Beragam reaksi dan pendapat muncul saat diumumkan eksistensi lembar Kompasiana Freez di harian Kompas resmi diakhiri. Ada yang terkejut meski ada juga yang tidak heran mengingat di buku karya Pepih Nugraha, Kompasiana Etalase Warga Biasa telah diungkap sejumlah bocoran baik yang tersurat maupun tersirat mengenai apa saja yang akan terjadi dengan Kompasiana setelah melewati masa 5 tahunnya.
Statistik pembaca di Scoop tahun 2013 (blog.getscoop.com). Akses terbanyak (70%) berasal dari perangkat Apple sementara kaum pria adalah pengguna terbanyak. Nasib Majalah Digital Kompasiana dan segmentasinya akan dipengaruhi setidaknya oleh dua hal tersebut.
Ada yang bangga tapi juga ada yang kecewa karena selama ini berharap bisa menjadi penyaji Kompasiana Freez di Kompas namun akhirnya asa itu tak terlaksana. Sebagai seorang Kompasianer yang sudah 7 kali ikut menyumbang tulisan di lembar cetak Kompasiana Freez saya pun akan merindukan lembar istimewa tersebut.
Akan ada transisi dan mungkin perbedaan rasa serta sensasi. Ketiadaan yang mungkindisusul dengan surutnya usaha “ngoyo” Kompasianer yang kerap berlomba menghasilkan tulisan tematik menarik supaya nama dan tulisannya bisa tercetak pada lembar terbatas di Kompas. Benarkah akan surut?
Mungkin tak akan ada lagi ekspresi bahagia jurnalis warga yang menunjukkan dengan bangga kepada kerabat mereka saat cerita perjalanannya, reportase dan fotonya muncul di Kompas. Kompasiana Freez berevolusi menjadi sebuah Majalah Digital. Intinya ada yang menyayangkan tapi banyak juga yang menyambut gembira mengingat gantinya adalah sebuah majalah.
Mau dikatakan apalagi, perubahan adalah sebuah keniscayaan. Terlebih bagi Kompasiana yang semenjak lahir sudah cukup lekat dengan inovasi. Kelahirannya pun merupakan hasil dari sebuah inovasi. Inovasi mungkin menjadi nafas Kompasiana. Maka berakhirnya lembar cetak Kompasiana Freez di harian Kompas untuk selanjutnya digantikan dengan majalah Kompasiana tak lain adalah bentuk inovasi. Inovasi yang menurut beberapa Kompasianer adalah bagian dari mewujudkan satu demi satu “cita-cita tertunda” Kompasiana dan penggagasnya.
“Majalah Digital Kompasiana”, sesuatu yang terdengar keren. Apalagi diikuti sejumlah bayangan mengenai bagaimana wajahnya nanti. Apa pun namanya nanti, Majalah Digital Kompasiana adalah sesuatu yang pantas ditunggu. Saya pun sudah tak sabar menyambutnya.
Namun mari simpan sejenak keriaan menyambut Majalah Digital Kompasiana yang diharapkan lahir Maret mendatang. Ada sebuah hal yang menarik untuk dijadikan pertanyaan, yakni: Seperti Apa Nasib Majalah Kompasiana Digital Nanti?.
Pertanyaan yang sangat dini? Rasanya tidak. Pertanyaan itu bahkan mungkin sudah dipertimbangkan secara matangoleh Kompasiana dan berkeliaran di pikiran para penggagasnya ketika ide Majalah Digital Kompasiana digulirkan di ruang kreatif mereka.
Layaknya setiap perubahan yang selalu diikuti tantangan, inovasi Majalah Digital Kompasiana akan mendapatkan tantangan di lingkungan barunya, juga terkait dengan wajah barunya nanti. Oleh karena itu mari kita meraba nasib Majalah Digital Kompasiana lewat tantangan yang mungkin dihadapi ketika ia lahirdan selanjutnya tumbuh untuk mencoba berkembang.
Pertama,Majalah Digital Kompasiana direncanakan tersedia di SCOOP, salah satu bagian dari Kompas Gramedia Digital Group. Sementara versi pdf nya akan ada di website Kompasiana. Scoop merupakan aplikasi membaca yang bekerja pada perangkat gadget (handphone & tablet) berbasis Android, iOS dan Windows Phone. Sejauh ini Scoop belum bekerja di perangkat PC. Oleh karena itu Majalah Kompasiana Digital nantinya akan lebih mudah diakses oleh mereka para pemegang gadget tertentu.Hal ini menjadi tantangan karena meski versi pdf nya akan disediakan dan bisa dibaca melalui pdf reader biasa di PC, segmentasi Majalah Digital Kompasiana sedari awal akan dipengaruhi oleh karakteristik Scoop dan jenis gadget yang mendukungnya.
