“Bah, gitu saja ga berani. Dasar!” runtuk Mirah seraya ngeloyor ke dalam kamar mengganti baju. Kepalanya masih berdenyut karena menahan marah. Sebenarnya ia ingin pergi agar bisa sedikit cerah. Namun malam telah terlampau larut dan sangat tidak etis kalau dia ditangkap hansip yang meronda, bukannya apa, kalau sampai dijamah tangan tak ramah bisa jadi masalah.
Akhirnya Mirah memutuskan tidur. Ia lolosi satu persatu pembungkus raganya yang semuanya berwarna merah. Dan kini ia ganti dengan daster tipis, juga berwarna merah. Ia rebahkan badannya pelan-pelan seraya menarik selimut hingga setinggi kerah. Hmmm, tak seberapa lama Mirahpun hanyut ke alam mimpi.
Dalam mimpinya ia dibawa terbang ke langit biru dan diturunkan di padang rumput yang menyejukkan mata. Aa danau di ujung mata memandang. Ada hutan rimbun di belakang kuncir menjajar. Sejenak ia menarik nafas dan segera menari-nari, berputar-putar bak penari India dimabuk asmara. Tiba-tiba saja ia diam, ia seperti baru saja melihat sesuatu yang sangat aneh, hingga wajahnya memucat mengguratkan ketakutan.
Ia menoleh ke kanan dan ke kiri. Ketika dilihatnya seorang tua sedang asyik memancing, ia segera berlari menemui. Masih terengah-engah, seperti orang yang baru saja menjalankan pekerjaan yang sangat berat, meski ada yang terengah-engah walau yang dilakukan katanya menyenangkan, ia bertanya pada lelaki tua itu.
“Hah..ah..hah..Pak…hah..ah..pak..ah..hah..”
“Sabar Nak, atur nafas dulu.”
Sejenak Mirah merapikan nafasnya. Setelah bisa sedikit tenang ia bertanya, “Pak, ini di mana?”
“Ini daerah Tarkomed Nak. Knapa? Apa baru sekali ini ke sini?”
“Hmmm, saya tidak tahu pak. Tetapi seingat saya, tadi saya tidur, kok tiba-tiba ada di daerah ini. Tadi sewaktu datang saya melihat semuanya indah, semua menyenangkan, dan saya menari-nari. Tetapi kemudian yang saya lihat semuanya menjadi menakutkan.”
“Lho apa yang Anak takutkan?”
“Nama saya Mirah Pak. Mirah si kembang kampung.”
“Oooo, saya Utomo, biasa disebut Budi Utomo. Iya, apa yang membuatmu takut, Mirah?”
“Hemmm itu Pak. Kenapa di sini hanya ada warna biru. Bukankah warna daun itu mestinya hijau, mengapa jadi berwarna biru? Bukankah kamboja itu mestinya berbunga putih, kenapa menjadi bitu? Bukankah mestinya cabai itu berwarna hijau atau putih atau merah? Knapa juga menjadi berwarna biru? Aneh sekali Pak.”
“Ooooo, itu… Inilah kampung Tarkomed Nak. Tempatnya para ksatria. Tempatnya orang-orang baik berkumpul, tempat bersatunya para penguasa dari masa lampau dan berpengaruh, dan bersatunya para pemegang uang.”
“Aduh Pak, kok saya tambah bingung?”
“Kok bingung tho Nak. Begini, kamu dari Jawa khan? Di jawa itu para bangsawan, orang-orang yang berasal dari kelompok elit masyarakat biasanya disebut ‘berdarah biru’. Itu untuk membedakan dengan masyarakat kebanyakan yang darahnya merah. “
“Lho hubungannya dengan daun-daun dan bunga berwarna biru itu apa Pak?”
“Lhooo gimana kamu ini. Hubungannya erat sekali. Kampong ini dihuni orang-orang penting. Para penguasa dunia, para bangsawan dari berbagai penjuru bumi. Kampong ini didiami oleh orang-orang berdarah biru. Maka semua makluk hidup di sini harus menjadi biru.”
“Kok harus menjadi biru?”
“Mirahhhhhh, kamu ini bodo atau apa? Kamu pernah dengar cerita dari negeri antah berantah, di mana ada semua pohon berwarna kuning? Di mana ada gerakan kuningisasi? Nahhh di sini ada birunisasi. Kalau kamu tinggal di sini sehari saja, semua pakaianmu akan berubah menjadi biru, juga rambutmu dan gincumu.”
“Owwwwww….”
MIRAHHHHH……
Geragapan Mirah bangkit mendengar suara eyangnya. Dasar eyang tidak tahu diri. Orang sedang enak-enaknya ngobrol kok dipanggil.
MIRAHHHHHHHHH………
Belum sempat Mirah merapikan daster yang tersingkap hingga ke paha, teriakan eyangnya telah melontarkan tubuhnya secepat mungkin menuju kamar sebelah.
“Apa tho Eyang kok teriak-teriak?”
“Ini sudah jam berapa?”
“Eyang ini masih sore, masih jam empat seperempat. Perasaan sepuluh menit yang lalu eyang juga Tanya. Ada apa sich Yang kok nanya jam terus?”
“Mirah-Mirah, apa kamu ini apa sudah lupa sama kesenangan Eyang?”
“Ya nggak to Yang? Lha itu tadi aku ke pasar masih membelikan eyang cenilnya Mbah Tritis. Masih ada sebungkus kok kalau Eyang mau tambah.”
“Bukan cenil Mirahhhhhhh…….. Sinetron! Sinetron Mirah! SINETRON!”
“Ooooo sinetron thooo….., belum eyang masih jam 4. Nanti jam 6 baru mulai. Kok tumben eyang semangat sekali nonton sinetronnya?”
“Ini episode terakhir Rah. Sayang kalau dilewatkan.”
“Episode terakhir? Lho sinetron apa tho Yang?”
“Lho kamu ini masih muda kok sudah pikun. Itu lho yang bintang utamanya si Poltak anak Medan? Itu sinetron apa itu sus-sus kasuari? Apa Rah?”
“Itu bukan sinetron Eyang sayangggg…….. Itu peristiwa beneran, tidak ada rekayasa! Eyang ini tidak bisa membedakan sinetron dengan kejadian sungguhan.”
“Itu sinetron lho Rah. Wong ada skenarionya kok. Kalau peristiwa sungguhan khan ga ada skenarionya?”
“Ya sudahlah. Terserah Eyang, mau disebut sinetron atau apa. Aku mau ke kamar lagi, ntar aku bangunin kalau sudah mau jam enam.” Sambil berkata begitu Mirah ngeloyor pergi. Tiba-tiba eyangnya memanggil lagi.
“Ada apa lagi tho Yang?”
“Hmmm, sejak kapan kamu punya daster warna biru?”
“Apa Eyang? Daster biru? Amit-amit Eyangggggggg…….. jangan sampai aku pakai daster warna biru. Ie erl san…ie erl san… ie erl san……”
“Lho kok kamu kayak orang kesurupan. Lha daster yang kamu pakai ini khan biru?”
“Apaaa@##$%%............”
(Hening…………., Mirah pingsan dan terkulai layu melihat dasternya berwarna biru.)
Melbourne, 24-02-10
Cerita Mirah sebelumnya.