Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan Pilihan

Benarkah Teroris Tak Terkait Agama dan Tak Punya Agama?

29 Maret 2021   16:04 Diperbarui: 29 Maret 2021   16:02 1178 12
Peristiwa serangan teroris kembali terjadi di Indonesia. Bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar pada Minggu, 28 Maret 2021 mengguncang relung kemanusiaan terdalam. Apalagi terjadi saat berlangsungnya ibadah Minggu Palma yang sakral.

Penyerangan rumah ibadah menunjukkan bahwa pelaku teror mempunyai kebencian pada negara sekaligus tidak senang dengan ketenangan kehidupan bersama yang berbineka. Serangan bom tersebut tidak sekadar bertujuan menimbulkan ketakutan dengan mengincar nyawa manusia, tapi juga dimaksudkan untuk menghancurkan kerukunan masyarakat dengan berupaya menyampaikan pesan kebencian dan intoleransi beragama.

Pelaku teror berharap serangan di gereja akan memicu rasa saling curiga dan tidak suka antar umat beragama. Dengan sengaja menyerang tempat ibadah, teroris mencoba menimbulkan luka batin dan dendam di dalam benak umat beragama. Jika itu terpenuhi maka kehidupan bersama yang selama ini dibina dalam wadah negara kesatuan akan lebih mudah dirusak. Tujuan terorisme untuk menghancurkan dan mengambil alih negara pun akan tercapai.

Kita boleh bersyukur bahwa sejauh ini tidak ada korban meninggal dunia, selain dua orang terduga teroris yang tewas oleh bom miliknya sendiri. Kita berdoa agar tidak ada korban jiwa lagi dan semua korban yang dirawat di rumah sakit bisa segera pulih.

Harus disyukuri pula banyak suara dari tokoh masyarakat, pemuka agama, dan rakyat Indonesia yang menyampaikan simpati dan duka atas peristiwa teror yang terjadi. Itu menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia mempunyai solidaritas yang tinggi.

Respon negara dan pemerintah yang segera mengutuk keras terorisme di Gereja Katedral Makassar juga perlu diapresiasi. Mulai dari Menteri Agama, Menkopolhukam, sampai Presiden Jokowi telah angkat bicara. "Terorisme adalah kejahatan kemanusiaan dan tidak ada kaitannya dengan agama apapun", begitu kata Presiden.

Namun, apakah benar "terorisme tidak terkait agama"? Benarkah pula bahwa "teroris tidak punya agama"?

Dua pernyataan itu paling sering kita dengar setiap kali ada peristiwa teror di Indonesia. Banyak pidato para pejabat negara kerap menyisipkan kedua pernyataan tersebut saat mengutuk peristiwa teror. Demikian pula masyarakat ketika menyampaikan ketidaksenangannya terhadap pelaku teror.

Benar bahwa aksi terorisme bukanlah ajaran agama manapun. Tidak ada agama yang menganjurkan kekerasan dan pembunuhan sebagai manifestasi keberimanan pemeluknya.

Namun, itu tidak sama maknanya dengan "terorisme tidak terkait agama" dan "teroris tidak punya agama".

Terasa bahwa seringkali kedua pernyataan itu didengungkan, justru ada kesan ketidakjujuran dan ketidakmampuan untuk menerima kenyataan bahwa para pelaku teror adalah orang yang punya agama karena mereka juga manusia yang berhak memeluk agama.

Dalam hal ini kelompok-kelompok agama, termasuk kita sebagai pemeluk agama, seolah masih sulit untuk mengakui adanya masalah dalam kehidupan beragama yang dalam kenyataannya sebenarnya sering memperlihatkan adanya gesekan tajam seperti intoleransi, persekusi, dan permusuhan.

Kurang tepat mengatakan "terorisme tidak terkait agama". Sebab hampir semua aksi teror melibatkan tafsir-tafsir agama oleh pelakunya. Artinya para teroris punya pemahamanan agama. Bahwa pemahaman mereka dinilai tidak utuh atau hanya setengah-setengah, itu tidak berarti bahwa mereka tidak punya agama. Banyak di antara kita pun pasti belum menguasai dan memahami ajaran agama sendiri, tapi itu bukan berarti kita tidak punya agama. Bukankah demikian?

