Dari urusan besar, sampai hal kecil, semua harus viral lebih dulu. Contoh terbaru ialah soal toilet berbayar di SPBU Pertamina. Kemarin (23/11/2021) Pertamina mengeluarkan edaran untuk menggratiskan layanan toilet di semua SPBU di bawah jaringannya.
Langkah itu diambil setelah Menteri BUMN melakukan "sidak" ke sebuah SPBU Pertamina di Probolinggo, Jawa Timur. Diketahui bahwa SPBU tersebut mengenakan tarif penggunaan toilet. Meski pengelola menyebut tarif bersifat sukarela, tapi Menteri BUMN menghendaki layanan toilet semestinya gratis sebagai  bentuk layanan fasilitas umum.
Kalau ditarik mundur, sidak Pak Menteri tersebut dipicu oleh sebuah unggahan warganet yang viral di media sosial beberapa hari sebelumnya. Seorang warganet menyebut toilet berbayar di SPBU Pertamina tergolong praktik pungutan liar atau pungli.
Banyak yang sependapat. Tidak sedikit pula yang menganggap bahwa itu bukan pungli. Namun, efek viral unggahan tersebut terbukti berhasil menyita perhatian pejabat  negara sekelas menteri.
Sebenarnya agak aneh juga kalau pejabat tidak mengetahui soal toilet berbayar di SPBU Pertamina. Sebab hal ini sudah berlangsung lama. Meski tidak semua SPBU memungut tarif toilet, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ada "sumbangan sukarela" bagi penggunaan toilet SPBU. Oleh karena itu, jika ingin membenahinya mestinya sudah dilakukan sejak lama tanpa harus menunggu viral terlebih dahulu.
Maka tidak salah jika menyebut bahwa perubahan di negeri ini baru akan terjadi jika telah viral di media sosial. Selama media sosial tidak gaduh, maka pejabat dan aparat bisa santai serta bebas dari tanggung jawab.
Akan tetapi yang menarik ialah respon publik setelah layanan toilet di SPBU digratiskan. Ternyata banyak yang kurang setuju dengan penggratisan toilet SPBU karena khawatir akan berdampak pada kebersihan dan kenyamanan toilet di SPBU. Kekhawatiran tersebut bisa dipahami. Sebab biasanya layanan umum yang gratis atau murah di negeri ini kualitasnya rendah.
Jangan sampai kebijakan toilet gratis di SPBU Pertamina kelak menjadi menjadi pembenaran untuk pengelola mengabaikan kebersihan dan kelayakannya. Apalagi di banyak SPBU, toiletnya berdempetan dengan tempat untuk sholat. Jika kebersihan toiletnya terabaikan, kesucian tempat untuk beribadahnya bisa terganggu.
Langkah menggratiskan layanan toilet di SPBU juga akan dipertanyakan dari sisi konsistensi kebijakan tarif fasilitas umum, terutama yang disediakan oleh pemerintah. Paling tidak hal itu harus diikuti dengan penggratisan layanan toilet di terminal-terminal. Sebab di banyak terminal bus, baik yang dikelola pemerintah daerah maupun Kementerian Perhubungan, kualitas dan layanan toiletnya lebih memprihatinkan dibanding toilet di SPBU. Padahal, terminal-terminal itu juga memungut tarif toilet.
Agaknya dalam urusan toilet di SPBU masyarakat lebih menaruh perhatian pada aspek kelayakan dan kebersihannya. Itulah yang membuat banyak orang tidak keberatan untuk memberi sedikit uang setelah menggunakan toilet di SPBU selama ini.
Lagipula untuk urusan memberi, orang Indonesia sebenarnya jarang merasa dirugikan. Sebab budaya masyarakat Indonesia pada dasarnya merupakan budaya memberi.
Coba tengok hasil World Giving Index 2021 yang baru diumumkan belum lama ini. Indonesia dinobatkan sebagai negara paling dermawan di dunia karena masyarakatnya memiliki tingkat kesukarelaan yang tinggi untuk menolong dan memberi. Indonesia memiliki catatan mengagumkan dalam hal berdonasi, yakni 8 dari 10 orang Indonesia bersedia memberikan uangnya, baik untuk zakat yang wajib maupun sumbangan lain yang sifatnya sukarela.
Masyarakat Indonesia mungkin tidak terlalu peduli dengan predikat di atas. Tidak pula membutuhkan pengakuan dunia. Sebab memberi sudah menjadi karakter alami orang Indonesia. Bahkan, sering orang Indonesia menganggap pemberian mereka sebagai sesuatu yang tidak ada artinya. Ungkapan merendah semisal: "hanya ini yang bisa kami birakan", "jangan lihat jumlahnya", dan sebagainya membuktikan bahwa orang Indonesia sebenarnya tidak suka mempersoalkan perihal pemberian.
Tak perlu diminta, asalkan melihat ada kotak amal maka orang Indonesia akan merogoh saku bajunya. Tak perlu tahu masalahnya, asalkan melihat ada orang yang sedang nelangsa di sekitarnya, orang Indonesia akan mudah tergerak hatinya.
Kentalnya budaya dan karakter memberi itulah yang membuat jasa parkir, jasa toilet, jasa pak ogah, dan jasa-jasa lainnya tak pernah bisa benar-benar hilang dari Indonesia. Meski kadang dibuat kesal dengan tarif parkir di minimarket dan tarif toilet di SPBU, orang Indonesia tidak bisa benar-benar menolaknya.
Mau bagaimana lagi. Sudah karakter orang Indonesia untuk mudah memberi. Oleh karena itu, toilet gratis di SPBU malah bisa membuat orang Indonesia kesulitan menemukan ladang untuk memberi.
Sekian lama terbiasa memasukkan uang ke kotak di depan toilet SPBU, sekarang orang Indonesia akan canggung jika keluar dari toilet SPBU. Sudah mengeluarkan dompet, tapi tidak menemukan kotaknya. Seperti halnya sudah siap untuk memberi uang parkir di minimarket dan tengok kanan kiri mencari juru parkirnya, ternyata tidak ada yang menghampiri. Seperti ada yang kurang.