Toko on line Scoop menyajikan puluhan hingga ratusan judul dari majalah, koran dan buku yang terbit di berbagai negara termasuk Indonesia, Singapura dan Amerika Serikat (www.getscoop.com)
Sebuah data menarik dihimpun oleh Scoop mengenai kebiasaan pembaca majalah digital di Indonesia. Data Scopp tahun 2013 menunjukkan bahwa 70% pengguna Scoop adalah mereka yang menggunakan perangkat Apple. Sisanya adalah pengguna gadget berbasis Android. Untuk perangkat Apple, akses Scoop didominasi dari iPad (52%), disusul iPhone (46%) dan iPod Touch (3%). Sementara dari gadget Android akses terbanyak dari pengguna Samsung (68%) menyusul perangkat lainnya (lihat gambar di bawah).
Statistik menunjukkan bahwa Majalah Digital banyak diakses dari perangkat Apple dan Android. Sementara iPad dan iPhone paling banyak digunakan untuk mengakses majalah digital (blog.getscoop.com)
Apakah data tersebut menjadi indikasi Majalah Kompasiana Digital akan mendapatkan banyak pembaca dari kedua “komunitas” tersebut? Mungkin saja, tapi tidak serta merta signifikan karena kebiasaan pembaca majalah digital di Indonesia tidak hanya tergantung dari kedua perangkat gadget tersebut. Juga tidak sepenuhnya ditentukan oleh berapa banyak Kompasianer yang menggunakan iOS, Android dan Windows Phone.
Kedua, Majalah Digital Kompasiana akan bersaing dengan ratusan judul dalam meraup pembaca.Scoop adalah sebuah toko sekaligus ruang bacaon line yang berisi sekitar 650 majalah, 10.000 buku, 55 koran dengan total edisi mencapai 28.000 serta catatan distribusi pertahun tercatat 2.000.000 edisi. Mereka yang ingin membaca majalah, buku atau koran favoritnya di Scoop mendapat pilihan untuk membeli edisi tertentu atau berlangganan. Sementara beberapa judul tersedia gratis.
Pada tahun 2013 Top 10 Majalah berbayar yang paling banyak diakses dimenangi oleh Tempo disusul beberapa judul seperti Popular, FHM, Cosmopolitan. Sementara untuk judul yang paling banyak dilanggan ditempati oleh Cosmopolitan di nomor 1 disusul Kompas di nomor 2 (lihat gambar di bawah).
10 Majalah berbayar paling laris dan 10 judul yang paling banyak dilanggan di Scoop selama 2013 (blog.getscoop.com).
Belum diketahui pasti apakah Majalah Digital Kompasiana nantinya akan menjadi nomor berbayar, selamanya gratis atau baru akan digratiskan setelah masa terbit edisinya berlalu. Tapi seperti diumumkan oleh pengelola bahwa pada tahap awal Majalah Kompasiana Digital akan tersedia gratis. Oleh karena itu Kompasiana mungkin tidak akan ngoyo untuk melihat posisinya terhadap majalah dan judul-judul mapan di jajaran Top 10. Kompasiana mungkin akan lebih dulu melihat prospek dan evaluasi keterbacaannya terhadap beberapa majalah gratis lainnya di Scoop.Pada tahun 2013 ada beberapa majalah gratis yang menempati Top 10 antara lain Otomotif, AutoBild, MotorPlus dan beberapa judul lainnya (lihat gambar di bawah).
10 Majalah Gratis teratas selama 2013. Majalah Digital Kompasiana akan bersaing meraih pembaca dengan sejumlah majalah dan judul yang lebih dulu ada dan mapan (blog.getscoop.com)
Meski segmentasi pembaca Kompasiana boleh jadi berbeda dengan pembaca majalah-majalah gratis di atas, namun Majalah Digital Kompasiana masih akan memperebutkan pembaca dari majalah-majalah itu karena faktor pertama yakni basis perangkat gadget yang mendukung Scoop.
Ketiga,koneksi atau kecepatan internet juga menjadi tantangan dalam mengakses Majalah Digital Kompasiana selain dari faktor jenis perangkat gadget. Jika Majalah Digital Kompasiana Digital disiapkan sebagai etalase tulisan Kompasianer yang dikemas interaktif dengan foto-foto berwarna menarik, lay out cantik serta fitur-fitur interaktif lainnya yang mempengaruhi ukuran file, maka Majalah Digital Kompasiana akan menambah kesibukan calon pembacanya karena waktu unduhnya cukup untuk seseorang pergi ke dapur memasak mie atau ke luar membeli cemilan.
