Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Mie Bakso Parenggean: Journey of Kuliner di Kalimantan (3)

2 Juli 2010   23:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:08 435 0
[caption id="attachment_183692" align="alignleft" width="300" caption="ilustrasi gambar dari http://2.bp.blogspot.com/ "][/caption]

Setelah semalam menginap di kota Sampit, tanggal 2 pagi saya bersama Dwi meluncur ke arah perkebunan. Sebelum berangkat Dwi membawa sepeda motor ke bengkel untuk servis. Selepas servis kami tidak bisa langsung berangkat. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Malangnya ia tidak membawa jas hujan. Saya sempat kelabakan, karena saya membawa laptop, wah bisa berabe kalau basah. Maka saya cari tas plastik untuk membungkus laptop agar tidak basah jika nanti kena hujan.

Akhirnya setelah hujan mulai reda kami meluncur. Saya hanya berdoa semoga tidak semakin deras. Bukan lagi takut kalau laptop basah, tetapi saya tidak membawa banyak pakaian ganti. Akhirnya setelah meluncur barang 10 menit hujan reda.Perjalanan ini akan cukup panjang. Ada dua medan jalan yang akan kami lalui. Medan beraspal dan medan jalan tanah. Sekitar satu setengah jam di jalan beraspal dan satu setengah jam di jalan tanah.

Ini Journey

Mestinya journey itu sebuah perjalanan. Sebagai sebuah perjalanan mestinya yang paling terasa kalau jalan kaki. Tetapi ini bukan saatnya untuk jalan kaki. Jaraknya begitu jauh sedangkan waktu yang saya miliki cukup terbatas, maka bersepeda motor adalah pilihan murah dan praktis. Perjalanan dengan sepeda motor. Membelah kota menyusuri hutan.

Kota Sampit memang masih kecil, maka baru setengah jam bersepeda kami sudah memasukidaerah yang tidak banyak rumahnya. Bahkan bisa dikatakan sudah masuk hutan. Ada juga daerah rawa-rawa.Di kanan kiri jalan juga saya jumpai penduduk yang menjemur rotan. Sepertinya sisa-sisa dari kejayaan hutan di masa silam. Mungkin tidak terlalu silam, Karena beberapa tahun lalu, daerah ini menajdi surga bagi para penjarah kayu.

Sekarang semua serasa tinggal cerita. Lebatnya hutan. Rimbunnya. Gelapnya. Masih saya bayangkan ketika melamun di dalam pesawat. Namun semua seperti hilang entah ke mana tatkala mata saya menjelalah sepanjang tepian jalan. Yang Nampak hanya tonggak-tonggak. Beberapa belukar juga menjadi hiasan yang wajar. Namun jajaran pohon besar seperti gambaran hutan di masa silam, sungguh hanya ada dalam bayangan.

Sambil menunggang motor, kami ngobrol sepanjang jalan. Mengenai hutan yang semakin hilang. Mengenai kembang kampung yang tidak banyak mendapat pilihan. Mengenai kuli perkebunan yang memakai susuk. Mengenai pengemis yang malas. Kami ngobrol apa saja, seperti belum pernah melakukan sebelumnya.

Kegembiraan hati kami ini tiba-tiba dikejutkan dengan sepeda yang agak oleng. Kami segera berhenti dan memeriksa apa yang terjadi. Yahh, ban bocor. Waduh di mana mau cari tukang tambal ban di tengah hutan begini. Awalnya kami coba untuk melanjutkan perjalanan. Baru sepuluh meter berjalan motor makin oleng. Maka saya putuskan untuk berjalan kaki, sedangkan Dwi melanjutkan perjalanan sampai ketemu tukang tambal ban.

Lumayan jalan kaki di tengah hutan. Di siang bolong, di bawah terik matahari. Untunglah kaki sudah terbiasa berjalan, dan sesungguhnya inilah arti perjalanan, ayitu berjalan. maka tidak terlalu repot. Setelah berjalan kaki 40 menitan saya lihat Dwi di kejauhan. Rupanya di situ ada tukang tambal ban. Untunglah, sebab aku tidak perlu berjalan lebih jauh lagi. Tapi sepeda itu tidak bisa langsung dikerjakan. Tukang tambal bannya masih menjalankan ibadah sholat Jumat.

Sambil menunggu tukang tambal ban saya mencoba menghubungi orang-orang yang akan saya kunjungi setelah dari Sampit nanti. Beberapa nomor yang saya miliki saya kontak. Hasilnya lumayan, saya tidak akan terlantar di Banjarmasin dan Samarinda.

Setelah menunggu 15 menitan, tukang tambalnya datang. Ternyata kondisi bannya udah parah. Copnya lepas. Terpaksa deh ganti ban dalam. Hal ini lebih praktis dari pada menambal ban yang bocor. Proses pergantian ban hanya sekitar 10 menit. Setelah itu kami langsung melanjutkan perjalanan.

Naik Kuda

Setelah melanjutkan perjalanan sekitar setengah jamkami mulai meninggalkan jalan beraspal. Jalanan tanah Kalimantan yang berdebu dan berlobang-lobang. Truk-truk besar pengangkut buah kelapa sawit membuat kondisi jalan menjadi buruk.

Melaju di jalanan seperti itu tak ubahnya naik kuda. Padahal saya naik kuda hanya di pantai Parangtritis. Karena terus terguncang-guncang saya bayangkan sedang naik kuda. Perjalanan ini cukup panjang dan sepi. Kanan kiri hanya terdapat hamparan sawit. Sesekali kami melewati pemukiman penduduk. Sesekali kepala saya terantuk karena ngantuk. Heran, jalanan seperti ini saya masih bisa ngantuk juga.

Akhirnya kami sampai di daerah padat penduduk. Namanya kecamatan Parenggean. Kami istirahat sejenak dan mencari makan siang. Warung yang dipilih Dwi adalah yang menjual mie bakso. Yang berjualan orang Tlogosari Malang selatan. Ternyata dia memilih warung ini bukan karena kualitas makanan, tetapi karena relasi pertemanan. Sesama perantauan, dan dari kota yang sama. Itu bukan berarti kualitas makanan menjadi kurang berarti. Jika pertemanan dan dukungan kualitas rasa serta sajian sepadan, kualitaspun akan semakin nendang.

Lelah dan panas membuat mie bakso itu enak banget. agak mengherankan bahwa mie bakso panas ini bisa berkolaborasi dengan cuaca panas. Mungkin kelelahan yang membuat udara terkesampingkan. Apalagi campuran ayamnya begitu terasa, mak nyus tenan. Segelas es teh pun serasa kurang memenuhi kebutuhan badan. Maka untuk membuat lega rasa, terpaksalah menambah segelas es teh lagi. Seger tenan.

Dari kecamatan Parenggean kami melanjutkan perjalanan ke mess adik saya. Masih 25 km lagi. Kami sempatkan mampir di pasturan Ecce Homo Parenggean, tetapi kosong. Mungkin mereka sedang turney.Di susteran pun kosong. Maka kami putuskan untuk langsung ke pabrik. Perjalanan naik kuda di mulai lagi. Jalanan semakin sepi, hanya sesekali ada satu pengendara yang melintas.

Saya bayangkan kalau tiba-tiba ban gembos atau kecelakaan di sini akan sangat menderita. Mau teriak, pasti tidak ada yang mendengar. Sejauh mata memandang hanya ada hamparan kelapa sawit, ada yang baru ditanam, ada yang mulai berbuah, semuanya hanya sawit. Setelah setengah jam terguncang guncang di Jupiter, kami sampai di lokasi pabrik, di mana adik saya tinggal.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun