Kawan, tidak ada orang yang ingin menderita sakit, atau membawa penyakit sepanjang hidup. Terkadang hal itu tak bisa kita elakkan. Ada yang bisa menerimanya, menghadapinya dengan ketabahan dan terus berjuang mengupayakan kesembuhan. Namun ada yang menyerah, putus asa, dan tak jarang terus menyalahkan Tuhan.
Kepada mereka yang tak sanggup menahan beban derita itu, saya perkenalkan dengan tokoh yang terus saya coba teladani. Ia meninggalkan kita ketika usianya belum genap 14 tahun. Namun yang ditinggalkannya sangat berarti, bukan hanya untuk dia sendiri, tetapi dan terutama untuk orang lain.
Terlahir pada 17 Juli 1990, sudah mulai menulis puisi pada usia 3 tahun. Sebagai seorang anak, puisi-puisinya begitu mendalam, setara dengan karya para sastrawan senior. Bahkan puisi-puisinya ketika dibukukan The New York Times menjadi buku terlaris. Berikut buku-bukunya: Heartsongs,Journey Through Heartsongs,Hope Through Heartsongs,Celebrate Through HeartsongsandLoving Through Heartsongs.
Semua bukunya adalah nyanyian hati, karena menurutnya dari hatilah mengalir kejujuran, mengalir damai, mengalir cinta. Maka ia hanya menuliskan nyanyian yang bergema dalam hatinya. Seperti halnya anak-anak, ia memiliki cita-cita, menjadi penulis, menjadi pembicara/motivator, menjadi penggerak damai.
Berbeda dengan anak-anak pada umumnya, ia menjalani hidupnya dari atas kursi roda. Bukan kursi roda biasa, tetapi kuris roda yang penuh dengan perlengkapan kesehatan, penuh dengan obat yang harus terus mengalir ke tubuhnya. Selama hidupnya ia tidak bisa dipisahkan dari peralatan itu yang membelenggu masa kanak-kanaknya. Sakit yang sama telah merenggut nyawa saudara-saudaranya, dan kemudian juga dialami oleh ibunya, Jeni.
Apakah dia menjadi anak yang terus bersedih dan pemurung? Ternyata tidak. Ia tetap gembira, meski semakin banyak obat yang masuk, ia semakin merasakan rasa sakit yang hebat. Ia tidak mengeluh, ia tidak menyalahkan siapa-siapa, juga Tuhan. Ia menjalani hidupnya dengan gembira. Dalam salah satu tulisannya ia menulis demikian: