Sampai saat ini proses hukum yang terjadi baru sekedar pengumpulan barang bukti. Kepolisian Hong Kong telah berkoordinasi dengan kepolisian Indonesia untuk mendapatkan keterangan dari Erwiana.
Langkah lain untuk menggenapi dokumen, kepolisian Hong Kong juga meminta keterangan mantan pembantu yang pernah bekerja terhadap majikan Erwiana. Karena ternyata mereka juga mengalami hal yang kurang lebih sama.
Sejatinya kasus Erwiana ini hanyalah puncak dari gunung es persoalan para buruh migran. Ada begitu banyak kasus yang terjadi. Mungkin kasus mereka tidak sehebih Erwiana, namun juga tidak kalah memiriskannya.
Kisah buruh yang diputus kontrak secara sepihak, dituduh melakukan tindak pencurian atau pelecehan kerap dialami oleh para buruh migran tersebut. Ada yang berani melawan dan mencari keadilan tetapi jumlahnya sangat sedikit. Kebanyakan diam dan menyerah terhadap ketidakadilan.
Tak berdaya
Dibandingkan dengan buruh migrant Filipina atau Negara lain, para BMI itu posisinya lebih lemah. Bukan karena kemampuan bahasa yang kalah. Mayoritas para buruh migrant asal Indonesia itu kemampuan bahasa lokalnya (bahasa Kanton) jauh lebih bagus dibandingkan dengan buruh migrant dari Negara lain. Yang membuat mereka lemah adalah sistim perundang-undangan yang membelenggu mereka. Bukan perundang-undangan di Hong Kong, tetapi perundang-undangan di Indonesia. Undang-undang yang saya maksud adalah UUPPTKILN No. 39/2004.
Secara singkat bisa dikatakan demikian; Undang-Undang yang seharusnya melindungi para buruh migran itu ternyata melindungi para penyalur buruh migran. Boleh dikatakan bahwa Undang-Undang itu malah menjadi belenggu bagi para buruh dibandingkan sebagai pelindung.
Bagaimana peran pemerintah? Berdasarkan undang-undang tersebut, kewajiban pemerintah sudah dilimpahkan kepada Agen dan PT penyalur tenaga kerja. Atas dasar undang-undang tersebut pihak agen menjadi sangat berkuasa atas para buruh migrant. Salah satu contoh berkuasanya mereka adalah menyita dan menahan Passpor dan seluruh dokumen yang dibawa BMI.
Ketika pekerja migrant baru mendarat di Hong Kong, biasanya mereka diberi satu bendel buku berisi berbagai petunjuk selama mereka bekerja di Hong Kong. Di sana juga dicantumkan beberapa daftar nama dan nomor yang bisa dihubungi kalau mereka membutuhkan bantuan. Tetapi semua dokumen itu disita oleh agen. Dan para pekerja hanya diberi satu nomor, yaitu nomor si agen tersebut. Hal ini membuat agen menjadi sangat berkuasa atas diri pekerja.
Aturan yang mengharuskan para pekerja hanya bekerja melalui agen. Aturan ini hanya berlaku untuk pekerja Indonesia. Sedangkan pekerja Negara lain tidak, karena berkaitan dengan Undang-Undang yang saya singgung di atas. Kerugian jika selalu bekerja melalui agen adalah mereka harus membayar fee agen yang jumlahnya tidak sedikit. Hampir satu bulan gaji penuh.
Kerap kali majikan yang jahat memanfaatkan situasi ini dengan memerdaya para pekerja. Mereka memahami aturan yang menjerat para BMI dan mereka memanfaatkannya; yang sangat jahat adalah dengan berlaku kasar sehingga si buruh meminta berhenti. Jika buruh yang meminta berhenti maka majikan tidak harus membayar kompensasi.
Sedangkan majikan yang baik kerap tidak berdaya menghadapi aturan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia. Mereka ingin menolong para pekerja itu, tetapi kerap tersandung aturan. Meski demikian tetap bersyukur jika memiliki majikan yang baik, biasanya mereka akan banyak menolong.
Namun malang kalau mendapat majikan yang buruk. Erwiana adalah salah satu contoh kasus. Ada banyak yang lain. Banyak anak-anak kita merawat ‘orang gila’ dalam arti yang sebenarnya. Tidak memberi mereka kamar untuk bisa tidur dengan ‘aman’, tidak memberi jatah berlibur, dll.
Keadilan Sosial
Permasalahan yang sedang dihadapi oleh Erwiana hendaknya tidak dipandang sebagai satu kasus belaka. Ini adalah buah dari sebauh sistim yang begitu lemah. Kita harus jujur bahwa kita belum memperlakukan para BMI itu sebagai manusia secara utuh. Banyak aparat hukum atau pemerintah masih berpikir bahwa BMI itu adalah masyarakat kelas dua. Tentu saja pemikiran dan perlakuan seperti itu adalah sebuah kejahatan.
Contoh: perlakuan yang berbeda ketika para BMI mendarat di bandara. Membedakan mereka dengan penumpang lain jelas sebuah ketidakadilan. Dan banyak kesaksian menyebutkan bahwa pembedaan itu juga kerap kali disertai dengan pemerasan.
Contoh lain, menganggap semua BMI itu bodoh dan tidak tahu apa-apa. Hal ini kerap muncul dalam komentar ataupun sikap tatkala menghadapi BMI. Seandainyapun benar bahwa BMI itu bodoh, pantaskan mereka diperlakukan secara kasar dan dianggap kelas dua? Bukankah seharusnya menjadi tugas Negara untuk membantu mereka menjadi lebih pandai? Membantu mereka memahami dan bukan memeras mereka?
Undang-undang semestinya memberi jaminan yang nyata bagi tiap warga untuk mendapatkan keadilan sosial. Nyatanya undang-undang itu masih berpihak kepada kelompok tertentu. Di sini pihak yang dilindungi oleh UU adalah PT pengirim buruh dan Agen penyalur. Maka merevisi UU tersebut agar sungguh berpihak kepada buruh adalah salah satu bentuk pemberian jaminan social yang nyata.
Tidak ada pilihan
Menanggapi kasus penyiksaan yang dialami oleh BMI ada yang berpendapat, “kalau begitu ya jangan menjadi BMI”. Pernyataan ini sungguh mengiris perasaan. Karena nyatanya mereka yang pergi ke luar negeri untuk mengais rejeki, kebanyakan sudah tidak memiliki pilihan lain. Maka meskipun mereka tahu bahwa menjadi BMI itu berat, mereka tetap menjalaninya.
Pilihan bekerja di luar negeri sebagai buruh migran dan bukan sebagai pekerja professional, sebenarnya cukup memalukan. Hal itu menjadi tanda yang sangat sederhana bahwa Negara gagal memberi pekerjaan yang layak, yang memberi hasil yang mencukupi untuk hidup.
Penutup
Permasalahan BMI Erwiana adalah salah satu dari sekian banyak persoalan BMI di berbagai Negara. Kebetulan kasus ini bisa diangkat ke permukaan. Tetapi melihat kasus ini hanya sebagai kasus seorang, tentu sangat naïf. Kasus ini menjadi tanda yang sangat jelas bahwa keadilan sosial itu masih jauh dari harapan. Kasus ini juga bisa menjadi pintu masuk untuk menyelesaikan kasus-kasus lain yang ada. Harapan kami adalah kasus serupa tidak muncul lagi, dan buruh sebagai manusia mendapatkan haknya yang pantas, karena mereka manusia sama dengan yang lain. Bukan kelas dua meskipun terpaksa menjadi buruh di negeri orang.
Hong Kong 19 Januari 2014