Keempat,masalah koneksi internet di Indonesia membuat calon pembaca Majalah Digital Kompasiana akan cenderung memilih mengunduhnya pada malam hari di mana koneksi internet umumnya lebih kencang. Jika ini jadi pilihan maka keterbatasan waktu baca menjadi tantangan tambahan. Namun mengingat karakter majalah yang biasanya diterbitkan mingguan atau bulanan, Kompasiana sepertinya tak perlu khawatir materi majalahnya akan cepat “basi”.
Meskipun demikian Majalah Digital Kompasiana akan mengubah karakter Kompasiana Freez dengan keterbacaan pagi hari menjadi Majalah yang mungkin akan dibaca pada malam hari.Setidaknya kebiasaan pembaca Scoop menunjukkan indikasi demikian di mana majalah digital lebih banyak dibaca di atas pukul 9 malam (lihat gambar di bawah).
Pembaca majalah digital memiliki "perilaku" yang berbeda dengan pembaca koran. Majalah digital lebih sering diunduh dan dibaca pada malam hari (blog.getscoop.com)
Kelima,fakta unik bahwa akses majalah digital didominasi oleh kaum pria dengan persentase sangat mencolok yakni 79%.Entah apa sebabnya, mungkin karena kemampuan menggunakan perangkat teknologi kaum pria masih lebih unggul dibanding kaum wanita atau judul-judul yang tersedia di Scoop lebih menarik bagi pria. Fakta ini mungkin sebanding dengan kenyataan lain bahwa wanita lebih menyukai majalah format print. Apakah hal ini nantinya akan mempengaruhi cara Majalah Digital Kompasiana dalam mengemas dan menyajikan isinya?Seberapa menarik materi di Kompasiana selama ini bagi kaum pria mungkin bisa menjadi pendahuluannya.
Keenam,melalui majalah digital jangkauan pembaca Kompasiana diharapkan bertambah, meski itu harus dengan “keluar” dari harian Kompas sekalipun. Apakah itu akan terjadi? Bukankah ketika menjadi bagian dari koran nasional Kompasiana Freez juga meraih banyak pembaca?
Tingkat keterbacaan Kompasiana Freez memang tidak buruk. Namun hal itu tidak serta merta menunjukkan Kompasiana atau Kompasiana Freez telah mendapatkan banyak pembaca baru secara “nyata”. Rasanya hanya sedikit pembaca Kompas, kecuali yang juga pembaca Kompasiana, yang mengenali bahwa Kompasiana Freez adalah “media cetak bukan Kompas”. Sebaliknya mereka yang membaca Kompasiana Freez mengidentifikasi lembar tersebut sebagai Kompas. Berapa orang yang membeli Kompas karena alasan ingin membaca Kompasiana Freez?Saya yakin sangat sedikit.
Selain masih didominasi oleh kaum pria, pembaca yang mengakses Scoop juga didominasi dari pulau Jawa (blog.getscoop.com).
Kompasiana memang sangat beruntung dan mendapatkan manfaat cukup berarti dengan “menitipkan” lembarannya di harian Kompas. Tapi “idealisme” Kompasiana rasanya tidak puas hanya dengan menumpang di halaman orang dan berharap mendapatkan limpahan pembaca dari pelanggan setia Kompas. Masa “promosi” di Kompas sudah cukup. Dengan terbit sebagai majalah yang seutuhnya mengusung nama sendiri, Kompasiana akan mendapatkan pembaca baru yang tidak akan mengidentifikasinya sebagai Kompas. Dengan demikian Kompasiana benar-benar mendapatkan pembaca baru secara “nyata”.
Masalahnya adalah sejauh mana inovasi Kompasiana akan membawa majalah ini meraih tempat di hati masyarakat?.Konten khas warga memang bisa menjadi andalan, tapi apakah Majalah Digital Kompasiana akan berhasil menciptakan segmen pembaca baru di Scoop di saat keterikatan pembaca pada media cetak masih lebih tinggi dibanding media digital?. Ataukah ia hanya akan jadi pelengkap di ruang baca digital?.
Kompasiana yang penuh inovasi. Sebuah loncatan besar kini akan kembali dihadirkan.
Seperti mundur selangkah untuk mewujudkan cita-cita yang tertunda.Ia pergi untuk kembali.Dari sebuah lembar hitam putih menjadi sebuah kumpulan halaman yang lebih menarik. Lalu membayangkan membacanya sambil berbaring di atas kasur menjelang tidur. Semoga Majalah Digital Kompasiana menjadi etalase yang menyenangkan. Kita boleh menduga bahwa Majalah Digital Kompasiana hanyalah jalan memutar Kompasiana untuk sampai ke tujuan sebenarnya yakni cetak Majalah Kompasiana. Di saat itu masih jadi bayang-bayang, mari siapkan kegembiraan untuk menyambutMajalah Digital Kompasiana meskibelum ada yang tahu bagaimana nasibnya nanti.