Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

PRT Si Kutu Loncat

28 Agustus 2014   19:38 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:16 134 1
Begini rasanya ditinggalkan pekerja karena tak puas dengan gaji atau fasilitas yang diberikan. Saya jadi paham betapa lelahnya dan harus berbesar hati perusahaan yang kerap ditinggalkan pekerjanya, si kutu loncat, yang dengan mudahnya pindah kerja karena ingin mendapatkan tempat lebih baik, lebih nyaman, lebih mensejahterakan.

Saya punya pekerja, seorang Asisten Rumah Tangga yang sudah bekerja 14 bulan lamanya. Menurut sebagian orang, yang kerap ditinggal PRT, asisten saya terbilang setia. Saya cuma bisa bilang Alhamdulillah, sambil berkata dalam hati, enggak salah deh bayar gaji lebih tinggi dibanding pekerja lain yang setara dengannya dari segi pengalaman dan usia serta kebisaaannya.

Ya, gaji yang terbilang tinggi menjadi pembedanya. Jangan bandingkan dengan babysitter terlatih dari yayasan loh ya. Saya mempekerjakan seorang janda, berpengalaman bekerja sebagai PRT di berbagai daerah, dari Jawa hingga Kalimantan. PRT saya tak bisa baca tulis, malas lebih tepatnya bukan tak bisa. Sebenarnya ini kekurangan terbesar karena saya jadi kesulitan memberi pesan tulisan termasuk sms-an kepadanya juga jadi agak khawatir meninggalkannya dengan segala macam perlengkapan rumah tangga yang beda fungsinya dan hanya bisa diketahui lebih jelas dengan dibaca. Saya agak khawatir ia salah mengambil cairan pencuci pakaian bayi dengan sabun cair pencuci alat makan bayi misalnya. Beruntung, meski malas membaca, ia cepat tanggap dan daya tangkapnya masih kuat. Ia bisa menghapal gambar dan warna. Jadi, kekhawatiran pun mulai sirna karena tak pernah saya temukan ia salah menggunakan produk pembersih beda fungsi yang tersusun rapi di dapur. Yang lebih mengkhawatirkan adalah membaca dosis obat kalau anak sedang sakit. Nah ini Pe-Er banget deh. Jadi, mengakalinya anak harus minum obat selagi ibu atau ayahnya ada di rumah. Atau, cara lain minta bantuan pemijat bayi langganan yang kemudian menjadi terapis tetap anak. Ya, anak saya butuh terapi di rumah, fisioterapi, karena mengalami gangguan motorik. Ah, ini ceritanya lain lagi.

Kembali soal asisten rumah tangga, pelajaran terbaru yang saya dapatkan adalah, mencari partner yang setia untuk urusan rumah tangga itu bukan perkara mudah, betapa pun kita berusaha memberikan yang terbaik, memenuhi haknya, hak atas jam kerja yang manusiawi, hak libur akhir pekan, hak mendapatkan upah layak, hak mendapatkan sandang, pangan, papan yang layak, hak kasih sayang, hak mendapat thr, nah soal thr ini, mungkin inilah alasan mengapa asisten saya memilih di kampung setelah lebaran, tak kembali bekerja dengan alasan merawat orangtua yang sakit. THR nya mungkin tak memuaskan.

Awalnya saya percaya alasan itu, tapi makin ke sini saya makin curiga. Jangan-jangan isu yang saya dengar dari orang terpercaya, benar adanya. Asisten saya dibajak tetangga yang menawarkan pekerjaan kepadanya di tempat lain, di rumah kerabat tetangga saya itu, dengan bayaran 500.000 lebih tinggi.

Ketika uang bicara, di tengah kebutuhan hidup yang semakin tinggi, menuntut setiap pekerja menggadaikan loyalitas dan kepercayaan, alhasil keputusan pindah kerja pun menjadi langkah yang dipilih si kutu loncat. Rupanya, kenyamanan bekerja seperti yang diakui asisten saya melalui orang terpercaya tadi, tak cukup membuatnya bertahan menjaga loyalitas atau ketulusan bekerja. Terbukti, gaji lebih tinggi menjadi incaran semua kalangan mulai pekerja kantoran hingga pekerja rumah tangga. Kutu loncat ada di mana-mana, bukan hanya di perusahaan besar atau kecil yang sedang merangkak tumbuh dan berkembang, tapi juga di rumah tangga. Meski ada juga sih kutu loncat yang didasari oleh kebutuhan mencari tempat kerja nyaman, tapi mungkin jumlahnya semakin langka sekarang. Lagi-lagi meningkatkan kebutuhan hidup termasuk berubahnya gaya hidup membuat seseorang lebih mudah berpindah hati mencari penghasilan lebih tinggi.

Dalam kasus pekerja rumah tangga saya, terbukti betapa pun pemilik rumah berupaya memberikan kenyamanan, tak lantas jadi jaminan kesetiaan. Saya sempat berpikir, lebih tepatnya instrokspeksi diri, apa yang salah apa yang kurang kami berikan? Mungkin memang harus menyediakan anggaran lebih besar untuk menggaji PRT masa kini. Artinya kami (saya dan suami) harus bekerja lebih keras kalau mau urusan rumah tangga beres dengan menyediakan anggaran lebih tinggi untuk semua hal. Selain lebih banyak sedekah supaya semua urusan lebih berkah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun