Cukup Siti Nurbaya Saja (Bag. 1)
*Dermaga,
Menanti bersama angin
Dan aku disini ; merindu ...
“Saaam!, ‘ngapain kamu?.” Teriak Fandi , setelah dia berhasil mendobrak pintu kamar kos.
“Gila!, kamu Sam, mau bunuh diri?!.” Teriak Fandi panik ketika dilihatnya banyak busa putih keluar dari mulutku dan sebuah gelas kosong dan sekaleng racun serangga di samping tempat tidurku. Ditendangnya gelas kosong dan kaleng serangga itu agar jauh dariku.
Sedetik kemudian, aku tak sadarkan diri.
*Remang malam
Duduk aku melamun
Menekuri
Langkah yang t’lah kita tempuh...
Sayup-sayup suara Harvey Malaiholo terdengar di otakku. Terbayang sebuah dermaga tempat aku dan Siti bermain, berlari-lari diantara warna warni kapal dan sibuknya nelayan melemparkan sauh berlabuh.
”Pelabuhan cinta” sebuah sebutan bagi dermaga ini dan sebuah lagu dari Harvey yang aku dan Siti jadikan simbol cinta kita berdua.
*Dihatiku
Masih melekat hatimu
Bila kita
Melabuhkan biduk cinta...
Tanpa terasa air mataku menetes. Aku berusaha mengumpulkan kembali nyawaku yang telah tercabik. Mataku menatap nanar, Fandi teman sekampung yang telah memberikan tumpangan kos padaku, suster cantik disebelah Afandi, dinding ruangan yang serba putih, botol infus dan kulihat lagi ... tubuhku yang terbaring ditempat tidur berselimut putih.
“Alhamdulillah, kamu sudah siuman, Sam!.”Kata Fandi kepadaku. “Sudah hampir tiga jam, kamu tak sadarkan diri!.”
“Terima kasih, Sus!.” Kata Afandikepada Suster disebelahnya.
Suster cantik itu hanya tersenyum. “Oh, ya Pak... nanti kalau infusan nya sudah habis, lapor ke saya ya Pak!.” Kata Suster kepada Fandi. “Jangan banyak diajak bicara dulu,Pak ... apalagi hal-hal yang membuat dia berfikir keras. Pikirannya masih labil.”
“Iya, Sus!, sekali lagi, terima kasih Sus... sudah menolong teman saya.”
Suster cantik pun pergi meninggalkan aku dan Fandi.
“Sam, apa perlu ku kabari keadaanmu pada ‘Mak dan Bapak di kampung?.”
Bibirku pun bergetar, ketika Fandi menyebut Mak dan Bapak. Apa yang Mak dan Bapak katakan kalau tahu aku berusaha untuk bunuh diri. Mak dan Bapak pasti akan marah besar kepadaku.
Mataku menerawang, teringat Mak dan Bapak di kampung. Kemudian teringat juga pada Siti yang begitu baik dan sayang pada Mak dan Bapakku. Siti sering membawakan buah-buahan atau kue buatannya untuk Mak dan Bapak.
“Ttt .. tolong, Fan... jangan kasih tahu Mak dan Bapak.” Sambil terisak menangis aku mengatakannya pada Fandi. “Biii..ar aku saja yang menangung beban derita ini.”
“A... a.. aku menyesal, Fan.”
“Iya, Sam... tak akan ku beritahu pada siapa pun kalau memang itu mau mu, Sam.”
“Aku telah banyak menyusahkanmu, Fan.”
“Ah, sudahlah!, gak usah kau pikirkan itu.”
Suster lain masuk kedalam ruangan dan menegur Fandi. “Selamat Malam, Pak ... jam berkunjung sudah selesai, biarkan pasiennya istirahat dulu ya, Pak.”
“OK, Sam!, banyak-banyaklah berdzikir dan mengingat Tuhan untuk bisa menenangkan hati mu, Sam!.” Pinta Fandi kepadaku. “Yakinlah, Sam!, dibalik kesulitan ada kemudahan, dibalik kesempitan ada kelapangan, seperti yang diajari oleh Ustadz dulu waktu kita sama-sama mengaji di kampung.”
Aku pun mengangguk mengiyakan.
“Terima kasih, Fan.”
Fandi menjabat erat tanganku. Kemudian dia pun pergi meninggalkan ku sendiri terbaring di tempat tidur.
Oh, Tuhan, apa yang telah kulakukan?. Begitu bodohnya aku. Apakah aku akan sanggup hidup tanpa Siti disampingku?. Sekaleng racun serangga, itulah jawabannya.Daripada aku hidup dengan luka di hati melihat Siti berdampingan dengan Datuk Tua Bangka itu!. Lebih baik aku mati. Biar cintaku membusuk terkubur bersama jasadku yang malang.
**Bukit Tempat masa kecil Siti Nurbaya Dan Samsul Bahri bermain-main
Siti yang sedari kecil aku kenal adalah tetangga sebelah rumahku. Aku dan Siti sering bermain bersama, berlari-lari ke atas bukit. Berteduh dibawah pohon randu sambil memandang ke kaki bukit. Dermaga yang indah dengan kapal-kapal nelayan yang beraneka warna. Para nelayan yang sibuk menurunkan sekeranjang ikan. Dan ada juga kuli panggul yang membawa berkarung-karung beras kedalam kapal. Sebuah pemandangan yang membuat aku dan Siti bersemangat untuk mengetahui dunia luar.
“Siti, lihat disana!.” Sambil tanganku menunjuk ke arah batas horisontal laut.
“Yang mana, Bang!.” Siti mengarahkan pandangannya ke arah yang ku tunjuk.
“Akuuuuu (berteriak), Samsul Bahriiiii yang akan mengajakmu berkeliling duniaaaaa, Sitiiiiii!.”
Siti pun tersenyum lebar. Kebahagian terpancar dari kedua bola matanya.
“Siti mau kah kamu berjanji?.”
“Berjanji apa, Bang?.”
“Cuma ada aku, laki-laki yang ada di hati, Siti.”
“Insya Allah, Bang... Abang juga harus berjanji ; cuma Siti, wanita yang ada di hati Abang.”
“Tentu!,Tentu Siti!.”
Dengan tergesa, aku pun mencium keningnya. Mata Siti pun terpejam. Ada hasrat untuk mencium bibirnya. Ah, tabu!, aku tak ingin “menyakiti” Siti.
*Seutuhnya untukmu takkan terpisah lagi
Sampai ke ujung dunia, kasih hanyalah satu
Tuhan merestui, cinta kita...
Tanpa terasa air matakupun menetes. Jatuh kedalam luka hatiku yang menganga.
bersambung.....