Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Melihat & Menikmati Alunan Gamelan Pusaka Kraton Yogyakarta

13 Januari 2014   13:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:52 204 0

Tak terlalu keras namun bunyi gendhing itu berhasil membuat saya serta sejumlah orang lainnya yang yang kebanyakan orang tua hening untuk beberapa waktu. Penabuhnya yang mengenakan pakaian tradisi penuh wibawa menambah kesan hidmat bunyi-bunyian itu. Beberapa menit awal bunyi yang dihasilkan memang monoton dengan jeda antar pukulan lumayan lama. Tapi gaung dari pukulan sebelumnya awet di telinga. Barulah sekitar 20 menit kemudian tempo yang dimainkan mulai meninggi meski tetap sangat “ballad”. Kali ini bunyinya semakin bersuara. Sayapun semakin menikmati iramanya.

Abdi dalem memainkan Gamelan Sekaten yang menjadi pusaka Kraton Yogyakarta (12/1/14). Gamelan Sekaten terdiri dari Gamelan Kyai Nagawilaga dan Kyai Guntur Madu. Keduanya hanya dikeluarkan dari Kraton pada minggu terakhir perayaan Sekaten.

Pagelaran Sekaten Yogyakarta mendekati akhir. Bagian utama dari perayaan tahunan ini sudah tiba di ujung hari ke-7 nya. Namun bukan berarti sisa-sisa perayaan yang bisa disaksikan. Sebaliknya 2 hari terakhir adalah puncak dari tradisi yang digelar sebagai bagian dari peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW.

Meski ada beberapa kalangan tidak sependapat perayaan ini dikaitkan dengan hari lahir sang Nabi, namun Sekaten tetap dirawat sebagai bagian dari warisan luhur budaya Yogyakarta dan masyarakatnya. Dan saya beruntung bisa menyaksikan salah satu bagian utamanya yakni Gamelan Sekaten.

Gamelan Sekaten adalah salah satu pusaka Kraton Yogyakarta. Ia tak bisa disaksikan pada sembarang waktu melainkan hanya dikeluarkan dari Kraton dan ditabuh saat bagian utama pagelaran Sekaten. Gamelan Sekaten Yogyakarta memiliki dua rancak yaitu Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Sudah lama saya mendengar nama kedua gamelan pusaka tersebut dan akhirnya bisa menyaksikan keduanya ditabuh.

Persiapan di Pagongan Lor sesaat Gamelan Kyai Nagawilaga akan ditabuh.

Menurut cerita gamelan sekaten dibuat pada masa Sultan Agung (1593-1646). Konon gamelan ini adalah gamelan laras pelog yang pertama kali dibuat. Alat pemukulnya dibuat dari tanduk lembu atau tanduk kerbau sehingga bunyi pukulannya bening dan itulah yang saya dengarkan ketika gamelan ini dimainkan. Tidak nyaring karena tidak menggunakan pengeras suara namun cukup bening dan kuat di telinga.

Hanya dikeluarkan dari Kraton pada minggu terakhir Sekaten, kedua gamelan dibawa dan dimainkan di dua pagongan Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta. Pagongan Lor menjadi tempat Gamelan Kyai Nagawilaga sementara Pagongan Kidul untuk Gamelan Kyai Guntur Madu. Selama berada di pagongan Masjid, kedua gamelan tersebut dimainkan dari pukul 08.00 hingga 23.00. Gamelan hanya berhenti dimainkan pada waktu sholat lima waktu tiba dan satu jam setelahnya.

Para penabuh gamelan adalah abdi dalem pilihan yang telah menjalani riual khusus.

Tidak sembarang orang bisa dan boleh memainkan Gamelan Sekaten. Adalah para abdi dalem pilihan yang menjadi penabuh gamelan tersebut atau yang disebut niyaga. Mereka harus menjalani ritual puasa dan mensucikan diri sebelum memainkan gamelan pusaka.

Sebelum gending dimainkan, seorang abdi dalem yang bertindak seperti konduktor dalam orkestra akan berada di depan. Ia akan menghadap seorang penabuh yang menempati posisi paling depan dan paling tengah. Di belakangnya sejumlah abdi dalem lain menghadap perangkat gamelannya masing-masing. Selama gamelan ditabuh beberapa abdi dalem yang biasanya lebih tua akan duduk di sisi kanan dan kiri. Mereka menunduk hikmat sambil membaca sebuah lembaran kertas. Menurut informasi mereka bertugas menghitung atau mengawasi gending yang dimainkan agar sesuai maknanya.

Masyarakat berkerumun di depan Pagongan Lor untuk melihat dan mendengarkan Gamelan Nagawilaga ditabuh.

Gamelan Kyai Nagawilaga dan Kyai Guntur Madu ditabuh secara bergantian. Ketika sebuah gending selesai dimainkan oleh Gamelan Nagawilaga di Pagongan Lor, makan geding berikutnya segera dimainkan lewat Gamelan Guntur Madu di Pagongan Kidul, begitupun sebaliknya. Jarak kedua pagongan tersebut sekitar 50 meter. Sejauh itu pula masyarakat yang ingin menyaksikan kedua gamelan harus bolak-balik.

