Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Artikel Utama

4 Januari, dari Yogyakarta untuk Bangsa yang Amnesia Sejarah

4 Januari 2013   11:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:31 810 5

Tanyakan ini kepada anak sekolah. Juga pada para pemuda yang gemar turun ke jalan. Tanyakan juga kepada para pemimpin negeri saat ini, kepada presiden, juga para menteri. Tanyakan pada bangsa kita apa yang terjadi pada 4 Januari 67 tahun lampau ?. Apa yang “dilahirkan” dari 4 Januari itu ?. Masih ingatkah atau karena “hanya sejarah” hingga tak perlu diingat ?.

Proklamasi Kemerdekaan  17 Agustus 1945 yang melahirkan Negara Republik Indonesia tak pernah membuat Belanda rela kehilangan negeri jajahannya ini. Penjajah Belanda selalu ingin datang dan menguasai lagi tanah subur ini. Hanya saja “status” mereka sebagai pesakitan yang kalah dalam Perang Dunia membuat Belanda tak bisa kembali ke Indonesia saat itu. Meskipun demikian Belanda akhirnya bisa masuk kembali ke Indonesia dengan menyusup ke dalam tentara sekutu Amerika dan Inggris yang hendak melucuti Jepang.

Jakarta pun kembali membara, ribuan pejuang gugur dan kelangsungan Republik Indonesia yang baru seumur jagung terancam. Di sisi lain Belanda terus berusaha menguasi kembali Indonesia dan perlahan memecah keutuhan negeri dengan membentuk beberapa negara bagian seperti Pasundan hingga Republik Maluku Selatan. Belanda memang menghendaki Indonesia menjadi negara federal dengan tetap menjadikan Belanda sebagai tuannya.

Namun bangsa ini wajib bersyukur dan berterimakasih kepada para pendirinya yang telah berkorban begitu besar mempertahankan NKRI. Presiden Soekarno  membuat keputusan penting di tengah kondisi genting dengan memindahkan Ibukota Republik Indonesia ke Yogyakarta.

4 Januari 1946 Yogyakarta menjadi Ibukota Republik Indonesia. Keputusan Soekarno ini disambut baik oleh pemimpin Yogyakarta saat itu yakni Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Pakualam VIII. Yogyakarta pun kembali menunjukkan dukungan dan komitmen penuhnya untuk mengabdi pada Negara Republik Indonesia. Bahkan Pakualam VIII memberikan kediamannya sebagai istana kepresidenan sementara bagi Soekarno. Tak hanya itu para menteri yang ikut “hijrah” ke Yogyakarta pun diterima dengan baik oleh warga Yogyakarta yang tak keberatan berbagi rumah untuk para menteri Republik.

Bukan tanpa alasan Soekarno memindahkan Ibukota negara ke Yogyakarta. Selain memiliki banyak tokoh pemikir  dan atas kelapangan hati Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Yogyakarta juga menjadi markas tentara republik yang saat itu dipimpin oleh Jendral Sudirman.  Di Yogyakarta inilah, Republik Indonesia kembali menata diri dan merajut persatuannya dengan menepikan segala perbedaan. Meski kabinet berganti berkali-kali, walau para menterinya berasal dari banyak partai, namun mereka ikhlas “melepaskan” segala perbedaan itu dan mencurahkan seluruh tenaga untuk mempertahankan Negara Republik Indonesia yang ketika itu wilayahnya semakin berkurang dengan didirikannya negara-negara bagian oleh Belanda. Dan akhirnya dari Yogyakarta negara ini melakukan hal yang luar biasa. Di tengah himpitan keterbatasan, dengan semangat persatuan Indonesia berhasil mengalahkan pendudukan sekutu yang berisikan pasukan Amerika dan Inggris, sang pemenang Perang Dunia. Tak hanya itu, solidaritas dan diplomasi internasional juga dimenangkan karena Yogyakarta saat itu memiliki banyak tokoh yang memiliki kemampuan diplomasi yang mendunia, banyak tokoh intelektual yang dimiliki Yogyakarta.

67 tahun lewat sudah. Kita boleh berandai apa jadinya negara ini jika saat itu pemimpin negeri ini tidak segera mengambil keputusan tegas penuh resiko dengan memindahkan ibukota ke Yogyakarta. Apa jadinya negara ini jika saat itu pemimpin Yogya tak cukup lapang dan berkorban untuk menyatu dengan republik ?.

Kini Ibukota Republik Indonesia memang telah kembali berada di Jakarta, tapi Kota Republik itu tetaplah Yogyakarta, kota di mana bangsa ini merajut kembali persatuannya, tempat di mana bangsa ini berusaha mempertahankan tanah airnya. Dan hari ini Yogyakarta memperingati 67 tahun peringatan Kota Republik. Ada harapan agar 4 Januari ini tak hanya diperingati oleh Yogyakarta. Ini bukan tentang Yogyakarta.  Yogyakarta tak pernah mengingat jasa pemimpinnya sebagai pamrih kepada bangsa. Tak ada yang berubah, Yogyakarta tetaplah sebuah tanah yang mengabdi kepada negeri ini. Tapi ini adalah tentang sebuah pesan yang dikirimkan kepada bangsa agar tak semakin lupa dengan semangat persatuan dan perjuangan yang telah menyatukan negeri ini hingga kini. 4 Januari seharusnya diperingati secara nasional sebagai salah satu hari untuk mengingat  kembali semangat persatuan bangsa.

4 Januari 1946 hingga 27 Desember 1949, Yogyakarta menjadi Kota Republik. Kota yang berhasil menghidupkan kembali semangat persatuan negeri, kota yang kembali menghidupkan semangat perjuangan dan pengorbanan tanpa pamrih. Semangat yang sayangnya kini semakin pudar di negeri ini, pudar justru di saat para penjajah itu telah pergi.

Keterpurukan dan lunturnya semangat persatuan yang mendera bangsa ini hari ini, hilangnya kepemimpinan yang mau berjuang tanpa pamrih, boleh jadi karena kita sudah semakin lupa akan sejarah bangsa. Bangsa ini mungkin memang sudah lupa dengan sebagian sejarah dan jati dirinya.

Hari ini, 4 Januari, Yogyakarta mengirimkan pesan. Pesan kepada para pemimpin negeri untuk tak berhitung dengan pengorbanan bagi negeri. Pesan kepada pemimpin agar mampu bersikap tegas dan siap mengambil resiko di saat genting sekalipun. Pesan sekaligus tanya untuk para pemimpin dan pemuda bangsa ini : “di manakah semangat yang dulu kita pernah janji dengan satu cinta di tanahku ?”.

4 Januari mungkin perlu diingat oleh bangsa Indonesia, bukan oleh Yogyakarta saja.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun