Sejumlah studi memang telah memprediksi kapan gelombang pandemi akan memuncak dan menurun. Namun, pada dasarnya hari-hari mendatang masih belum menentu.
Situasi ini terjadi hampir di seluruh dunia. Kecemasan dirasakan tidak hanya di Indonesia. Harus diakui kita semua memiliki kekhawatiran yang mendalam. Apalagi bila di lingkungan kita atau bahkan anggota keluarga kita sudah ada yang terjangkit Covid-19.
Hari ini doa-doa panjang kita pasti disemai dengan harapan bahwa Corona akan segera hilang. Setiap tidur dan memajamkan mata kita menggantungkan harapan bahwa Covid-19 akan hilang saat membuka mata esok hari. Setiap ada kabar baik tentang pasien yang sembuh, kemajuan uji coba vaksin, dan sebagainya muncul keyakinan semua itu akan terkabulkan.
Namun, di sisi lain kita harus menerima bahwa saat ini merupakan salah satu periode kelam dalam sejarah kehidupan manusia. Oleh karena itu, wajar jika kita bertanya-tanya. Apakah kita akan segera memenangi perang melawan pandemi ini? Bagaimana nanti kita menjalani hidup setelah masa-masa sulit ini? Akankah esok mengharuskan kita beradaptasi dan hidup beramah-ramah dengan virus?
Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan semacam itu bukan tidak ada. Akan tetapi dalam sebuah bencana dan krisis manusia sering bertanya bukan untuk mendapatkan jawaban dari sesama manusia. Melainkan sebagai cara untuk berdialog dengan diri sendiri sekaligus berupaya berinteraksi lebih dekat dengan yang Maha Kuasa.
Masyarakat Indonesia biasa memetik hikmah dari setiap peristiwa. Pemaknaan kita terhadap bencana telah menjadi bagian dari representasi sosial dan mental akibat pengaruh pengetahuan, pengalaman, budaya dan agama yang begitu kental.
Begitupun saat ini saat pandemi membuat kita terenyak dan tercekam. Kita seperti mendapatkan hukuman yang tidak hanya tiba-tiba, tapi juga besar dampaknya. Tuhan dan alam seolah kompak memberikan peringatan keras kepada manusia untuk memperbaiki cara hidup.
Ya, pandemi Covid-19 merupakan pelajaran hidup terbesar bagi umat manusia sekarang. Kalau secara eksplisit hal itu belum juga dimengerti oleh manusia, maka secara implisit Tuhan menuntun melalui serangkaian peristiwa agung yang datang di tengah-tengah pandemi.
Pertengahan April lalu sebagian masyarakat Indonesia merayakan Paskah. Tak lama setelah itu umat Islam yang mayoritas mulai menjalani Ramadan. Sementara hari ini umat Budha meresapi Waisak.
Banyaknya momen keagamaan di tengah pandemi Covid-19 adalah sebuah petunjuk bagi setiap orang agar kembali sedekat mungkin dengan Tuhan. Pandemi menuntun manusia untuk memperbaiki hubungannya dengan sesama manusia, alam, dan Sang Pencipta. Sebagai pribadi yang beragama setiap orang diminta untuk mengarahkan ketundukkannya kepada yang Maha Kuasa.
Salah satu konsekuensi dari ketundukkan itu ialah kita semua wajib yakin bahwa Tuhan tidak akan membiarkan makhluknya bergulat dalam cobaan yang tak disertai jalan keluar. Tidak mungkin Tuhan menguji kita di luar batas kemampuan kita.
Pembentukan keyakinan tersebut pada hakikatnya mampu mendorong manusia mengembangkan kemampuan menghadapi bencana, termasuk pandemi Covid-19. Setiap orang yang beriman, apapun agamanya, akan memandang bencana sebagai ujian sekaligus kesempatan untuk menaikkan derajat.
Tidak ada orang yang tidak ingin naik derajat. Tapi caranya ialah harus lulus menghadapi ujian. Jika tidak lulus manusia akan turun derajatnya. Jadi pilihan terbaik dalam menghadapi pandemi ialah dengan memeranginya secara maksimal.
Motivasi ini, ditambah dorongan keyakinan terhadap pertolongan Tuhan, diperkuat sikap sabar serta perilaku selaras dengan kehendak alam serta Maha Pencipta, sudah semestinya membuat kita optimis bahwa ujian ini akan kita lewati bersama dengan kemenangan.