Filsafat merupakan ilmu yang mampu mengantarkan manusia pada kesadaran eksistensi. Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa setiap Filsafat —- Filsafat Yunani, Barat, Timur, Islam, dll.—- mengusung wacana tersebut, disebut “Eksistensialisme”. Walaupun, bila kita kaji lebih mendalam, terdapat perbedaan signifikan terkait dengan “content dan point of view” dalam memandang Eksistensialisme pada setiap Filsafat. Namun, pada kesempatan ini penulis tidak berpretensi memaparkan hal itu.
Berkaca pada para filosof, mereka menggunakan akal untuk berpikir tentang dirinya. Terlepas apakah pada akhirnya mereka akan percaya atau mengenal Tuhan, tapi hal terpenting adalah proses aktivasi akal. Dalam hal ini, tak perlu bergelar filosof, cukuplah “berfilsafat” dengan mengaktifkan potensi akal yang mampu menyusun premis-premis logis. Memang, langkah tersebut tak mudah, selain diperlukan proses berpikir mendalam, kita juga harus bertarung dengan kondisi riil di sekitar. Bila merujuk pada fenomena sosial, mayoritas manusia memiliki kecenderungan untuk malas berpikir. Hal itu menyebabkan mereka jatuh ke dalam lubang “kejumudan” tanpa cahaya (baca: gelap). Alih-alih merasa tersesat dalam kegelapan, mereka justru merasa lubang tersebut merupakan zona aman. Mereka tak bisa membayangkan jika keluar dari lubang tersebut, realitas apa yang akan mereka hadapi? Dari ilustrasi tersebut, bagaimana mungkin manusia bisa memahami keadaan sekitarnya dengan baik, sementara melihat (baca: mengenal) dirinya sendiri saja tak mampu? Terlebih lagi memahami realitas di luar lubang tersebut tentu sulit untuk digapai; dalam konteks ini realitas transenden (baca: Tuhan).
Oleh karena itu, lebih baik kita hidup dalam dunia yang disinari cahaya, daripada jatuh pada lubang kejumudan. Bila kita sudah terjatuh, maka akan sulit mendapatkan cahaya untuk melihat sekitar, apalagi untuk naik ke atas kembali. Nah, jangan siakan-siakan diri kita untuk mengaktivasi akal dengan bantuan cahaya. Semakin sering kita mengasah ketajaman akal, maka akan semakin terang cahaya yang menyinari diri. Sehingga, tidak hanya mengenal diri, tapi juga kita bisa mengenal realitas imanen, bahkan transenden. Cahaya tersebut adalah “ilmu pengetahuan”.
Ilmu pengetahuan adalah cahaya yang menerangi manusia untuk mengenal hakikat dirinya. Sesungguhnya cahaya tersebut berasal dari Sang Maha Cahaya; Sang Pemilik Ilmu Pengetahuan, bahkan Ilmu itu sendiri yang tak terpisah dengan Zat-Nya. Dia adalah Tuhan; sumber dari eksistensi manusia. Cahaya tersebut mampu menembus dimensi ruang dan waktu— karena tidak terikat hal itu, sehingga mampu menjawab pertanyaan eksistensial, “Siapa aku?”, “Dari mana aku berasal?”, dan “Kemana aku berpulang (menuju)?” Sesungguhnya Tuhan menganugerahkan akal pada manusia untuk berpikir tentang dirinya, sehingga mengantarkan manusia menuju kembali kepada-Nya.
Penjelasan di atas berkesesuaian dengan penggalan puisi Jalaluddin Rumi:
Hanya dengan “pengetahuan” saja jiwa dapat diuji;
Pengetahuan berlimpah, jiwa yang lebih agung pun abadi.
Jiwa kita melampaui milik si bukan-insan;
Sebab, kian berpengetahuan, ia makin dipahami .
……………..
Dan karena kesadaran—- ia damba,
Dan ini tidak mencipta kesan kecuali pada wilayahnya.
Jiwa yang lebih sadar lebih kemilau;
Dan lebih karib mereka akan Tuhan, Ilahi. (Jalaluddin Rumi: Matsnawi)
Dari pemaparan di atas tercermin bahwa setelah manusia sampai pada kesadaran eksistensi, maka akan berimplikasi pada kesadaran Ilahiah. Namun, tidak hanya berhenti sampai tahapan tersebut. Tapi, pemiliki kesadaran tersebut akan memiliki kesadaran dunia. Hal ini diungkapkan oleh Murtadha Muthahhari bahwa manusia hanya salah satu bagian dari dunia; seseorang akan berusaha mengidentifikasikan posisinya dalam dunia. Bahkan, Muthahhari menegaskan bahwa manusia sesungguhnya merupakan mikrokosmos, sementara alam adalah makrokosmos. Sehingga, terjalin relasi yang erat antara keduanya sebagai manifestasi Ilahi. (Lihat Murtadha Muthahhari, Manusia dan Agama) Hal ini sejalan dengan pernyataan Paulo Freire, manusia merupakan satu-satunya mahluk yang memiliki hubungan dengan dunia. Tindakan dan kesadaran manusia bersifat historis; manusia menciptakan sejarah juga sebaliknya manusia diciptakan oleh sejarah. (Denis Collin, Paulo Freire Kehidupan, Karya dan Pemikirannya).
Dari pemaparan di atas, tercermin bahwa kesadaran eksistensial merupakan pondasi dari kesadaran Ilahiah dan kesadaran dunia. Pak Muhsin Labib menyatakan bahwa kesadaran eksistensi ini lebih tinggi kedudukannya, dibandingkan kesadaran Ilahiah/ Kebertuhanan. Amat disayangkan, mayoritas manusia enggan menggunakan akal untuk sampai pada kesadaran eksistensial. Kemalasan berpikir membuat manusia hanya fokus pada esensi-esensi, bukan eksistensi. Manusia hanya sibuk mengejar kekayaan, kedudukan, jabatan, lawan jenis, dan segala esensi yang sesungguhnya bukanlah hakikat manusia. Oleh karena itu, kesadaran eksistensial harus dicapai dalam kehidupan dengan mengasah pikiran dan jiwa. Hal itu dimaksudkan agar kita sampai pada kesadaran Ilahiah sebagai sumber wujud kita, juga kesadaran dunia sebagai tempat kita menuai benih. Jadi, cukuplah bagi kita menyandang gelar “manusia”. (Wa Ode Zainab Z.T)