Orang Asmat juga meyakini, muasal mereka juga pepohonan itu. Sebuah legenda setempat menceritakan, bahwa leluhur mereka yang bernama Fumeripits satu ketika terdampar dan nyaris sekarat di tepi sungai Yet. Berkat ramuan telur buaya, ayam kampung dan kasuari yang diracik burung rajawali, nyawa Fumeripits bisa selamat. Sejak saat itu ia hidup seorang diri, berkelana ke banyak tempat dan tinggal di sebuah jew atau rumah bujang yang juga dibuatnya sendirian.
Dalam kesendiriannya, nyaris sepanjang waktu Fumeripits mengukir batang-batang kayu menjadi mbis atau patung manusia. Selain itu ia juga biasa membuat eme atau tifa, alat musik perkusi dari batang kayu. Sekadar untuk mengusir sepi, sesekali ia bersenandung sambil memainkan alat musik hasil karyanya itu. Anehnya, saat bersamaan, patung-patung yang dibuatnya juga ikut bergerak mengikuti irama, lalu menjelma menjadi manusia.
Di tempat lainnya, kejadian serupa terulang lagi. Ketika Fumeripits bernyanyi dan menabuh tifa, saat itu juga patung-patung yang dibuatnya mewujud manusia. Hingga akhirnya ia berkata, “Mulai saat ini, kalian menjadi anak-anakku. Maka pergilah dan tempati seluruh pelosok daerah yang lainnya.” Mengutip Michael Rockefeller dalam The Asmat of New Guinea, merekalah yang kelak menurunkan para pengukir alias wow-ipits atau wow iwir dan orang Asmat sekarang.
Sebab asal-usulnya itulah, seperti makna kata asmat, tidak heran jika mereka menisbatkan dirinya sebagai manusia pohon atau kayu. Versi masyarakat suku Asmat –diperkirakan meliputi dua belas sub suku sekaligus suku terbesar di Papua– kaki manusia itu ibarat akar pohon, tubuh umpama batang, lengan seperti dahan dan ranting, sedangkan kepala adalah amsal dari buahnya. Maka memuliakan pohon termasuk mengukirnya, bukanlah sekadar kecakapan bernilai seni.
Menukil Dirk Smidt dalam Asmat Art: Woodcarvings of Southwest New Guinea, keterampilan itu sesungguhnya sarat dimensi spiritualnya. Mengukir patung misalnya, hakikatnya adalah cara mereka berkomunikasi dengan leluhurnya di alam lain. Merujuk konsep kosmologi orang Asmat, sesudah hidup di ow capinmi (alam kehidupan sekarang), tiap manusia akan melewati dampu ow capinmi (alam roh yang meninggal), sebelum akhirnya memasuki safar (alam surga).
Ketika masih di dampu ow capinmi, roh si mati bisa menjadi sumber malapetaka termasuk peperangan. Supaya roh itu segera menuju safar, mereka yang masih hidup harus membuatkan patung orang yang meninggal tersebut dan menggelar upacara atau pesta patung mbis, pesta topeng, pesta perahu, juga pesta ulat sagu. Tak cuma yang disebut terakhir, kata Kal Muller dalam Mengenal Papua, tiap ritual suku Asmat biasanya memang banyak menggunakan ulat.
Tampaknya seni ukir dan suku Asmat memang ibarat dua sisi dari sekeping mata uang. Manusia Kayu itu, dahulunya adalah patung-patung kayu karya Fumeripits yang menjelma menjadi manusia. Dan ketika orang Asmat membuat mbis lalu mengadakan sejumlah ritual, sesungguhnya mereka tengah menyambung rasa dengan para pendahulunya. Maka ukiran orang Asmat bukan cuma sekadar artistik, tapi juga sangat sakral dan mistis. (naskah dari berbagai sumber; foto dari crafinn.com)