Persiapan di Pagongan Kidul sesaat sebelum Gamelan Kyai Guntur Madu ditabuh bergantian dengan Gamelan Kyai Nagawilaga di Pagongan Lor.

Namun meski merupakan pusaka Kraton, tak banyak pengunjung Sekaten termasuk pengunjung masjid yang tertarik menyaksikan atau mendengarkan alunan gending dari gamelan Nagawilaga dan Guntur Madu. Kebanyakan pengunjung lebih memilih larut dalam aneka wahana permainan dan lapak-lapak pedagang di pasar sekaten. Sementaramereka yang memenuhi pagongan lebih banyak orang tua dan para simbah yang berjalan sambil dituntun kerabatnya yang lebih muda. Beberapa di antara mereka sengaja datang dari Kulon Progo atau Batul yang jauh dari kota Jogja. Selama gamelan ditabuh sesekali terlihat kepala mereka bergerak nyaman seolah mengerti makna dari alunan gending yang dimainkan. Para orang tua itu juga tak peduli dengan panasnya matahari di halaman pagongan. Mereka tetap bertahan meski setiap gending dimainkan dalam waktu yang cukup lama antara 30-40 menit. Tampaknya mereka lebih bisa memaknai dan merawat tradisi dibandingkan generasi saya. Padahal menurut saya alunannya sangat manis meski saya pun tak benar-benar tahu maknanya.

Mereka yang menonton dan menyimak Gamelan Sekaten kebanyakan adalah orang tua dan para simbah.

Menurut sebuah kajian Gamelan Sekaten Kraton Yogyakarta mengandung sejumlah makna dan nilai tentang Ketuhanan, hidup manusia, kerukunan, gotong royong, sopan santun dan sejumlah prinsip harmonis yang perlu dikembangkan manusia dana berperilaku.

Gamelan Kyai Guntur Madu ditabuh di Pagongan Kidul.

Gamelan Pusaka ditabuh dengan pemukul yang terbuat dari tanduk kerbau atau lembu.

Gamelan Sekaten juga berfungsi simbolik bagi ulama, masyarakat dan raja. Bagi ulama gamelan menjadi sarana penyebaran agama dan bagi masyarakat gamelan adalah media untuk menyehatkan raga dan jiwa serta mendapatkan kesejahteraan ekonomi. Oleh karena itu di sekitar pagongan tempat gamelan sekaten dimainkan ada banyak sekali penjual nasi gurih, endog abang (telur merah) dan sirih. Bagi raja gamelan menjadi bagian dari simbol kekuasaan dan kebesaran pemimpin rakyat.

Sementara alunan gendhing yang dimainkan gamelan tersebut cenderung lembut dengan tempo yang pelan mengandung makna puji-pujian kepada Allah. Gendhing Salatun misalnya, mengandung ajaran tentang sholat sementara gendhing rangkung berarti Pangeran Maha Agung. Kebanyakan gendhing sekaten tersebut adalah karya para wali songo.

Kesempatan langka melihat dan mendengarkan dari dekat Gamelan Pusaka Kraton Yogyakarta ditabuh. Gamelan ini akan dimainkan terakhir kali pada 13 Januari 2014 sebelum "dijemput pulang" oleh Sultan untuk disimpan kembali di dalam Kraton.

Tahun ini Gamelan Pusaka Kyai Nagawilaga dan Kyai Guntur Madu akan dimainkan sampai 13 Januari 2014. Selanjutnya pada malam harinya gamelan akan dibawa kembali masuk ke Kraton untuk disimpan. Penjemputan kedua gamelan dilakukan jelang tengah malam oleh para prajurit melalui prosesi istimewa yang dipimpin langsung oleh Sultan Yogyakarta. Selama menjemput gamelan Sultan akan menemui rakyatnya. Penjemputan Gamelan Sekaten oleh Sultan sekaligus menandakan bahwa Grebeg Maulud siap digelar esok harinya.

Gamelan Sekaten ditabuh di hadapan masyarakat setahun sekali.

Di tengah hiruk-pikuk keramaian pasar perayaan Sekaten, di antara jejalan permainan dan pasar rakyat yang dipadati pengunjung, alunan gamelan ini menjadi pengingat masyarakat akan tanah dan penciptanya. Sebuah kesempatan langka menyaksikan gamelan pusaka ini ditabuh serta menikmati alunannya yang menenangkan. Dan ketika gongnya ikut ditabuh seketika terasa alunan gendingnya benar-benar “bernyawa”. Lebih dari sekedar seperangkat logam, bukan hanya sederet pukulan yang menghasilkan alunan gendhing, Gamelan Pusaka Kraton Yogya ini sarat makna.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun