Orang-orang memandang heran, mungkin karena aku adalah satu-satunya orang yang berlari kencang tanpa alas kepala di tengah hujan. Di saat orang-orang memilih berteduh, aku justru tak mau mengikuti suara mayoritas. Aku begitu menikmati setiap bulir yang membasahi tubuhku. Namun, aku pun merasakan bahwa air hujan telah meresap hingga ke relung jiwaku yang terdalam. Jiwa yang kering kerontang karena menahan rindu yang menyeruak. Akhirnya, kerinduanku terbayarkan; kini tak ada yang memisahkan aku dengan hujan.
Kenikmatan itu sempat terusik karena aku tersandung batu. Wajar saja, aku terlalu asik berjalan bersama hujan, hingga tak sadar apa yang ada di hadapanku. Ditambah lagi, sepatu hak tinggi dan gaun panjang yang basah kuyup membuatku sulit untuk melangkah. Entah mengapa, tak terasa bulir air mataku jatuh perlahan. Aku mengutuk diriku yang begitu lemah dan hina. Seharusnya air mata itu terjatuh karena melihat “kezaliman” merajalela, sementara aku hanya duduk manis mempelajari setumpuk teori tentang “keadilan” tanpa berbuat apa-apa. Aku dengan angkuhnya berjalan di tengah hujan, tapi sesungguhnya aku hanya manusia kerdil yang begitu egois. Aku hanya ingin hujan mengobati kerinduanku kala membuncah. Setelah itu, aku tak segan mencampakkan hujan ketika aku ingin sendiri. Oh, maafkan hujan, aku telah menzalimi dirimu. Bagaimana mungkin aku bisa menegakkan keadilan, sementara tidak hanya hujan yang aku zalimi, tapi juga diriku.