Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story Pilihan

Malioboro yang Dibenci Tapi Sangat Dirindukan

8 Januari 2014   08:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:02 787 3

Siang itu matahari bersinar terik. Langkah-langkah kaki beradu dengan banyak pasang kaki lainnya menyusuri jalanan ini. Rasanya di tempat ini berjalan kaki menjadi sangat berkeringat dan gerah meski untuk melangkah beberapa puluh meter saja. Apa boleh buatmelangkah di sini seperti menerobos gang sempit meski tatapan mata melihat begitu lapang pemandangan di depan, tapi nyatanya tak banyak ruang untuk melangkah. Tak cukup dengan memiringkan badan untuk mendapatkan ruang yang luang ditapaki, berjalan di tempat ini harus bersabar. Jika tidak hanya kekesalan yang akan dirasa atau bahkan terlontar langsung dari mulut.

“Tempat ini menyebalkan sekali untuk sekedar berjalan kaki sekalipun”. Itulah umpatan yang kerap saya pendam dalam hati ketika melangkah di tempat ini. Tapi entah mengapa beberapa hari setelahnya saya kembali ke tempat ini. Kembali menyusuri jalanannya, kembali berdesak-desakkan, kembali mengumpat dalam hati lalu pulang dan tak lama kemudian justru merindukan kembali ke tempat ini lagi.

Ada kesal tapi tak pernah bosan untuk melemparkan pandangan di tempat ini. Ada umpatan tapi ternyata selalu ada rindu untuk sekedar berjalan di tempat ini. Larut dalam pesonanya, di sini setiap orang bisa benci dan jatuh cinta dalam satu waktu yang sama. Malioboro, tempat ini secara ajaib menghadirkan rasa benci dan rindu secara bersamaan.

Lebih dari 250 tahun yang lalu, Malioboro hanya sebuah jalanan sepi yang sesekali dipenuhi karangan bunga pertanda Kraton sedang punya hajat. Maju beberapa puluh tahun kemudian Malioboro tumbuh menjadi kawasan dagang. Di saat yang bersamaan tempat ini perlahan mewakili wajah kotanya.

Jutaan detik berlalu, Malioboro tumbuh sebagai raksasa dari Jogja. Kawasannya meliputi Jalan Malioboro dan Jalan Margo Mulyo (dulu Jalan Ahmad Yani) serta membentang hingga kawasan tugu di utara dan Kraton di selatan. Menjadi ikon perekonomian, pusat wisata dan rumah budaya serta keberagaman, Malioboro menjadi landmark terbesar Yogyakarta.

Namun sepanjang itupula Malioboro bertaruh dengan dirinya sendiri. Dinilai tak lagi nyaman dan semrawut, Malioboro mulai menjadi alasan orang-orang untuk mengkritik kota Jogja dan membenci Malioboro itu sendiri. Meski di saat yang sama ada rasa yang tak bisa diingkari, ada rindu yang tak bisa ditolak dan ada pesona yang tak tergantikan.

Mereka yang membenci sekaligus merindukan Maliboro sering tak mudah mengungkapkan mengapa mereka kesal sekaligus rindu dengan tempat ini. Sejumlah potret berikut ini mungkin menjadi bahasa yang menjawab mengapa Malioboro dibenci sekaligus sangat dirindukan.

Malioboro adalah penggalan sejarah Yogyakarta yang tak ternilai. Di sepanjang jalannya berbagai cagar budaya berdiri, salah satu yang terjaga adalah bangunan yang kini menjadi apotek. Berdiri di tengah himpitan bangunan modern, berbagai banguan cagar tersebut membentuk ruas-ruas cantik Malioboro.

Ada beberapa kawasan “all in one” di Indonesia, tapi hanya Malioboro di Yogyakarta yang memiliki sudut semanis ini. Tak tahu di mana pusat pesonanya, tapi berjalan di sini seperti candu yang selalu menghampiri.

Becak dan kereta kuda, dua maskot yang membuat Malioboro semakin manis tapi juga kerap dibenci karena tarifnya yang mahal dan sejumlah trik jebakan yang sering dipraktikkan sejumlah tukang becak.

Malioboro di kala lengang, sangat cantik dan nyaman. Tapi kenyamanan ini hanya tersaji di saat Malioboro ditutup, setelahnya kawasan ini menampakkan wajahnya yang 180 derajat.

Bukan Malioboro namanya jika tak menyuguhkan seni dan budaya yang manis. Pertunjukkan jalanan dan seni intalasi luar ruang menjadikan Malioboro tak pernah kehabisan pesona. Padatnya lalu lintas tak menghilangkan fungsi Malioboro sebagai etalase budaya Jogja dan Indonesia.

Apapun keadaannya, Malioboro tetap eksotis disusuri dari atas kereta kuda. Dan hanya di tempat ini rasanya setiap orang tak pernah gengsi menyantap jajanan murah sambil duduk tanpa alas di jalanan. Apapun makanannya rasanya nikmat jika itu di Malioboro.

Setiap hari para pedagang kaki lima dan asongan di ujung jalan Malioboro ini tak pernah aman dari razia petugas, namun rasanya bukan Malioboro tanpa keramaian “pasar jalanan” seperti ini. Pemandangan ini mungkin tak istimewa tapi seperti ada yang dirindukan ketika tempat ini sepi.

Percayalah tak ada keistimewaan rasa pecel di Malioboro ini dibanding pecel di tempat lain. Tapi mengapa semua orang merasa harus mencicipinya?. Jawabannya satu, yakni karena pecel ini ada di Malioboro.

Jeroan, bagian organ dalam sapi dan kambing yang sering dibuang karena dianggap tak bernilai. Banyak orang pun enggan memakannya karena alasan kolestorel. Tapi di Malioboro sate koyor jeroan adalah sajian istimewa yang membuat banyak orang seketika tak peduli dengan timbunan kolesterol di tubuhnya.

Di ujung Malioboro, di titik “Nol Kilometer” Jogja, gedung inilah yang melengkapi sejuta kenangan tentang Malioboro.

Banyak orang mengutuki kesemrawutan Malioboro, tapi seketika mereka akan sangat rindu ketika ingat semburat senja di sudut jalan itu.

Di ujung jalan itu setahun kemarin, ku teringatku menunggumu bidadari belahan jiwaku.

Becak, kereta kuda dan turis. Bercampur di ruang pejalan kaki, terkesan semrawut tapi pemandangan ini terlanjur menjadi manis.

Maliboro adalah rekaman sejarah, kumpulan banyak cerita dan lintasan kenangan. Meski wajahnya telah berubah dan semakin menua, pesonanya tak pernah pudar oleh zaman. Pantas jika banyak orang tak bisa mengungkapkan tempat ini dengan kata-kata karena sepanjang jalannya Malioboro telah bertutur tentang rasa dari setiap orang yang berjalan menyusurinya.

Dibenci karena kesemrawutannya, Malioboro juga paling dirindukan. Eksotismenya selalu berpendar, ia selalu berhasil memaksa orang untuk kembali mengunjunginya. Malioboro tak pernah kehabisan pesona yang membuat orang susah lupa.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun