertawa, tetapi saya memang takut basah, terutama saya takut kamera saya kebasahan. Saya tidak membawa perlindungan yang cukup untuknya. Kalau saya flu, mungkin saya bisa minum obat. Tetapi kalau kamera saya yang terkena flu, saya tidak tahu dengan apa bisa mengobatinya. Akhirnya saya berbalik langkah menuju pertigaan Marek dan menumpang angkutan umum kembali ke Berastagi.
Di sinilah inti cerita ini terjadi. Di pertigaan itu saya bertanya kepada seorang sopir, mobil mana yang melintas ke Berastagai. Dia menjawab bahwa tidak ada. Kalau mau saya boleh ikut dengannya, tetapi nanti masih harus ganti angkutan di Kabanjahe. Aku menurut saja, meskipun sebenarnya saya berpikir pasti ada angkutan yang langsung melintas Berastagi. Tapi sudahlah, saya masih memiliki banyak waktu untuk menumpang dang anti angkot yang lain.
Mobil yang saya tumpangi ini sudah sangat jelek. Saya tidak perlu takut bahwa penggambaran saya melebihi kenyataan yang ada. Mobil Mitsubishi warna putih dengan tipe L300 rupanya sudah penuh dengan bopeng. Saya duduk di bangku depan dan melihat bagaimana kondisi dashboardnya sudah rusak parah. Banyak komponennya sudah diganti, bukan dengan barang yang sama, tetapi diganti dengan kayu. Persisi seperti meja belajar yang rusak dan ditambal sana-sini. Tetapi bibir saya langsung tersenyum ketika mata saya tertumbuk pada peralatan audio mobil ini. Ada satu set pemutar CD yang menilik merknya mestinya bagus. Sebagai pengeras suara, dia tempatkan beberapa salon, di depan dan di belakang. Untuk memilih lagu,dia memakai remote yang ia taruh di dekat kendali setir.
Bapak sopir ini menjalankan mobilnya pelan saja, karena dia menyasar penumpang sekaligus ngobrol dengan penumpang. Obrolan itu menjadi seperti teriakan-teriakan kecil karena suara dari audio mobil yang begitu kencang. Senyum saya makin lebih, tetapi hanya di dalam hati, karena saya tidak mengerti lagu yang dibawakan, dan tidak juga paham obrolan sopir dan penumpang yang lain. Semua memakai bahasa Karo. Saya tahu bahwa itu bahasa karo karena ada beberapa kata yang saya kenal, seperti bujur, untuk mengatakan terimakasih dan nande, untuk menyapa ibu.
Saya sempat berpikir soal Andrea Hirata yang bercerita soal sopir angkot di Belitong. Dalam salah satu novelnya dia berkisah bahwa mobil itu memiliki keranjang kaset di bagian depan, dan apapun lagu permintaan penumpang pasti ia putarkan. Syaratnya satu, semua lagu harus dangdut. Saya semakin mengerti juga mengapa lagu dangdut yang dipilih, karena irama musiknya memang mengundang hati berdendang, meski kita tidak tahu liriknya. Kini saya alami, hati saya berdendang bersama irama Karo dangdut yang mengalun.
Sambil menikmati musik yang mengalun dengan begitu rancak, saya menikmati indahnya alam di sisi kiri jalan. Mulai dari Marek hingga Kabanjahe.Di ibu kota Kabupaten Karo ini saya berganti angkot menuju Berastagi. Tidak ada yang bisa saya bagikan di sini. Kalau ada cuma satu, audio angkot ini tidak sebagus tadi. Meskipun kondisi angkotnya lebih baik dibanding angkot yang saya tumpangi dari Marek tadi.