Bagi saya kekalahan Indonesia atas Bahrain kemarin malam tak begitu menyakitkan dibandingkan pernyataan tak pantas yang diutarakan pelatih Wim Rijsbergen usai pertandingan. Menurutnya Timnas Garuda tak layak bermain di ajang berskala Internasional !!. Sungguh, demi atas nama apapun, pernyataan itu bukan hanya tak pantas diucapkan oleh pelatih untuk anak asuhnya sendiri, tapi juga menyinggung perasaan sebuah bangsa.
Seorang pelatih sudah seharusnya memupuk keyakinan dan kepercayaan diri timnya. Apalagi usai dikalahkan lawan, Rijsbergen memang harus mengakui keunggulan lawan, namun tidak harus dengan merendahkan Timnas yang diasuhnya sendiri. Pelatih ini pun terkesan menjaga image nya dengan mengatakan ini bukan tim saya. Bisa dibayangkan apa yang dirasakan dalam benak Bambang Pamungkas cs mendengar ucapan pelatihnya sendiri.
Hadirnya Wim dalam Timnas Garuda sendiri sudah sejak awal mendapat kritikan dan mengundang pesimisme. Memang sebagai mantan pemain rekam jejaknya begitu bagus, namun sebagai pelatih yang baru beberapa bulan datang ke Indonesia, raport Wim sebenarnya kurang baik. Dia hanya menukangi PSM di ajang LPI selama beberapa saat sebelumnya akhirnya diberhentikan.
Terlebih lagi gayanya di pinggir lapangan yang lebih suka duduk di bangku tanpa mau keluar memberikan instruksi pada pemainnya sangat disesalkan. Hal ini pun tak mampu diimbangi oleh asistennya Lestiadi yang sebelumnya hanyalah seorang asisten pelatih di PSM. Tanpa bermaksud meremehkan kemampuan keduanya, memang sangat jelas bahwa pemilihan Wim dan Lestiadi lebih cenderung berbau nepotisme dibanding profesionalisme. Di sisi lain pemecatan Riedl tempo lalu lebih terlihat sebagai bentuk keinginan PSSI baru membersihkan produk-produk PSSI lama yang sebenarnya tak semuanya buruk.
Kembali ke Rijsbergen. Di samping gayanya yang sering berada di bangku ofisial dibanding “mendampingi” anak asuhnya di pinggir lapangan untuk memberikan instruksi dan teriakan penyemangat, pelatih asal Belanda ini juga seperti kebingungan menentukan stategi bagiTimnas. Selama diasuhnya hanya sekali Timnas menunjukkan pola permainan yang jelas, yaitu melawan Turkmenistan Juli lalu. Itu pun dinlai banyak pihak lebih karena sosok Rahmad Darmawan sebagai man behind the team.
Di tangan Rijsbergen permainan trengginas Merah Putih yang ditampilkan sepanjang AFF Cup tahun lalu perlahan memudar. Pelatih ini juga selalu membongkar susunan pemain dan skema permainan dalam beberapa laga yang dilakoni Gonzales dkk. Padahal banyak pengamat yang menyakini tugas Rijsbergen memang tak ringan, namun juga mudah karena tinggal mematangkan dan meningkatkan level materi yang sudah bagus sejak ditangani Riedl.
Tapi apa mau dikata, PSSI harusnya mau mendengarkan saran banyak pihak. Mau menyadari bahwa sepakbola adalah duta bangsa, dan sekali lagi harus bersih dari unsur nepotisme. Lebih penting lagi, pernyataan Rijsbergen yang menjatuhkan nama Timnas dan menyinggung harga diri bangsa sudah menjadi alasan kuat untuk PSSI tak lagi mempertahankannya. Nama besarnya sebagai pemain tidaklah ada artiya jika sebagai pelatih dirinya tak mampu menjadi “ayah” yang baik bagi anak-anak asuhnya.
Belum terlambat. Meski kecil; peluang Timnas untuk tampil lebih baik tetap ada. Sembari terus memberi dukungan motivasi bagi Firman Utina cs., PR besar buat PSSI kini adalah mengevaluasi kinerja Rijsbergen dan para staffnya. PSSI pun mungkin harus mulai menyadari kekeliruan mereka.