Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Ilmu Kebal Versi Debus

28 Oktober 2014   14:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:28 405 0
– Sepasukan penjajah dengan wajah beringas siap memuntahkan amarahnya. Pistol dan dan bedil sudah dikokang dan siap ditembakan. Sangkur dan pedang sudah dihunus dan siap ditebaskan. Bola-bola geranat juga tinggal diledakan. Menurut hitungan nalar, mustahil bisa berhadapan muka apalagi mampu memukul mundur mereka dari arena perang.

Tetapi sejarah telah menuliskan, para pendahulu negeri ini punya cara-cara khusus untuk mengadu nyali dengan para agresor itu. Sultan Ageng Tirtayasa misalnya, memanfaatkan seni debus untuk membakar semangat rakyatnya. Ia mentransfer keterampilan gabungan seni olah fisik, seni olah batin plus seni olah suara itu kepada para pejuang Banten. Tak heran jika pada masa kepemimpinannya Banten mencapai puncak keemasannya.

Pasti bukan hanya karena debus, Banten bisa berjaya ketika itu. Tetapi, tak bisa dipungkiri pula, sampai kini debus dan Banten ibarat dua sisi dari sekeping mata uang. Boleh jadi hal ini terkait dengan riwayat debus yang amat panjang. Seni bela diri yang berintikan kekebalan tubuh seseorang dari segala senjata tajam dan api ini, diduga mulai dikenal pada abad ke-16, ketika Sultan Maulana Hasanuddin menjadi penguasa di Banten.

Mengenai asal-muasalnya, menukil Imron Arifn dalam Debus: Ilmu Kekebalan dan Kesaktian dalam Tarekat Rifaiyah, debus berasal dari bahasa Arab dabbas yang berarti jarum atau alat tusuk. Atraksi debus memang kerap menggunakan alat-alat yang ditusukan ke pipi, leher, dada, tangan maupun perut. Lebih jauh Imron menjelaskan bahwa kesenian ini mempunyai kaitan erat dengan tarekat Rifaiyah yang dinisbatkan kepada Syaikh Ahmad Rifa’I Al-Baghdady.

Di Indonesia, aliran tarekat ini antara lain berkembang di Aceh dengan tokohnya Syaikh Nuruddin Ar-Raniri, lalu kemudian menyebar ke Banten. Seperti ditulis Martin Van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, di Banten memang berkembang pesat sejumlah aliran tarekat termasuk Rifaiyah, Qodariyah, dan Naqsabadiyah, yang diajarkan di pondok-pondok pesantren.

Masuk akal jika pada awalnya seni debus lebih dikenal di kalangan para santri. Kesenian ini merupakan salah satu cara mereka untuk merasakan kemahakuasaan Allah SWT. Fakta ini selaras dengan pendapat sejarawan Kuntowijoyo dalam Budaya dan Masyarakat, bahwa bentuk kesenian bela diri yang kadang-kadang disertai dengan kepandaian magis memang merupakan bagian dari budaya pesantren.

Sekarang atraksi bermain debus memang bukan semata menjadi keterampilan para santri, tapi juga menjadi keahlian orang kebanyakan. Ilmu kekebalan tubuh ini juga bukan semata dimainkan para pengikut tarikat Rifaiyah, melainkan juga oleh para jamaah aliran tarekat Qadariyah. Seni debus tidak lagi hanya dipamerkan oleh kaum lelaki, tetapi juga dipertontonkan oleh para hawa.

Saat ini, debus juga tidak sekadar menjadi media dakwah atau alat perjuangan melawan ketidakadilan. Kesenian tradisional ini juga meretas di sejumlah pentas-pentas moderen dengan tujuan yang bermacam-macam. Hanya saja, debus tetaplah identik dengan ilmu kebal. Debus tetap menjadi karakteristik khas orang-orang Banten. (naskah dari berbagai sumber; foto dari alambudaya.com)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun