Wanita itu begitu gembira memenangi berkah Gunungan yang diperebutkannya bersamaribuan warga. Sambil berjalan cepat keluar dari kerumunan ia menunjukkan apa yang didapatnya dan berteriak “tiwul ayu”. Bangga dengan keberhasilannya “ngalap berkah” ia pun menghampiri beberapa orang yang membawa kamera hingga akhirnyaberhenti di tempat kami berkumpul mengabadikan momen Grebeg Maulud Yogyakarta siang itu.
Nenek Astuti menunjukkan segenggam tiwul yang didapatkannya saat berebut Gunungan di Grebeg Maulud Yogyakarta (14/1/2014).
Luar biasa, itulah yang mungkin pantas menggambarkan semangat Astuti, nenek berusia 61 tahun yang kemarin (14/1/2014) turut larut dalam kemeriahan Grebeg Maulud di halaman Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta. Ia sama sekali tak gentar berebut Gunungan dengan ribuan orang yang lebih bertenaga darinya. Sebaliknya ia malah berhasil meraih segenggam tiwul di saat banyak orang lainnya gagal meraih Gunungan.
Astuti memang tidak sendiri. Hari itu ada banyak orang tua seusianya yang juga ikut berdesak-desakkan demi berebut Gunungan. Mereka datang bukan hanya dari Kota Yogyakarta namun banyak juga yang berangkat dari rumahnya di Magelang, Wonosobo, Kebumen hingga Solo. Awalnya ketika melihat mereka berjam-jam menunggu dari pagi saya ragu para orang tua itu punya cukup tenaga untuk berebutan Gunungan siang harinya. Tapi ketika Gunungan memasuki halaman masjid dan selesai didoakan seketika saya terpana melihat mereka berlarian sempoyongan merangsek menyerbu Gunungan. Gila!.
Tapi yang membuat nenek Astuti berbeda dan menjadi pusat perhatian bagi sebagian pewarta dan fotografer adalah “ekspresi kemenangannya” ketika berhasil mendapatkan segenggam tiwul. Kami tak perlu susah mengejarnya karena ia begitu bersemangat menghampiri kami yang sebenarnya sudah akan meninggalkan halaman masjid.
Nenek Astuti bercerita tentang perjuangannya berebut Gunungan. Ia mengayuh sepedanya dari Sedayu menuju Kota Yogyakarta sejauh 25 km demi "ngalap berkah" di Grebeg Maulud.
“Nami kulo Astuti, umur kulo 61, kelahiran 52. Suami kulo saking Nogotirto. Nogo artinya naga, tirto air” (Nama saya Astuti, umu saya 61, kelahiran 52. Suami saya dari Nogotirto. Nogo artinya aaga, tirto air). Begitulah ia memperkenalkan diri dan seolah tahu sejumlah orang terus mendekat tertarik dengan sosoknya, ia pun beberapa kali mengulang perkenalan dirinya. Tanpa ditanya nenek Astuti pun menceritakan tentang tiwul yang didapatkannya juga tentang perjuangannya “ngalap berkah” Gunungan tahun ini.
Berangkat saat hari masih gelap, nenek Astuti mengayuh sepeda tua dari rumahnya di Sedayu, Bantul yang berjarak 25 km dari Kota Yogyakarta. Tekad nenek Astuti mengikuti Grebeg Maulud rupanya sangat kuat. Jangan tanya berapa lama ia harus mengayuh sepeda seperti seumuran kita bisa melahap 30 km tanpa lelah. Nenek Astuti pun datang tidak seadanya. Seolah menunjukkan niatnya, di datang dengan kebaya berwarna ungu dan berdandan layaknya orang Jawa pergi ke sebuah hajatan. Bedak melumuri wajahnya dan sanggul menghiasi rambutnya yang beruban.
Perjuangan nenek Astuti tak sia-sia. Setelah jauh bersepeda dari rumahnya, berjam-jam menunggu dan berdesakkan dengan ribuan orang, apa yang ia inginkan akhirnya tarcapai. Segenggam tiwul di tangannya ia maknai sebagai sebuah harapan lancarnya rezeki bagi dirinya nanti. Ia juga meyakini tiwul itu akan mendatangkan kebahagiaan dan panjang umur bagi dirinya.
Menurutnya tiwul yang didapatkannya bernama tiwul ayu. Ketika ditanya apakah sejak awal mengincar tiwul tersebut, nenek Astuti menjawab tidak. Menurutnya seluruh bagian Gunungan memiliki makna berkah yang sama. Tak masalah mendapatkan apa saja bahkan potongan kecil bilah bambu sisa Gunungan pun tetap bermakna. Namun nenek Astuti sangat gembira berhasil mendapatkan tiwul dalam jumlah banyak. Begitu senangnya dengan apa yang didapat hingga ia menolak membaginya dengan beberapa orang yang menghampirinya untuk meminta sedikit “berkah” dari apa yang didapatkannya itu.
“Eh mboten pareng, ampun..”.Begitulah cara ia menolak orang-orang yang ingin meminta tiwul darinya. Sementara keringat masih mengalir dari kedua lengannya sementara peluh melunturkan bedak di wajahnya. Sepanjang itu pula ia terus mengangkat tangan kanannya yang menggenggam tiwul berwarna coklat keemasan.
Luar biasa, nenek Astuti berhasil memenangkan tiwul di tengah ribuan warga yang berebut Gunungan ini.
Nenek Astuti adalah satu dari banyak orang yang meyakini bahwa “ubo rampe” Gunungan Grebeg Maulud bisa mendatangkan berkah bagi siapapun yang mendapatkannya. Tak heran setiap tahunnya ribuan orang dari banyak daerah rela berdesak-desakkan di halaman Masjid Gedhe Kauman demi berebut Gunungan. Banyak di antara mereka yang menginap tidur dengan alas tikar atau koran seadanya di halaman masjid pada malam hari sebelumnya. Sementara yang lain datang berduyun-duyun sejak subuh hingga pagi hari. Mereka yang ingin mengikuti Grebeg Maulud memang harus datang sedini mungkin karena halaman Masjid Gedhe Kauman yang menjadi tempat berlangsungnya prosesi sudah ditutup sejak jam 8 pagi.
Nenek Astuti percaya tiwul ayu yang didapatkannya akan mendatangkah berkah dan rezeki baginya.
Keyakinan orang-orang seperti nenek Astuti terhadap berkah dari Gunungan tak lepas dari budaya dan sejarah Gunungan itu sendiri. Gunungan dibuat oleh para abdi dalem Kraton disertai doa selama pembuatannya. Gunungan tersebut juga didoakan kembali oleh ulama di halaman masjid sebelum diperebutkan. Doa itulah yang membuat Gunungan diyakini memiliki berkah. Akhirnya ribuan orang pun rela berdesak-desakkan “ngalap berkah” dari Gunungan tersebut. Antusiasme mereka tak pernah surut setiap tahunnya. Dan kali ini nenek Astuti menjadi salah satu pemenangnya.
Bersepeda jauh dari rumahnya, usia tuanya seakan tak merasakan lelah mengantarnya ke Yogyakarta. Berbadan renta, ia percaya Gunungan itu adalah berkah bagi dirinya. Siang itu ia pun pulang ke Sedayu dengan segenggam tiwul ayu.
Cerita Terkait:
Meriahnya Grebeg Maulud Yogyakarta