Suatu hari seorang teman dari Malang datang berkunjung dan begitu antusias untuk dihantar mencari sarapan gudeg. Sayapun membawanya ke sebuah penjual gudeg kaki lima yang banyak bertebaran di jalanan Yogyakarta pada subuh hari. Di tengah santap teman saya bertanya kepada ibu penjual tentang asal usul gudeg. “Wah nggak tahu ya mas, wong gudeg aslinya makanan rakyat, sudah lama sekali”. Begitu ibu itu menjawab. Singkat cerita teman saya agak terkejut dengan jawaban sang penjual. Ia mendapati cerita yang berbeda dengan anggapannya selama ini bahwa gudeg adalah makanan kaum ningrat.
Gudeg, kuliner nikmat khas Yogyakarta. Di balik kenikmatannya yang tak tertandingi ada sebuah misteri yang belum terurai.
Gudeg adalah bagian tak terpisahkan dari kenikmatan Yogyakarta yang istimewa. Kenikmatannya nyaris tak pernah gagal menarik lidah banyak orang. Mengunjungi atau menetap di Yogyakarta pun belum dianggap paripurna tanpa menyantap Gudeg. Lebih dari sekadar ikon, gudeg pun sudah menjadi “nama lain” Yogyakarta.
Begitu mudah menjumpai penjual gudeg di Yogyakarta. Pada pagi hari mulai dari subuh hingga jelang pukul 08.00 gudeg banyak dijajakan di pinggir jalan. Menikmati gudeg kaki lima di pagi hari biasa dilakukan sambil lesehan memanfaatkan lengangnya lalu lintas. Pagi berlalu gudeg mulai beralih disajikan di warung-warung hingga rumah makan ternama khusus gudeg yang biasanya lebih banyak dijumpai di beberapa sentra gudeg. Selanjutnya dari siang hingga malam bahkan dini hari nikmatnya gudeg terus memanggil-manggil.
Namun sepanjang itu pula ada sisi yang tak pernah tuntas terurai dari Gudeg. Banyak orang bertanya mengenai asal usulnya tapi saat itu juga banyak orang harus memendamnya lagi tanpa jawaban pasti. Beruntung kenikmatannya selalu berhasil menepikan rasa keingintahuan tentang sejarahnya.
Ada anggapan bahwa gudeg awalnya adalah makanan kaum ningrat yang berkembang dari dalam Kraton. Apalagi jika melihat harga makanan ini yang tidak bisa dikatakan murah. Di sentra gudeg Wijilan yang berada di sebelah timur Kraton seporsi gudeg bisa dinikmati mulai harga Rp. 25.000. Begitupun di sentra gudeg barek Sleman yang menjadi dapur sejumlah gudeg ternama di Yogyakarta. Di tempat yang tak pernah sepi dari pengunjung itu gudeg bukanlah makanan murah yang bisa leluasa dinikmati setiap orang. Meski ada banyak penjual gudeg lain yang menyajikannya dengan harga lebih murah, gudeg masih sering dianggap sajian ningrat.
Gudeg terbuat dari nangka muda yang dimasak sangat matang dengan cita rasa manis yang kuat. Gudeg disajikan dengan pelengkap sambal krecek, tahu, telur atau ayam suwir.
Anggapan bahwa gudeg berkembang dari dalam Kraton kerap didasarkan pada makanan kegemaran keluarga Kraton yakni gudeg manggar. Manggar adalah bakal buah atau putik bunga kelapa. Dibanding gudeg biasa yang terbuat dari nangka muda, gudeg manggar relatif lebih susah dijumpai dan pembuatnya pun hanya orang-orang tertentu.
Namun banyak juga yang berpendapat sebaliknya bahwa gudeg bukan makanan kaum ningrat. Sejak dahulu gudeg sudah akrab sebagai makanan keseharian rakyat biasa. Setidaknya ibu penjual gudeg yang saya ceritakan di awal tulisan merupakan salah satu “penganut” anggapan ini. Pendapat bahwa gudeg sejak awal telah menjadi makanan rakyat biasa berlandaskan fakta bahwa nangka pada zaman dahulu sudah tersedia melimpah dan menjadi salah satu tanaman yang bebas ditanam oleh masyarakat di saat tanaman lain dimonopoli atau dibatasi untuk kepentingan Belanda. Tidak banyaknya pilihan bahan makanan selain nangka mendorong masyarakat mengolahnya menjadi makanan sehari-hari dan akhirnya terciptalah gudeg.
Meski hampir semua pelengkap gudeh didominasi rasa manis, namun tidak membuat bosa untuk terus dinikmati. Sementara sambal krecek yang sedikit pedas dengan tektur lembut dan kenyal cukup pas sebagai penyeimbang rasa.
Kebenaran tentang asal usul gudeg apakah berasal dari dalam Kraton atau berkembang sejak awal sebagai makanan rakyat biasa memang masih belum bisa dipastikan. Apalagi jika melacak sejak kapan gudeg mulai dikenal.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa gudeg sudah dibuat semasa kepemimpinan Sultan Agung. Gudeg dibuat sebagai makanan atau logistik tentara Sultan Agung ketika menyerang Batavia. Meski pendapat ini diragukan karena gudeg basah yang dianggap lebih dulu ada tidak mungkin bertahan lama. Apalagi penyerbuan tentara Sultan Agung ke Batavia menempuh waktu yang panjang. Meski ada yang menghubungkan kekalahan tentara Sultan Agung yang diceritakan karena kekurangan makanan atau kelaparan boleh dengan tidak bertahannya gudeg selama perjalanan. Mungkin saja gudeg tetap bisa bisa dibuat saat itu mengingat Mataram memiliki beberapa kantung perbekalan di sejumlah daerah di Pantura.
Sementara itu pendapat lain menyatakan bahwa gudeg “baru” dikenal pada masa 1819 berdasarkan isi Serat Centhini, sebuah karya sastra besar tanah Jawa. Dalam Serat Centhini disebutkan bahwa gudeg saat itu menjadi makanan rakyat di Jawa termasuk Yogyakarta.
Sejarah gudeg memang masih menjadi misteri. Sejumlah penelususan sejarah dan kajian masih belum berujung pada satu kisah mula makanan ini. Dan saat sejarahnya masih terus diurai, kenikmatannya tidak akan pernah terganti. Dalam setiap gudeg yang kita santap ternyata ada sepotong misteri yang ikut membumbui kenikmatannya.