"Kita serius bekerja di lapangan, nggak membuat konten". Terasa dalam kata-kata itu meluncur dari seorang anggota BPBD di Jawa Tengah Oktober lalu.
Entah bermaksud ingin menegaskan bahwa mereka tetap tegak melawan pandemi atau hendak menyindir halus pemimpin mereka yang saat pandemi mengganas justru masih sempat melawat jauh-jauh dan merekam konten untuk youtube.
Begitulah kontradiksi di tengah pandemi. Ada yang berkeringat deras menjadi garda di muka, tapi ada pula yang lebih beruntung di belakang meja dengan cukup memberi petunjuk, berdiplomasi dengan teori-teori, lalu memanfaatkan pandemi sebagai instrumen memoles citra diri.
Ada yang benar-benar pahlawan sejati di ruang bertekanan negatif, tapi kurang dianggap. Sebab yang dilirik hanya pahlawan di media dan media sosial.
Ada yang menahan letih sampai pecah kulit wajahnya dan memberikan hidup matinya demi menjaga hidup mati orang lain. Tapi ada pula yang enteng berkata "hidup mati sudah digariskan Tuhan".
Meski jiwa-jiwa terus bertumbangan, bagi mereka yang tak peduli, pandemi hanya kebohongan. Percaya pada Corona berarti tunduk pada kebohongan dan konspirasi.
Begitulah Indonesia hari ini setelah berbulan-bulan menggempur dan digempur oleh musuh yang tak terlihat.
Kenyataan bahwa banyak di antara kita tetap gigih dan pantang menyerah menghadapi pandemi besar kemungkinan merupakan buah dari karakter bangsa pejuang. Dalam untaian panjang DNA orang Indonesia terselip beberapa spot gen pejuang yang diwariskan dari darah dan keringat pahlawan selama ratusan tahun penjajahan.
Memang tampaknya gen-gen tersebut lebih sering terbenam. Ekspresinya yang dipicu oleh stimulus lingkungan menjadikannya istimewa: "pejuang tak harus menunjukkan dirinya di mana-mana, tak mesti terkenal dan dikenal, tapi daya penyelamatannya nyata dirasakan"
Sementara ada yang terus-menerus memotivasi dengan mengulang kata-kata: "kita harus optimis". Sayangnya tak cukup tanda-tanda optimisme yang diberikan.