Sebab tujuan utama puasa bukan untuk mengukur ketahanan kita terhadap rasa lapar dan haus. Bukan untuk menguji seberapa lama kita mampu tidak minum dan tidak makan. Melainkan agar kita mampu meraih derajat sebagai orang-orang yang lebih bertaqwa.
Ketaqwaan kita di hadapan Allah Swt memiliki dua dimensi, yakni dimensi vertikal yang melingkupi hubungan langsung kita sebagai makhluk dengan penciptanya (Hablumminallah) dan dimensi horizontal yang mencangkup muamalah atau hubungan kita dengan sesama manusia (Hablumminannas).
Tidak ada yang lebih penting di antara keduanya. Oleh karena itu, setiap muslim diwajibkan untuk menyeimbangkan keduanya agar mencapai taqwa yang baik dan benar.
Tak cukup hanya kesalehan ritual tanpa disertai kesalehan sosial. Tidak boleh kita hanya mengutamakan ritual-ritual ibadah seperti salat, zakat dan ibadah wajib lainnya. Sementara dari lisan kita berulang kali terucap perkataan yang menyakiti dan menyinggung perasaan orang lain.
Belum sempurna ibadah kita jika tanpa kesadaran untuk memperlakukan orang lain dengan baik. Bahkan, kita tergolong manusia yang rugi manakala saat kiamat hanya datang dengan membawa pahala dari ibadah-ibadah wajib sementara semasa hidup kita banyak berbuat zalim terhadap sesama. Sebab pahala-pahala kebaikan bisa digugurkan oleh dosa-dosa kecil yang bermula dari ketidaknyamanan hubungan kita dengan sesama.
Itu menunjukkan betapa perlunya menjalin hubungan yang baik antar manusia. Kecintaan kita pada sesama manusia mencerminkan kecintaan kita kepada penciptaNya.
Puasa Ramadan merupakan sarana yang sangat ideal untuk memperkuat muamalah dalam upaya menyeimbangkan dua dimensi ketaqwaan.
Ambil contoh salat yang dalam praktiknya memiliki dimensi horizontal dan vertikal sekaligus. Imbalan pahala yang berlipat selama Ramadan mendorong kita lebih rajin untuk salat berjamaah di masjid. Dalam perjalanan menuju dan pulang dari masjid, disadari atau tidak kita sering mempraktikkan berbagai muamalah. Di antaranya menyapa dan berinteraksi dengan sesama jamaah.
Sapaan merupakan bentuk silaturahmi sederhana yang besar maknanya. Sebab silaturahmi yang baik merupakan salah satu kunci terbinanya hubungan harmonis antar manusia. Sebaliknya, silaturahmi yang terganggu sering menjadi benih timbulnya sifat-sifat buruk, seperti iri hati, curiga, dan tidak mudah percaya.
Demikian pula tradisi buka puasa bersama. Diizinkannya kembali kegiatan bukber seiring membaiknya penanganan pandemi Covid-19 patut kita syukuri. Sebab terbuka kembali kesempatan kita untuk memperkuat silaturahmi dengan teman, kerabat, dan keluarga yang mungkin sempat merenggang selama pembatasan sosial.
Namun, jika bukber dijadikan sebagai ajang pamer dan menyombongkan pencapaian yang secara tidak langsung merendahkan kedudukan orang lain, maka itu merusak pahala ibadah puasa. Apalagi jika bukber dilakukan secara berlebihan hingga meninggalkan salat. Lagi-lagi keseimbangan jadi kuncinya.
Tradisi saling berkirim makanan atau takjil juga besar maknanya. Selama pandemi Covid-19 kebiasaan tersebut mungkin untuk sementara ditinggalkan demi mencegah penyebaran virus. Seiring melandainya pandemi bolehlah kita kembali saling bertamu ke tetanggan kanan kiri. Sambil mengantar makanan kita bisa menanyakan kabar dan sebagainya.
Penting untuk diingat bahwa berbuat baik dan memuliakan tetangga merupakan salah satu perintah Allah kepada umatNya yang beriman dan bertaqwa sebagaimana disebutkan dalam Surat An Nisa ayat 36.
Terlebih lagi kepada tetangga yang membutuhkan dan sedang mengalami kesulitan seperti saat pandemi sekarang. Kerelaan kita bersedekah dan menolong mereka bisa mendekatkan kita ke surgaNya.
Satu hal lagi, kedisplinan kita menerapkan protokol kesehatan selama Ramadan, termasuk saat salat berjamaah juga memiliki nilai muamalah yang sangat besar. Sebab dengan tetap mematuhi protokol kesehatan kita sedang menjaga keselamatan sesama manusia.
Bisa dikatakan penerapan prokes saat menjalankan ibadah merupakan salah satu wujud kesadaran tertinggi tentang keseimbangan antara Hablumminallah dengan Habluminannas. Tentang perlunya kesalehan sosial menyertai kesalehan ritual.
Dengan keseimbangan tersebut semoga kita mampu mencapai derajat taqwa yang baik dan benar seperti tujuan puasa Ramadan.