Lagipula apakah kita bisa mencabut keagamaan seseorang? Kenyataannya para teroris memeluk agama dan kita tidak bisa membantahnya karena urusan memeluk agama adalah hak semua orang.

Lalu apakah kita akan menyebut mereka dengan atheis? Ini pun sulit sebab mereka mengakui Tuhan dan memiliki keyakinan terhadap Tuhan.

Sikap kita yang terlalu memaklumi bahwa "terorisme tidak terkait agama" dan "teroris tidak punya agama" membuat para teroris semakin leluasa karena mereka menjadi terbebas dari keharusan untuk berpikir ulang atas perbuatannya. Dengan mengatakan "terorisme tidak terkait agama" kita justru meringankan beban perbuatan teroris sebab mereka menjadi tidak merasa bersalah atau berdosa atas orientasi keberimanan dan ketuhanan mereka.

Di sisi lain pemakluman tersebut membuat kita menjadi kurang tajam dalam mengantisipasi dan membaca fenomena-fenomena bibit terorisme di sekeliling kita. Ini tampak pada kecenderungan kita untuk menganggap remeh ujaran-ujaran intoleran dan diskriminasi yang kita anggap hal biasa, padahal intoleransi merupakan bibit dari terorisme.

Gejala ambiguisitas semacam itu terlihat jelas dalam masyarakat kita akhir-akhir ini. Pada satu sisi kita mengutuk perbuatan teror, tapi pada sisi yang lain kita membiarkan bibitnya bersemi.

Dan pernyataan "terorisme adalah kejahatan kemanusiaan dan tidak ada kaitannya dengan agama apapun", seperti yang disampaikan oleh Presiden Jokowi mencerminkan ambuguisitas yang sama.

Bukankah agama dan kemanusiaan tidak bisa dipisahkan? Dasar negara kita Pancasila juga menempatkan kemanusiaan bagian dari ketuhanan dan ketuhanan mencakup kemanusiaan.

Oleh karena itu jika dikatakan "terorisme merupakan kejahatan kemanusiaan", memungkinkan pula untuk kita mengatakan bahwa "terorisme terkait agama".

Lagipula kalau dianggap "terorisme tidak terkait agama" dan "teroris tidak punya agama", maka kita pun harus mau dan berani mengatakan bahwa "maling ayam tidak punya agama", "koruptor tidak punya agama", "politisi penyebar hoaks tidak punya agama", "ustad cabul tidak punya agama", "ulama penebar kebencian tidak punya agama", dan seterusnya.

Maukah kita melakukannya?

Kita harus konsisten menyatakan demikian sebab perbuatan mencuri dan korupsi juga bukan ajaran agama.  Tidak ada agama yang membolehkan pemeluknya untuk memfitnah, menyebar hoaks, mencuri dan seterusnya seperti halnya terorisme dilarang oleh agama.

Akan tetapi banyak di antara kita justru tetap memuja koruptor, pelaku fitnah, dan penyebar hoaks dengan sebutan dan atribut agama seperti uztad, imam, ulama dan seterusnya?

Jika terhadap mereka kita memperlihatkan sikap penerimaan, mengapa pada teroris kita buang badan dan lepas tangan dengan menganggap mereka tidak ada kaitannya dengan agama?

Kita jadi bertanya-tanya, rujukan seperti apa dan bagaimana kita menggambarkan sosok atau entitas yang beragama dan terkait agama dengan yang tidak punya agama dan tidak terkait agama?

Kalau kita sepakat untuk mengatasi semua persoalan dan kesulitan secara damai, kita perlu lebih dulu berdamai untuk menerima kenyataan bahwa aksi teror bisa terkait agama, bisa dari agama apapun, dan pelakunya memeluk agama. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun