Minggu, 2 Februari 2020 merupakan pemulangan gelombang pertama yang dilakukan Pemerintah Indonesia terhadap para WNI tersebut akibat cekaman virus Corona yang bermula dari Wuhan lalu menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Siapa pun yang mengikuti pemberitaan ketika itu pasti merasakan ketegangan sekaligus keharuan. Mengingat Wuhan yang menjadi episentrum pertama pandemi Covid-19 digambarkan sebagai kota mati. Bahkan sejumlah potongan video yang tersebar di media sosial serta dimuat di berbagai saluran berita memperlihatkan kondisi Wuhan yang mencekam.
Lockdown yang dilakukan pemerintah Tiongkok terhadap Wuhan memaksa warga kota itu, termasuk WNI, untuk berdiam di tengah kepungan Corona. Hingga kemudian situasi semakin mencemaskan, para WNI menyampaikan keinginan untuk keluar dari wilayah itu.
Evakuasi akhirnya ditempuh oleh Pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan WNI sekaligus memulangkan mereka kembali ke tanah air. Proses pemulangan menggunakan pesawat khusus yang terbang langsung dari Wuhan ke Indonesia tanpa transit digambarkan sebagai pemulangan yang dramatis sekaligus heroik.
Sebab ini bukan pemulangan biasa. Penyelamatan WNI dari Wuhan memang tak melibatkan adegan pertempuran bersenjata. Akan tetapi cekaman dan ancaman virus Corona pada saat itu menempatkan semua orang dalam pertaruhan nyawa.
Maka setiap babak evakuasi, mulai sejak pelepasasn tim penjemput yang disiarkan TV, pemberangkatan WNI dari Wuhan, diterbangkan ke Batam, hingga diangkut menuju Natuna untuk dikarantina dan diobservasi, menjadi perhatian banyak masyarakat Indonesia.
Banyak orang berdoa dan menantikan kabar baik dari evakuasi tersebut. Banyak orang serius mengamati layar TV ketika pintu pesawat terbuka lalu satu persatu WNI turun dan disemprot disinfektan.
Demikian halnya ketika muncul penolakan dari warga Natuna yang merasa terancam dengan karantina WNI dari Wuhan di daerah mereka. Sebab mereka menganggap para WNI itu membawa penyakit yang berbahaya.
Tidak sedikit masyarakat Indonesia yang kecewa dengan penolakan yang dilakukan oleh warga Natuna. Akan tetapi warga Natuna juga tidak sepenuhnya salah. Sebab pemerintah memang sedikit teledor karena terlambat melakukan komunikasi dan koordinasi dengan pemerintah daerah serta warga Natuna soal karantina WNI dari Wuhan.
Syukurlah polemik penolakan bisa segera reda. Sampai karantina berakhir, pelepasan para WNI untuk mulai dipulangkan ke daerah masing-masing dilakukan dengan seremoni yang penuh haru. Mereka bahkan diberi gelar oleh Menkes dengan sebutan "Duta Covid-19".
Ungkapan kegembiraan dan rasa lega terpancar dari para WNI tersebut. Mereka telah keluar dari pusat pandemi meski tidak mudah. Terbang menuju tanah air, menjalani karantina di tempat terpencil dan akhirnya kembali ke rumah masing-masing.
Untuk beberapa hari semuanya tampak melegakan. Indonesia diyakini lebih kebal terhadap Corona dibanding tempat manapun, termasuk Wuhan. Sampai sebulan kemudian datang sebuah berita yang membawa kecemasan.
Senin, 2 Maret 2020, tepat sebulan setelah evakuasi dari Wuhan, Presiden Jokowi dan Menteri Kesehatan muncul bersama di layar TV. Sambil duduk di sofa, keduanya mengabarkan bahwa Corona telah masuk ke Indonesia. Dua orang pasien pertama yang berasal dari Depok, Jawa Barat, terjangkit Covid-19 dan dirawat di RS Sulianto Saroso.
Itulah hari dimulainya perang melawan pandemi Covid-19 di Indonesia. Perang yang kini sudah berlangsung nyaris satu tahun lamanya. Perang melelahkan yang tanpa jeda. Juga tanpa tanda-tanda kapan pandemi akan menyingkir dari negeri ini.
Sementara Wuhan yang dulu dicekam pandemi dan Tiongkok yang sempat dibuat kewalahan, belajar dengan baik dan cepat. Bersakit-sakit dahulu, menang kemudian. Begitulah resep Wuhan dan Tiongkok secara umum.
Hasilnya, pada pertengahan 2020 kondisi pandemi di Wuhan mulai terkendali. Walau Corona tetap mengancam, tapi catatan keberhasilan melawan pandemi ditorehkan di sana.